11 Juni 2014 6 menit

Merauke Integrated Food and Energy Estate: Melanggar Hak-hak Masyarakat Adat di Merauke dan Meruntuhkan Nilai-nilai Sosial, Ekonomi dan Budaya

Default Image

Implementasi UU No. 21 tahun 20101 tentang Otonomi Khusus Papua belum memberikan keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat asli Papua. Berbagai proyek pembangunan, khususnya yang dilakukan di Merauke tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengetahui proses pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya. Sebaliknya, malah mengakibatkan tercabutnya hak-hak masyarakat asli Papua dan maraknya pelanggaran hak asasi manusia.
Padahal, permintaan masyarakat Papua untuk memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Papua ini ditujukan untuk mengkoreksi ketidakadilan dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama pemerintahan orde baru.
Melalui UU Otsus Papua, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat lebih memenuhi rasa keadilan, memberikan kesejahteraan rakyat, lebih memperhatikan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan dan sumber daya alam Papua diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.
Penyimpangan terhadap maksud otonomi khusus Papua tersebut disebabkan, salah satunya, oleh dilaksanakannya mega proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang mulai dilaksanakan sejak 2010 telah mengakibatkan terjadinya perampasan hak-hak atas tanah dan pelanggaran hak asasi  manusia masyarakat adat di Merauke.
MIFEE yang secara resmi diluncurkan Pemerintah Indonesia 11 agustus 2010 di Merauke, sebelumnya, Mifee berawal dari MIRE ( Merauke Integrated Rice Estate ). yang di gagas oleh Bupati Merauke, John Gluba Gebze, sebelumnya, tahun 1939-1958 dikenal program Padi Kumbe di wilayah itu.
Pemerintah daerah Merauke menyediakan dan mencadangkan lahan seluas 2,5 juta hektar dan badan perencanaan tata ruang (BKPRN) merekomendasikan areal potensial yang efektif untuk proyek MIFEE seluas 1,2 juta hektar. Lahan tersebut sebagian besar adalah kawasan hutan (91 %) dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi terbatas. Hingga tahun 2013, pemerintah telah mengeluarkan puluhan izin lokasi dengan luas lahan melebihi 2,5 juta ha kepada 47 perusahaan transnasional dan nasional yang mengendalikan bisnis dan mempunyai jaringan hingga di tingkat lokal Papua.
Proyek MIFEE ini telah berdampak dan mengancam keberadaan hak-hak masyarakat adat. Perusahaan-perusahaan besar terus melakukan ekspansi dan dan menggusur tanah-tanah masyarakat adat untuk dialihkanfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pembalakan kayu. Akibatnya, terjadi penyingkiran terhadap para masyarakat adat. Penduduk setempat semakin minoritas di atas tanahnya sendiri; membludaknya pekerja dari luar Merauke, dan hancurnya ekonomi tradisonal masyarakat adat yang selama ini mengandalkan hidupnya pada hutan mereka.
Ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia dimulai ketika proses pelepasan tanah dari masyarakat adat Malind Anim kepada perusahaan-perusahaan. Pelepasan tanah umumnya terjadi melalui manipulasi kata dan makna dari mekanisme adat. Manipulasi “pengangkatan anak adat”, “toki babi”, atau pengorbanan hewan babi, yang menurut hukum adat memiliki makna sakral untuk mengesahkan perputaran hak dan kewajiban di antara sesama warga suku dan marga-marga dalam masyarakat Malind, oleh pihak perusahaan justru dipakai sebagai upaya dan tanda pengesahan peralihan hak dari marga pemilik tanah ke pihak perusahaan. Dan itu berarti penghilangan hak kepemilikan orang Malind atas tanah mereka selama-lamanya!!!
Proses manipulasi ini dilakukan melalui penciptaan istilah-istilah yang membingungkan masyarakat. Masing-masing perusahaan mempunyai pola yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah “pelepasan tanah adat” (contoh di Domande), “kompensasi” di Boepe dan Tagaepe, yang lain memakai istilah “pemberdayaan masyarakat kampung” (contoh di Kaliki), yang lain lagi, “tali asih” dan “uang penghargaan” (contoh di kampung Zanegi), “ketok pintu” di Muting. Semuanya mempunyai muara yang sama, yaitu hilangnya hak kepemilikan masyarakat adat Malind Anim.
Kehilangan hak atas tanah untuk selamanya itu sudah membawa akibat yang tidak terbayangkan oleh orang Malind Anim sendiri; sangat mengejutkan mereka. Seluruh bangunan kebudayaan mereka, termasuk hukum adat dan hubungan sosial, serta pola produksi pangan yang selama ini dibangun dan berkembang  di atas landasan kebudayaan yang berbasiskan tanah dan alam, sekarang lenyap  atau porak poranda. Kehidupan sebelumnya yang dekat dengan alam, menjadi bagian dari alam yang menyediakan semua kebutuhan hidup mereka, kini berubah.
Serbuan ekonomi uang membuat segala sesuatu yang tadinya dihargakan dengan simbol adat seperti wati, babi, sagu, tebu, pisang buti berubah. Nilai-nilai religius, moral, sosial dan budaya  dari simbol-simbol adat itu dikalahkan oleh nilai uang. Contohnya, dalam transaksi tanah yang dilakukan oleh perusahaan sejumlah uang yang bernilai milyaran rupiah dianggap sudah cukup untuk mengganti tanah yang dilepaskan. Padahal kehilangan nilai-nilai religius, moral, sosial, dan budaya tidak sebanding dengan berapa pun nilai uang.
Masyarakat adat di Merauke kini dihadapkan pada sebuah bangunan ekonomi industri baru,  yang disokong oleh sistem-sistem hukum, hubungan sosial, pola kepemilikan, dan produksi yang kapitalistik, atau dengan kata lain sistem-sistem yang sepenuhnya mengandalkan uang dan bertujuan menimbun kekayaan sebesar-besarnya bagi pemilik perusahaan.
Perubahan ini menyebabkan :

