25 Januari 2016 8 menit

Surat Terbuka ke Presiden RI Joko Widodo

Credit: http://peta-papua.blogspot.co.id/2014_02_01_archive.html
Credit: http://peta-papua.blogspot.co.id/2014_02_01_archive.html

Kepada Yang Mulia
Bapak Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara
 
Dengan hormat,
Tuan Presiden Joko Widodo permah mengatakan akan menghentikan ketidakpastian dan belenggu transisi yang berkepanjangan dengan memberi jalan bagi kelahiran Indonesia hebat dan meneguhkan kembali jalan ideologis berdasarkan Pancasila dan Trisakti.
Tuan Presiden Joko Widodo pernah mengatakan visi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Guna mewujudkan visi tersebut bagi jalan perubahan, maka dirumuskan sembilan agenda prioritas yang disebut Nawacita.
Hari ini (22 Januari 2015), kami membaca dan mendengar Tuan Presiden meluncurkan program Investasi Ciptakan Lapangan Kerja Tahap III di Wonogiri, Jawa Tengah. Pemerintah mengumumkan ada 10 pabrik dan perusahaan swasta terlibat dalam program tersebut, terdiri dari 8 perusahaan bermodal asing (PMA) dan sisanya perusahaan modal dalam negeri, yang mana sebanyak tiga perusahaan beroperasi ditanah Papua, yakni: perusahaan modal asing PT. Nabire Baru (Nabire, Prov. Papua), perusahaan modal asing PT. Bio Inti Agrindo (Merauke, Prov. Papua) dan PT. ANJ Agri Papua (Sorong Selatan, Prov. Papua Barat). Ketiganya berinvestasi dalam usaha perkebunan kelapa sawit.
Kami masyarakat adat Papua dan aktivis organisasi masyarakat sipil sangat resah dan marah atas program Tuan Presiden, karena program ini tidak seperti mimpi kami mengenai kesejahteraan dan pembangunan di tanah Papua. Keputusan atas program ini sudah pasti bukan berdasarkan hasil musyawarah ataupun dialog dengan masyarakat Papua. Program ini menyimpang dari jalan ideologis dan sistem nilai musyawarah, membelokkan jalan Indonesia hebat dan kembali masuk dalam belenggu sistem ekonomi neoliberal yang menguntungkan kelompok pemodal tertentu dan memiskinkan rakyat kebanyakan.
Dalam pengalaman hidup kami, kehadiran perusahaan tersebut terbukti belum sepenuhnya.memberikan manfaat sosial dan ekonomi berarti untuk memajukan kualitas hidup Orang Asli Papua dan lingkungan alam. Tanah Papua hanya dijadikan ladang pemerasan untuk investor dan pejabat pendukungnya, sedangkan masyarakat asli hanya menjadi penonton dan berkonflik menjadi korban kekerasan pelanggaran HAM. Karenanya, program tersebut akan melukai hati kami yang sedang menuntut perubahan dan keadilan.
Tuan Presiden, sejak awal kehadiran dan keberadaan ketiga perusahaan ini terlibat bersengketa dengan masyarakat adat setempat, karena menggunakan praktik-praktik kotor manipulasi dan intimidasi, terlibat dalam kejahatan kehutanan, melakukan pembakaran lahan, menggusur dusun sumber pangan masyarakat, membongkar hutan tempat sakral dan menghancurkan ritus budaya kehidupan orang Papua. Kehadiran perusahaan juga telah menciptakan konflik, kriminalisasi penangkapan sewenang-wenang terhadap tuan tanah dengan berbagai tudingan dan stigma OPM yang merendahkan martabat orang Papua. Praktik kekerasan dialami masyarakat adat setempat dan berujung dengan pelanggaran HAM. Bahkan dua diantara perusahaan tersebut sedang dalam proses gugatan masyarakat, yakni: PT. Nabire Baru di PTUN Jayapura dan PT. ANJ Agri Papua di PN Sorong.
Kehadiran perusahaan yang diprioritaskan negara itu juga tidak membantu perbaikan dan peningkatan nasib perempuan kami di kampung namun justru memperburuknya. Sumber-sumber air bersih hilang dan tercemar, membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan penyakit. Masyarakat semakin jauh menjangkau kebun dan dusun sagu maupun tempat berburu di hutan, sehingga membuat mereka kesulitan mendapatkan bahan pangan berkwalitas dan mudah terserang penyakit anemia, pertusis, gisi buruk dan rematik, yang lebih cepat menyerang anak-anak dan perempuan karena pekerjaan bertambah berat di luar dan di dalam rumah. Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan besar di tanah kami, diperparah dengan kehadiran perusahaan yang membatasi akses masyarakat dan mereka merasa terancam oleh aturan dan kekerasan verbal aparat dan petugas security perusahaan.
Ancaman serius dari program ini adalah menghadirkan belasan ribu tenaga kerja dari luar Papua akan membawa tekanan sosial, ekonomi dan politik terhadap Orang Asli Papua yang hak-hak dasarnya belum sepenuhnya dipenuhi, dilindungi dan dihormati. Demikian pula, mobilisasi buruh tanpa merubah sistem pengupahan yang murah dan perlindungan hak-hak pekerja yang buruk, akan menimbulkan masalah tidak hanya secara struktural, tetapi juga secara horisontal dengan masyarakat setempat dan meningkatkan tekanan tehadap lingkungan alam.
Kami berpandangan, program ini telah mengingkari janji-janji nawacita dan mengabaikan hak-hak konstitutional masyarakat adat Papua. Pemerintah gagal menghadirkan dan menciptakan rasa aman kepada masyarakat adat Papua, pemerintah justeru pro ataupun berpihak pada perusahaan swasta yang diduga melanggar hukum. Program ini menunjukkan ketidak mampuan pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran dan melemahkan pembangunan desa. Program ini merontokkan mimpi membangun Indonesia berlandaskan pada sendi-sendi ekonomi rakyat yang berdaulat dan mandiri. Sangat jauh menyimpang dari pendekatan kesejahteraan yang dibayangkan orang Papua.
Karenanya, kami mohon Tuan Presiden untuk menghentikan program tersebut yang bertentangan dengan rasa keadilan, tidak sejalan dengan sendi-sendi perekonomian rakyat dan potensial memperkeruh konflik-konflik. Secara khusus, kami meminta Tuan Presiden, sebegai berikut: pertama, memeriksa izin dan aktifitas perusahaan-perusahaan bisnis pemanfaatan hasil hutan, lahan, pertambangan dan laut, mengadili dan memberikan sangsi kepada perusahaan dan pihak-pihak yang nyata-nyata melanggar hak-hak dasar Orang Asli Papua dan melanggar peraturan perundang-undangan yang merugikan negara; kedua, mereview berbagai perjanjian kerjasama pengamanan perusahaan dan menarik petugas pengamanan TNI dan Polri diareal perusahaan; ketiga, mengembangkan kebijakan program dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang adil dan berkelanjutan, menyegerakan dan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah dan pendidikan keahlian, memperbanyak tenaga pengajar, serta pusat-pusat pelayanan kesehatan dan tenaga media yang berkwalitas di tanah Papua; keempat, lakukan dialog-dialog yang berkwalitas dan meluas melibatkan masyarakat adat Papua hingga tingkat akar rumput untuk mengembangkan setiap rencana pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam di tanah Papua.
Demikian Surat Terbuka ini dan kami berharap Tuan Presiden dapat bertindak memutuskan secara bijaksana untuk memenuhi permohonan kami.
 
