27 November 2013 3 menit
Liputan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Sawit”
Solidaritas Perempuan melakukan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Kelapa Sawit” selama 3 hari (27 – 29 November) di Hotel Puri Yuma-Denpasar, Bali. Bersama 27 perempuan dari 5 wilayah yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Sumbawa, Poso dan Sulawesi Tengah, berbagi pengalaman, pengetahuan, inisiatif serta strategi perempuan dalam mengelola sumber daya hutan, mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya, serta melawan ketidakadilan yang dialaminya, akibat kehadiran proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit.
Temu perempuan ini juga menghadirkan 3 narasumber yang memiliki pengetahuan dan expert pada isu perlindungan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan (Mia Siscawati – Sayogjo Institute), perkebunan kelapa sawit (Norman Jiwan – Transformasi Untuk Keadilan), perubahan iklim dan pendanaan iklim (Titi Soentoro – AKSI!).
Dalam materinya Titi Soentoro menyampaikan Perkembangan Kebijakan, Proyek dan Pendanaan Iklim dalam Konteks Hutan dan Perlindungan Perempuan. Komitment pembiayaan iklim di Indonesia saat ini mencapai $ 4,4 milyar, yang berasal dari Bank Dunia, JICA, USAID, dan lain-lain. Kucuran dana tersebut digunakan untuk proyek-proyek iklim di Indonesia, seperti geothermal, FIP dan REDD. Selain itu, ada juga Green Climate Fund, yang berkomitment untuk mengeluarkan dana US$ 800 milyar/tahun untuk adaptasi dan mitigasi di Negara berkembang. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana perempuan memperoleh manfaat dari proyek-proyek tersebut?. Proyek iklim ini kenyataannya merugikan masyarakat Indonesia, khususnya perempuan yang tinggal di sekitar hutan, karena tujuan proyek iklim ini bukan lagi untuk menjaga lingkungan, namun hanya untuk bisnis semata.
Persoalan perempuan juga terjadi di perkebunan kelapa sawit juga disampaikan Norman Jiwan, dimana luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sebanyak 11,5 juta Ha di seluruh indonesia (Data Sawit Watch, tahun 2011), namun ironisnya 60 – 70 % perkebunan sawit yang berada di indonesia dimiliki oleh negara luar seperti Malaysia dan Singapura. Perkebunan kelapa sawit skala besar tidak memiliki dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dengan adanya industri ekstraktif ini, masyarakat khususnya perempuan rentan mengalami pelanggaran HAM, pelecehan seksual, bekerja tanpa diupah,eksploitasi tenaga kerja perempuan, karena itulah selain dibutuhkan perlindungan, perempuan juga membutuhkan penghargaan dan penghormatan bagi hak azasi mereka.
Sementara Mia Siscawati dari Sajogjo Institute menyampaikan bahwa perempuan dari dulu telah memiliki peran signifikan dalam pengelolaan hutan. Pengalaman dari berbagai daerah dan dunia, memperlihatkan bagaimana perempuan memperjuangkan hak asasi manusia dan hak asasi perempuan dalam mempertahankan tanah mereka dan lingkungan mereka yang dirampas oleh perusahaan. Eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam yang terjadi sejak kolonial sampai abad 21, akan semakin meningkat dengan ada mega proyek MP3EI yang semakin memudahkan eksploitasi sember daya alam Indonesia oleh perusahaan asing.
Peserta kemudian turut menyampaikan persoalan dan pengalamannya dalam sesi ini, seperti perempuan di Lore Peore, yang berbagi tentang informasi mengenai HGU perkebunan ubi di wilayah mereka. Bagaimana hutan yang selama ini mereka kelola beralih fungsi menjadi perkebunan ubi dengan masa HGU yang terus diperbaharui, namun tanpa memberikan informasi dan melakukan proses persetujuan dengan masyarakat sekitar hutan, khususnya perempuan.
Pembahasan dan berbagai pengalaman perempuan telah membuktikan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan berlapis dengan adanya proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit, dimana perempuan tidak dapat lagi mengakses dan mengelola sumber daya hutannya.
(Liputan oleh Margaretha Winda FK)
Link:
http://www.solidaritasperempuan.org/liputan-temu-dan-konsultasi-perempuan-komunitas/