24 Maret 2015 2 menit

Ekspansi Perkebunan Sawit: Perusahaan Ini Bayar Lahan Warga Rp750.000 Per Hektar

sawit-13Bisnis.com, BANGGAI, Sulteng — Proses ekspansi yang dilakukan perusahaan sawit Kencana Agri Ltd melalui anak usahanya PT Wiramas Permai di Kecamatan Banggai, Kabupaten Boalemo menimbulkan sejumlah permasalahan sosial.
Edisutrisno, Direktur Advokasi Trasformasi untuk Keadilan Indonesia mengatakan permasalah pertama ialah konflik agraria. Mengingat lebih dari 400 hektar lahan perkebunan dan pertanian yang dimiliki warga dikonversi menjadi areal perkebunan sawit yang diistilahkan Ganti Rugi Tanaman Tumbuh (GRTT) tanpa proses yang transparan.
“Awalnya warga memaknai GRTT hanya ganti rugi tanaman sedangkan tanahnya akan dijadikan kebun plasma yang nantinya akan jadi milik masyarakat. Namun ketika proses ganti rugi warga hanya disodori kwitansi pembayaran tanah seharga Rp750.000 per hektar, dan lahan dijadikan hak milik perusahaan semua,” ujarnya ketika berbincang dengan Bisnis, ketika melakukan kunjungan ke Kabupaten Banggai, Kecamatan Bualemo, Sulteng, pekan lalu.
Hal ini dibenarkan Amna, salah seorang warga yang kebunnya dikonversi 2 hektar. Menurutnya, kala itu warga rela memberikan lahan dengan harga rendah karena perusahaan berjanji mensejahterakan warga. Antara lain membuka lapangan kerja, membangun fasilitas dan memberikan inti plasma 20% dari lahan perkebunannya.
“Kalau waktu itu mereka tidak bicara seperti itu ya mana mau kami memberikan lahan. Tapi mereka janji mau mensejahterakan warga dan membuat ini plasma, tapi apa? Tak ada plasma. Malah setelah lahannya berbuah dan menghasilkan justru kami dipecat,” keluh wanita yang sempat menjadi buruh di PT Wiramas Permai.
Kedua, masalah perburuhan yang tidak memenuhi syarat kontrak ikatan kerja, terutama buruh harian lepas, upah di bawah UMP, tidak memiliki organisasi perburuhan. Selain itu, tidak adanya jaminan kesehatan dan standar keselamatan kerja yang memadai.
Hal ini menyebabkan adanya buruh yang harus kehilangan penglihatan seperti yang dialami Saani, bahkan ada pula yang meninggal dunia ketika tengah menjaga kebun.
Setidaknya terdapat 179 buruh yang di PHK karena alasan kondisi alam dan jumlah pekerja yang melebihi luasan perkebunan.
Mustar Djangkuton, mantan mandor mengakui setelah lima tahun bekerja sejak perusahaan ekspansi pada 2009, warga hanya dijadikan pekerja harian lepas. Meski harian, mereka digaji bulanan yang kadang tidak sesuai nilainya.
“Seharusnya kami bekerja 25 hari tapi semakin ke sini hari kerja hanya 15 hari. Seharusnya kami dibayar Rp900.000 kalau kerja 15 hari tapi hanya Rp500.000 an perbulan,” ujarnya.
Sumber: Bisnis Indonesia


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top