Terima kasih.
 
Tanah Papua, Jayapura, 22 Januari 2016
 
Hormat Kami,

  1. John Gobay, DAP Paniai, Papua
  2. Robertino Hanebora, Suku Yerisiam, Nabire, Papua
  3. Gunawan Inggeruhi, tokoh masyarakat, Nabire, Papua
  4. Imanuel Monei, korban PT. Nabire Baru, Nabire, Papua
  5. Lamek Niwari, Suku Yaur, Nabire, Papua
  6. Ayub Kowoi, LMA Nabire, Nabire, Papua
  7. Levina Niwari, Pemuda Yaur, Nabire, Papua
  8. Simon Soren, korban PT. ANJ Agri Papua, Sorong, Papua
  9. Max Binur, Perkumpulan Belantara Papua, Sorong, Papua
  10. Charles Tawaru, Greenpeace, Sorong, Papua Barat
  11. Loury Dacosta, PBHKP, Sorong, Papua Barat
  12. Septer Manufandu, JERAT Papua, Jayapura, Jakarta
  13. Fientje S. Jarangga, TIKI, Jaringan Kerja Perempuan Papua, Jayapura, Papua
  14. Natan Tebai, AMPTPI, Jayapura, Papua.
  15. Laurens Womsiwor, PFW, Jayapura, Papua
  16. Melianus Duwitau, FIM Papua, Jayapura, Papua
  17. Victor Mambor, Perkumpulan JUBI, Jayapura, Papua
  18. Robert Jitmau, SOLPAP, Jayapura, Papua
  19. Karon Mambrasar, Forum Independen Mahasiswa, Jayapura, Papua
  20. Teko Kogoya, Forum Inedependen Mahasiswa, Jayapura, Papua
  21. Pst. Anselmus Amo, MSC, Merauke, Papua
  22. Servo Tuamis, Tokoh Adat Keerom Arso, Papua
  23. Yunus Yumte, Samdhana, Manokwari, Papua Barat
  24. Pietsaw Amafnini, JASOIL, Manokwari, Papua Barat
  25. Charles Imbir, Raja Ampat, Papua Barat
  26. Risdianto, PERDU, Manokwari, Papua Barat
  27. N.R. Hastuti, Manokwari, Papua Barat
  28. Esau Yaung, Yayasan Paradisea, Manokwari, Papua Barat
  29. Alexander Tethool, Jurnalis, Fakfak, Papua Barat
  30. Y.L. Franky, Yay. PUSAKA, Jakarta
  31. Syamsul Alama Agus, Yay. Satu Keadilan, Bogor.
  32. Zely Ariane, PapuaItuKita, Jakarta.
  33. Timer Manurung, AURIGA, Jakarta
  34. Dewi Kartika, KPA, Jakarta
  35. April Perlindungan, PUSAKA, Jakarta
  36. Moch. Ainul Yaqin, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
  37. Andi Mutaqien, ELSAM, Jakarta
  38. Alves Fonataba, PapuaItuKita, Jakarta
  39. John Muhammad, PHI, Jakarta
  40. Budi Hernawan, AWC Universitas Indonesia, Jakarta
  41. Joko Waluyo, SAMPAN, Pontianak, Kalbar
  42. Haris Azhar, KONTRAS, Jakarta
  43. Teguh Surya, Greenpeace, Jakarta
  44. Zainal Arifin, SH, LBH Semarang, Jateng
  45. Eko Cahyono, Sajogyo Institut, Bogor, Jabar
  46. Kasmita Widodo, BRWA, Bogor, Jabar
  47. Iwan Nurdin, KPA, Jakarta
  48. Fandi, FMN, Jakarta
  49. Suwiryo Ismail, Ecological Justice, Jakarta
  50. Mieke Verawati, ELSAM, Jakarta
  51. Idham Arsyad, DPN Gerbang Tani, Jakarta
  52. Ide Bagus Arief, Jakarta.
  53. Muntaza, Perempuan AMAN, Jakarta
