16 November 2014 3 menit

Diskusi Terbatas: Pendekatan Adaptif untuk Partisipasi dan Kepemimpinan Perempuan dalam Pemerintahan Desa di Merauke, Papua

Foto FGD PapuaKamis, 13 November 2014, Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta.
Keterlibatan perempuan dalam politik memiliki kontribusi atas peningkatan kesejahteraan kaum perempuan yang selama ini termarginalkan, terlebih dengan adanya usaha pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang mengangkat wacana kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pada banyak situasi dan kondisi di ruang publik, jenis kelamin masih sering dilihat sebagai faktor yang paling menentukan kredibilitas seseorang dalam keberhasilan memimpin. Ketika berperan sebagai seorang pemimpin, perempuan cenderung mengalami stereotyping bahwa karakteristik yang dimilikinya tidak tepat untuk menempati posisi sebagai pemimpin yang berhasil
Implikasi dari hal ini adalah bukan tidak mungkin akan adanya pesan terselebung yang membuat masyarakat bahkan perempuan itu sendiri mempertanyakan kredibilitasnya untuk terlibat dalam kepemimpinan organisasi.  Alasan pertama adalah kemungkinan bahwa mereka kurang memiliki kecakapan tertentu, misalnya dalam pengambilan keputusan, kemampuan interpersonal dan sebagainya. Namun hal ini dapat dipelajari dari pelatihan dan pengalaman, bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Alasan lain adalah seorang perempuan yang menjadi pemimpin terkadang masih dipandang kurang memiliki kuasa dan pengaruh. Menghadapi situasi ini, perempuan perlu melakukan upaya untuk meningkatkan daya dan pengaruhnya dalam struktur yang ada saat ini. Perempuan pedesaan dan masyarakat adat Papua menghadapi tiga beban rezim yakni pembangunan eksklusif, diskriminasi pelaksanaan peraturan dan ekonomi, sosial dan perbedaan budaya. Situasi tersebut terus terjadi di Merauke, Papua.
Penyelenggaraan diskusi terbatas ini menghadiri beberapa narasumber, diantaranya; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (Maria Ruwiastuti), dosen Universitas Cenderawasih Papua (Edward Kocu), Direktur Eksekutif SKP-KAME (Pastor Anselmus Amo) dan Direktur Eksekutif Yayasan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Laili Zailani.
Diskusi ini juga dihadiri oleh teman-teman dari LSM nasional dan Papua, yakni ELSAM, Eknas WALHI, PIL-Net, Kapal Perempuan, KPA, Pusaka, SKP-KAME dan Asosiasi Antropolog Indonesia, serta dipandu oleh wartawan senior Harian Tempo.
“TuK-INDONESIA meyakini bahwa problem mendasar perempuan adalah karena tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan dalam unit yang terkecil maupun terbesar sehingga diskusi kali ini ingin menggali lebih dalam pendapat segenap narasumber dan hadirin akan hal-hal terkait partisipasi, dan kemudian, kepemimpinan perempuan.Hal urgen lain adalah implementasi UU Pemerintahan Desa yang baru dan bagaimana posisi perempuan dan apa tahapan yang harus dilalui agar perempuan mampu berpartisipasi aktif dan menunjukkan kepemimpinannya dalam konteks ini,”tutur Rahmawati Retno Winarni.
Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Norman Jiwan menuturkan, “bahwa diskusi ini sebagai media untuk dapat bertukar pikiran dan pengalaman sehingga akan muncul gagasan tentang langkah-langkah transformatif ke depan dalam rangka mendorong terjadinya pemberdayaan dan partisipasi perempuan, khususnya di Merauke”.
Lebih lanjut dijelaskan, “diskusi ini juga dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan kunci yang menjadi tujuan TuK INDONESIA dan memberikan rekomendasi soal design strategi yang bisa diformulasikan untuk kemudian masuk ke dalam tahap penyusunan strategi, model pendekatan, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi”, pungkas Norman Jiwan.


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top