13 Februari 2015 6 menit
Wah! 29 Taipan Kuasai 5 Juta Hektar Lebih Lahan Sawit
Sebuah studi dari Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo, memperlihatkan betapa 29 taipan pemilik 25 kelompok bisnis sawit menguasai lahan lima juta hektar lebih, dengan 3,1 juta hektar sudah ditanami. Pengembangan sisa lahan sawit seluas dua juta hektar, terbuka lebar karena dukungan lembaga keuangan sangat kuat kepada mereka. Kondisi ini, berpotensi memicu kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
Total kekayaan 29 taipan ini diperkirakan US$69,1 miliar. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) 2012, sebesar US$878 miliar, jelas para taipan ini mengontrol kekayaan begitu besar. Kala dibandingkan dengan APBN Indonesia 2014, sebesar Rp1.800 triliun, kekayaan segelintir orang ini setara 45% APBN!
Dari 29 itu, taipan terpenting dalam penguasaan lahan ini adalah Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Matheson Group. Wilmar Group dan Surya Dumai Group.
Penelitian itu menyebutkan, selama 2008-2013, terjadi kenaikan lahan perkebunan sawit dari 7,4 juta hektar menjadi 10 juta hektar. Peningkatan ini, sebesar 520 ribu hektar atau setara luas Bali lahan berubah menjadi kebun sawit per tahun!
Dari 25 grup perusahaan sawit ini, memiliki 5,1 juta hektar, dan baru ditanami 3,1 juta hektar. Berarti masih 40% lahan 25 grup bisnis belum ditanami, antara lain milik Sinar Mas Group, Triputra Group, Musim Mas Group, Surya Dumai Group dan Jardine Matheson Group. Lahan-lahan sawit ini tersebar di beberapa provinsi seperti Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dan lain-lain.
Rahmawati Retno Winarni, Direktur Program TuK Indonesia mengatakan, kondisi saat ini saja, pengembangan sawit telah menciptakan banyak masalah, dari konversi hutan, pencemaran sampai konflik-konflik sosial di masyarakat.
“Jika 2 juta hektar itu ditanami tahun-tahun mendatang, konsekuensi sosial dan lingkungan bisa sangat besar,” katanya dalam workshop di Jakarta, Kamis (12/2/15).
Peluang ekspansi sawit sangat besar ke depan, katanya, karena pendanaan mendukung. Tak hanya dari taipan atau modal sendiri juga dukungan besar dari perbankan maupun lembaga keuangan lain.
Dari riset ini terlihat, periode 2009-2013, teridentifikasi pinjaman total US$11,3 miliar oleh bank kepada 25 kelompok sawit milik taipan ini. Bank paling utama penyedia pinjaman kepada taipan sawit adalah HSBC (United Kingdom), OCBC (Singapura ) dan CIMB (Malaysia).
Tak hanya itu, bank investasi juga menjadi penjamin (underwriter) penerbitan saham dan obligasi dari 25 grup bisnis sawit ini senilai US$2,3 miliar. “Artinya, bank membantu perusahaan menarik dana dari investor senilai itu.”Adapun underwriter penting adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat) dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Jadi, kata Wiwin, begitu biasa disapa, tampak jelas konsentrasi kepemilikan lahan sektor sawit difasilitasi lembaga keuangan domestik dan asing. Bank, katanya, menyediakan pinjaman, bank investasi menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi. Lalu, dana pensiun dan investor lain membeli obligasi dan saham. “Lembaga keuangan menawarkan para taipan sarana mempercepat ekspansi bisnis.”
Ambil peran dan arah kebijakan
Guna mereformasi sektor ini, katanya, ‘penyandang dana’ dari berbagai sumber itu, harus memegang tanggung jawab bersama atas problem sosial dan lingkungan yang terjadi. Dengan begitu, jika dipandang dari peluang perbaikan, mereka ini bisa berperan besar dalam mereformasi sektor sawit ini.
Untuk itu, ada beberapa rekomendasi dari riset ini, antara lain, pertama, lembaga keuangan dalam dan luar negeri harus memperkuat kebijakan risiko sosial dan lingkungan serta meningkatkan penilaian risiko dan mekanisme akuntabilitas.