  54. Devi Anggaini, Perempuan AMAN, Jakarta
  55. Marianne Klute, Berlin, Jerman
  56. Betty Tiominar, BRWA, Bogor, Jawa Barat
  57. Melly Setyawati, Perkumpulan Magenta, Jakarta
  58. Arimbi Heroepoetri, DebtWatch Indonesia, Jakarta
  59. Abetnego Tarigan, Eksekutif Nasional WALHI, Jakarta
  60. Diana Gultom, Debt Watch Indonesia, Jakarta
  61. Dede Shineba, KPA, Jakarta
  62. Siti Rahma Mary, PilNet, Depok, Jawa Barat
  63. Ridwan Bakar, LBH Medan, Sumatera Utara
  64. Ahmad, SH, ED Walhi Sulteng, Sulawesi Tengah
  65. Marianto Sabintoe, Yayasan Tanah Merdeka, Palu, Sulteng
  66. Indria Fernida, Asia Justice and Rights, Indonesia
  67. Nur Amalia, Aktivis Lingkungan, Jakarta
  68. Sri Palupi, Institut Ecosoc Rights, Jakarta
  69. Alvons Palma, YLBHI, Jakarta
  70. Dahniar, HUMA, Jakarta
  71. Nedine Sulu, Perempuan Adat Minahasa, Sulut
  72. Mamik Yuniantri, Komunitas Adat Osing, Jateng
  73. Lenny Patty, Komunitas Adat Ullath, Maluku
  74. Moh. Ali, Sekjen AGRA, Jakarta
  75. Achmad Yakub, Bina Desa, Jakarta
  76. Khalisah Khalid, EN Walhi, Jakarta
  77. Ferry Widodo, aktivis agraria, Jakarta
  78. Yusriansyah, KPA, Jakarta
  79. Martin Hadiwinata, aktivis agraria, Depok, Jawa Barat
  80. Puspa Dewi, Solidaritas Perempuan, Jakarta
  81. Aliza Yuliana, Solidaritas Perempuan, Jakarta
  82. Yohanes Y. Balubun, Lawyer, Maluku
  83. Tommy Albert Tobing, LBH Jakarta, Jakarta
  84. Marthen Goo, aktivis Papua, Jakarta
  85. Alghiffari Aqsa, LBH Jakarta, Jakarta
  86. Wahyu Wagiman, ELSAM, Jakarta
  87. Kartini Samon, GRAIN International, Jakarta.
  88. Mahir Takaka, AMAN, Jakarta
  89. Abdul Halim, KIARA, Jakarta
  90. India Fatinaware, Sawit Watch, Bogor, Jawa Barat
  91. Jus Felix Wewengkang, aktivis, Jakarta
  92. Norman Jiwan, TUK Indonesia, Jakarta
  93. Arie Rompas, Walhi Kalteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah
  94. Edisius Terre, aktivis HAM, Jakarta
  95. Eliakim Sitorus, aktivis, Jakarta
  96. Siti Maimunah, Sajogyo Institute, Bogor, Jawa Barat
  97. Rizki Anggriana Arimbi, KPA Sulawesi Selatan
  98. Armin Salassa, Sekjen Federasi Petani Sulawesi Selatan
  99. Asmar Eswar, ED Walhi Sulawesi Selatan
  100. Muh. Taufik Kasaming, aktivis, Makassar, Sulawesi Selatan
  101. Seams Munir, Human Right Lawyer (PBHI), Jakarta
  102. Ridwan Darmawan, PBHI, Jakarta
  103. Muhnur Satyahaprabu, SH, EN Walhi, Jakarta
  104. Veronika Koman, LBH Jakarta, Jakarta

 
Kontak Person:

  1. Robertino Hanebora : 0822 1831 2666
  2. Charles Tawaru : 0812 4795 9331
  3. Franky Samperante : 0813 1728 6019

TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top