12 November 2013 6 menit
Taruhan bagi Perkebunan Sawit Berkelanjutan
SELASA, 12 NOVEMBER 2013 | 19:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Puluhan spanduk mengepung Hotel Santika yang terletak di Jalan Pengadilan, Medan. Sekitar 3.000 petani, buruh, serta aktivis organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat dari berbagai provinsi di Sumatera terus meneriakkan tuntutannya kepada peserta Pertemuan Tahunan Ke-11 dari The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di hotel itu.
Mereka memajang tuntutan yang berbeda-beda pada spanduk, sesuai konflik yang terjadi dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerahnya. “Kami ingin bertemu langsung dengan pimpinan Wilmar Group karena eksekutif PT Jatim Jaya Perkasa tak bisa menyelesaikan masalah di desa kami,” kata Isnadi Esman, Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau, Selasa (12/11).
PT Jatim, yang merupakan anak perusahaan Wilmar, ujar Isnadi, baru menyerahkan 600 hektare kebun sawit pada 2012 kepada warga empat desa di Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Kubu Babusalam, Riau. Padahal, sesuai dengan skema kredit koperasi tahun 2004, lahan yang harus diserahkan seluas 2.150 hektare.
Unjuk rasa hingga mengadu ke pejabat pemerintah daerah sudah dilakukan, namun tak membuahkan hasil. Karena itu, Isnadi berharap dapat menyampaikan langsung tuntutannya ke bos Wilmar yang datang dalam acara RSPO Meeting. Harapan senada juga datang dari aktivis petani, Gabungan Serikat Buruh Indonesia, Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Serbundo), Walhi Sumatera Utara, Indonesian People Aliance, Jaringan Masyarakat Gambut Jambi, dan lainnya.
Para buruh menuntut penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing) di perkebunan kelapa sawit dan industrinya. “Perusahaan yang melanggar hak-hak buruh harus dicabut izin usahanya,” kata Herwin Nasution, koordinator aksi Serbundo.
Pada 12-14 November, Medan menjadi tuan rumah Pertemuan Tahunan RSPO. Ini adalah asosiasi yang didirikan pada 2004 oleh berbagai perusahaan di sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, dan investor), akademisi dan LSM bidang lingkungan. Tujuan Forum Meja Bundar itu mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.
“Pertemuan kali ini berfokus pada perbaikan prinsip-prinsip dan kriteria serta berbagai aspek kritis. Sebagai inisiatif multipihak yang pertama untuk jenis komoditas global, RSPO memandang pendekatan progresif untuk menilai dan meningkatkan standar setiap 5 tahun sekali menjadi hal penting dalam rangka secara positif mempengaruhi dan mentransformasi pasar,” kata Darrel Webber, Sekretaris Jenderal RSPO, dalam pengantarnya.
Webber mengakui jalan masih panjang untuk mencapai norma minyak sawit berkelanjutan. Dia berharap, dalam pertemuan di Medan, 11-14 November, semua perwakilan peserta mampu merumuskan rencana masa depan. Dia mengklaim, saat ini pasokan Certified Sustainable Palm Oil adalah sebesar 15 persen dari keseluruhan pasokan minyak sawit dunia. Sedangkan keanggotaan RSPO naik melampaui 1.300 anggota.
Ada delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO yang merupakan standar global tata kelola perkebunan yang disusun berbagai pemangku kepentingan di sepanjang rantai pasok minyak sawit untuk mendefinisikan sawit berkelanjutan. Antara lain, komitmen terhadap transparansi, tanggung jawab lingkungan, dan konservasi kekayaan alam serta keanekaragaman hayati. Lalu, bertanggung jawab atas karyawan, individu, dan komunitas yang terkena dampak perkebunan dan pabrik. Serta pengembangan perkebunan baru yang bertanggung jawab.
Grup Wilmar, Sinar Mas, Minamas Plantation, Astra Agro Lestari, Asian Agri, Duta Palma, dan perusahaan perkebunan sawit lainnya mengklaim telah mengimplementasikan prinsip dan kriteria RSPO. “Kami mengadopsi semua praktek industri terbaik dan standar dalam produksi kami. Begitu juga pengelolaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan,” demikian Wilmar menuliskan dalam website-nya.
Memang, dalam tiga dekade terakhir, jumlah konsumsi minyak nabati di seluruh dunia naik tiga kali lipat. Ternyata minyak sawit paling tinggi pertumbuhannya (hingga 10 kali lipat) ketimbang minyak kedelai, minyak lobak atau rapa, minyak bunga matahari, dan minyak nabati lainnya. Pada 1980, produksi minyak sawit cuma 5 juta ton. Namun, pada 2009, produksi melesat menjadi 45 juta ton.