Dengan begitu, lembaga keuangan, katanya, menghindari memfasilitasi pertumbuhan sawit dari pelanggaran hak asasi manusia, perampasan tanah, konflik sosial, eksploitasi pekerja dan petani kecil.
Kedua, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bisa memainkan peran sangat penting dengan memastikan lembaga keuangan mengembangkan mekanisme akuntabilitas yang baik dan mengadopsi kebijakan keberlanjutan.
Ketiga, para pihak perlu mempromosikan pembangunan ekonomi berkeadilan. “Kaji ulang pemanfaatan lahan sangat besar untuk ketahanan pangan, tanaman pangan buat dalam negeri daripada terus ekspor.” Lalu, perkuat konservasi hutan dan usaha pariwisata serta mengembangkan tanaman komoditas lain yang bisa mengintegrasikan hulu ke hilir.
Keempat, perlu menciptakan kaitan antara peningkatan produktivitas kebun, pengelolaan pekebun dan perizinan. “Diharapkan, dalam pemberian izin, misal ada syarat, perusahaan tak akan mendapat izin kalau produktivitas tak naik, juga hubungkan bagaimana perusahaan bangun hubungan baik dengan masyarakat.”
Kelima, industri sawit memerlukan investasi lebih integral, meliputi sektor hilir, tidak hanya penyulingan minyak tetapi sampai pengolahan bahan makanan dan produk-produk oleokimia.
Menanggapi ini Edi Setijawan, Deputi Direktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, pinjaman dari lembaga keuangan, porsi sawit kira-kira sekitar 60-70%. “Memang bank-bank banyak masuk ke sawit dibanding sektor pertanian lain. Itu kelihatan dari portopolio mereka. Ini indikasi bisnis sawit menguntungkan,” katanya.
Namun, dana-dana dari berbagai lembaga keuangan itu banyak dari luar bukan bank-bank di Indonesia hingga OJK tak bisa mengawasi. “Ini pola sama di sektor energi. Jadi kita tak tahu modal yang berseliweran itu berapa? Investor langsung bawa ke Indonesia.”
Hal menarik lagi dari laporan itu, katanya, lembaga keuangan yang memberikan pendanaan kepada 25 grup bisnis itu adalah mereka yang sudah mengadopsi pinsip-prinsip berkelanjutan global. “Pertanyaannya, apa itu diterapkan di Indonesia? Apakah (kala) induk terapkan, misal Rabbo Bank, anak usaha di Indonesia juga menerapkan standar ‘hijau’ yang sama dengan induk?”
OJK, katanya, melakukan peningkatan pengawasan dan koordinasi dalam implementasi keuangan berkelanjutan. Dia menyadari, pelaksanaan pengawasan belum optimal. Untuk itu, lembaga ini akan menyempurnakan pedoman buat pengawasan. “Bagi yang tak paham lingkungan mulai dikenalkan.”
Namun Edi menyadari, OJK memiliki keterbatasan dalam pemahaman lingkungan. Untuk itu, perlu dukungan dari luar, seperti organisasi lingkungan dan masyarakat sipil lain. “Kami ada batas karena bukan ahli. Jadi support dari luar itu penting.”
Yang green dari OJK
OJK, kata Edi, tahun lalu meluncurkan roadmap of sustainable finance (roadmap jasa keuangan berkelanjutan). “Ini jangka panjang dan desain lima sampai tujuh tahun ke depan. Ini perlu kerja sama dengan semua pihak. Ia bisa jadi pedoman jasa keuangan termasuk stakeholder lain, guna dorong sustainable finance di Indonesia” kata Edi.
Lembaga ini juga mengembangkan green product, seperti green insurance, green bond, green index dan lain-lain. Tujuannya, bagaimana dorong penyediaan pendanaan berkelanjutan, baik bank maupun non bank. Tak hanya memciptakan produk tetapi bagaimana menciptakan permintaan produk keuangan ramah lingkungan. “Misal, green bond, siapa yang mau beli? Tabungan ramah lingkungan siapa yang mau beli? So creating demand. Saat ini baru ada potential demand.”