  1. masyarakat adat Malind Anim mengalami kekurangan pangan, gizi buruk, hilangnya tanaman-tanaman yang menjadi sumber-sumber obat, dan lenyapnya tempat-tempat sakral;
  2. hilangnya manifestasi atau perwujudan nilai-nilai luhur masyarakat adat Malind Anim. Totem-totem tidak lagi dihargai karena tanah di mana totem itu hidup, ‘mama’ yang mengandung dan melahirkan totem itu sudah hilang. Hubungan antara manusia dan Alam serta antara manusia dan manusia yang pada mulanya hidup dalam kedamaian dan persaudaraan sedang dan akan terus terkikis.

 
Seluruh situasi ini membuat orang-orang Malind Anim mulai bertanya-tanya: “mama di mana saya punya tanah?” atau “mama donde nok en makan?”. Ungkapan ini dalam tradisi Malind Anim sesungguhnya bermakna pertanyaan seorang anak atas warisan tanah yang menjadi haknya secara turun-temurun. Kini makna pertanyaan itu menjadi “sa pu tanah hilang kamana”?
Secara hukum adat masyarakat adat Malind Anim tidak mengenal adanya transaksi pelepasan hak atas tanah karena tanah merupakan “mama”. Tanah dalam kosmologi orang Marind adalah mahkluk hidup, bukan benda mati. Kepemilikan tanah bersifat kolektif dan bukan kepemilikan secara pribadi. Ada ungkapan untuk itu di kalangan masyarakat Malind Anim, yang berbunyi “ina anem makan anem”, atau “tanah ini kita sama-sama punya”. Kolektifitas ini digambarkan oleh ungkapan “Kondo – Digul”, ruang hidup yang membentang dari Kondo sampai Digul. Nilai ini yang membuat hasil dari tanahpun dibagi secara merata tanpa membeda-bedakan kedudukan dan pangkat secara adat. Sifat kolektifitas hak itu lahir dari filosofi ‘tanah adalah mama’. Sebagaimana seorang ibu adalah ‘milik’ dari semua anak-anaknya, bukan hanya ‘milik’ satu anak saja, demikian pula ‘makan’ atau tanah adalah ‘punya kita’ atau ‘ina anem makan anem’
Potensi pelanggaran hak asasi manusia dan eksploitasi dan perampasan hak-hak dan sumber daya alam masyarakat adat di Papua, Merauke khususnya akan semakin besar dengan adanya Peraturan Menteri Pertanian No 98 tahun 2013 tentang Izin Usaha Pertanian. Dalam Permentan 98/2013 dinyatakan bahwa “apabila izin usaha perkebunan dimohonkan di Provinsi Papua dan Papua Barat, maka dapat diberikan 2 (dua) kali dari batas paling luas”. Misalnya, perkebunan sawit dibolehkan mencapai 20.000 ha per-provinsi, maka pada kedua provinsi tersebut dapat mencapai 40.000 Ha.
 
Untuk itu, kami meminta agar:

  1. Presiden SBY mencabut dan menghentikan proyek MIFEE;
  2. Presiden segera melakukan evaluasi terhadap izin-izin terkait pemanfaatan sumber daya alam di Merauke;
  3. Presiden SBY, Gubernur Papua, dan Bupati Merauke agar menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat Papua, khususnya Merauke; menciptakan dan memberikan kesejahteraan rakyat, menghormati dan melindungi hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat di Merauke;

 
Jakarta, 11 Juni 2014


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top