Diperkirakan, permintaan dunia atas minyak sawit akan mencapai tiga kali lipat pada 2050. Alhasil, kecenderungan ekspansi perkebunan kelapa sawit akan terus berlanjut tidak hanya di Indonesia dan Malaysia, tapi juga di negara-negara tropis di seluruh dunia. Saat ini, Indonesia dan Malaysia memproduksi lebih dari 85 persen minyak sawit global, dengan total lahan perkebunan kedua negara ini mencapai 14 juta hektare.
Perusahaan sawit raksasa juga melakukan ekspansi di Papua Nugini, Filipina, Thailand, dan Kamboja. Tak hanya itu, mereka merambah Benua Afrika, terutama di Liberia, Nigeria, Ghana, Pantai Gading, dan Republik Demokratik Kongo. Selain itu, di Amerika Latin, terutama di Kolombia, Honduras, dan Ekuador.
Dalam prakteknya, pembuatan kebun itu banyak terjadi di hutan primer, hutan rawa, dan lahan gambut yang kaya oksigen. Sepuluh persen deforestasi atau penggundulan hutan di Malaysia dan Indonesia sepajang 1990-2010 dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit. Sekitar 600 ribu hingga 1 juta hektare kawasan hutan dikonversi menjadi perkebunan sawit setiap tahun di Indonesia. Luasnya saat ini 8 juta hektare, dan akan naik menjadi hingga 13 juta hektare pada 2020.
Tak hanya itu, hak atas persetujuan bebas, didahulukan, dan diinfomasikan (free, prior, informed and consent, FPIC)–yang sentral dalam prinsip dan kriteria–banyak dilanggar oleh perusahaan yang tergabung dalam RSPO. Hasil studi kasus di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun, Republik Demokratik Kongo, dan Liberia, yang dipublikasikan Kamis pekan lalu di Medan, menunjukkan pelanggaran itu.
Studi kasus dilakukan Forest Peoples Programme (FPP), Sawit Watch, dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, bekerja sama dengan 17 organisasi dan lembaga di negara-negara tersebut. Hasil kajian ini dibukukan dengan judul Konflik atau Mufakat? Sektor Minyak Sawit di Persimpangan.
Salah satu kasus terjadi di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Di tempat ini, tim peneliti menemukan kolusi manipulasi konsep hak adat oleh staf dari PT Agrowiratama, anak perusahaan kelompok Musim Mas.
Perusahaan lebih memihak elite lokal daripada masyarakat penggarap lahan Melayu setempat. Salah satu responden, Resmiati, ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Beringin, menjelaskan bahwa kepala desa menawar harga tanahnya Rp 1,5 juta, dia menolak dan berkukuh harganya Rp 3,5 juta.
“Sebab, tanah sangat berharga bagi kami orang kecil ini. Jika kami mau kelapa sawit, kami akan tanam sendiri dan kami tidak mau orang lain mengambil tanah kami untuk menanam kelapa sawit,” katanya. Jika ia mampu mewariskan tanah ke anak-cucunya, “Tanah akan menjamin sumber penghidupan anak saya, bukan uang. Sebab, uang tidak pernah cukup. Tanah adalah jaminan sumber penghidupan yang paling aman,” katanya.
Riset juga menemukan, banyak produsen sawit anggota RSPO yang beroperasi di tujuh negara tersebut melanggar hak-hak masyarakat adat dan warga lokal di kawasan hutan dan lahan gambut. Menurut Marcus Colchester, Penasihat Kebijakan Senior FPP, di balik kegagalan “praktek terbaik sukarela” ini, ternyata hukum dan kebijakan nasional juga menolak atau mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Dalam berlomba cepat menggalakan investasi dan ekspor, kata Marcus, pemerintah menginjak-nginjak hak-hak rakyat mereka sendiri. “Para investor, pengecer, pabrik pengolah barang jadi, dan pedagang dunia harus tegas meminta minyak sawit yang bebas konflik, dan pemerintah nasional harus memperbaiki permainan mereka serta menghormati hak-hak masyarakat,” kata Marcus, doktor antropologi lulusan Universitas Oxford, Inggris.
Norman Jiwan, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, mengakui RSPO telah menetapkan standar yang baik. Namun banyak perusahaan anggota tidak memenuhi janji-janji di atas kertas tersebut. Dia menilai RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika mampu memberi pemulihan atas berbagai dampak perusahaan anggota terhadap masyarakat. Karena itu, ia menambahkan, kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhannya.
UNTUNG WIDYANTO
Sumber/tautan:
http://www.tempo.co/read/news/2013/11/12/206529167/Taruhan-bagi-Perkebunan-Sawit-Berkelanjutan