2 Juli 2015 3 menit

ResponsiBank Dorong RUU Perbankan Peka Sosial dan Lingkungan

MongabayPembahasan RUU Perbankan sedang berjalan di DPR. Untuk itu, koalisi organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam ResponsiBank meminta DPR memasukkan pasal-pasal yang memungkinkan perbankan andil dalam menjaga lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Menurut mereka, perbankan memiliki peran besar dalam menentukan kelestarian lingkungan.
Aktivis Transformasi untuk Keadilan (TuK), Edi Sutrisno di Jakarta, akhir Juni 2015, mengatakan, bank bukan menara gading yang semata-mata mengejar profit. Bank juga bagian tak terpisahkan dari masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial. “Investasi mereka perlu memperhatikan hak-hak masyarakat yang terkena dampak investasi,” katanya. Koalisi ini terdiri dari Perkumpulan Prakarsa, ICW, Walhi, TuK, Publish What You Pay, Inifid, dan YLKI.
Dia mencontohkan, banya kerusakan lingkungan dan konflik sosial dalam perkebunan sawit yang secara tak langsung didukung sektor perbankan. “Ada1.600 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia. Ada 25 taipan menguasai 479 perusahaan besar. Sawit tidak hanya bekerja sendiri juga ada dorongan dari perbankan dalam bentuk pinjaman.”
Dia memaparkan, relasi hubungan sosial dengan perkebunan sawit, seperti perampasan tanah terjadi dimana-mana. “Kriminalisasi terus terjadi. Persoalan buruh baik laki-laki, perempuan juga anak. Ini masalah besar.”
Belum lagi, soal kesehatan, penggunaan pestisida, perizinan yang mengurangi ruang gerak masyarakat lokal dan adat, akses mengelola SDA warga terbatas.
“Lalu soal petani plasma. Pemerintah menganggap plasma baik-baik saja. Kalau kita lihat, apa benar ada petani plasma? Tidak pernah lebih 5%. Belum soal akses pupuk, menentukan harga dan lain-lain,” katanya.
Seharusnya, katanya, sektor perbankan bisa memperhatikan hal-hal ini sebelum menentukan perusahaan yang menjadi rekanan dalam mendapat bantuan permodalan. “Ini seharusnya bisa diatur RUU Perbankan.”
Kurniawan Sabar, dari Walhi Nasional mengatakan, kebijakan bank perlu lebih tegas dalam meminta calon kreditur sebelum memberikan kredit.
“Seringkali pelanggaran aspek legalitas itulah yang menjadi masalah di lapangan. Hingga ujung-ujung perusakan lingkungan dan pelanggaran hak masyarakat.”
Saat ini, bencana ekologis terus meningkat dari tahun ke tahun, banjir, longsor, sampai rob. “Desa-desa yang sebelumnya tidak pernah bencana kini mengalami.”
Konflik SDA dan agraria juga makin meningkat. Data Konsorsium Pembaruan Agraria menyebut, tahun 2014 terjadi 472 konflik dengan luas 2,8 juta hektar dan 1.587 keluarga. Jumlah ini naik 27,9%. Setiap sektor menyumbang konflik baik kehutanan, perkebunan maupun pertambangan.
“Konflik sepanjang November sampai Juni 2015, Walhi menangani 173 orang ditangkap, tujuh orang dianiaya dan dua meninggal.”
Wawan mengatakan, perbankan tak cukup hanya melihat soal Amdal karena itu hanya aspek paling kecil. Terlebih, banyak Amdal copy paste.
Akbar Ali, Peneliti Sustainable Development Perkumpulan Perkasa, mengatakan, setelah Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan peta jalan keuangan berkelanjutan, industri perbankan di Indonesia tak bisa mundur lagi dari kecenderungan global menekankan aspek keberlanjutan dalam bisnis.
Dia mengatakan, ada empat pilar yang didorong Koalisi ResponsiBank dalam pembahasan RUU Perbankan ini. Pertama, tanggungjawab lingkungan hidup dan sosial, terutama berkaitan pembangunan keberlanjutan. Kedua, perlindungan konsumen terkait mekanisme pengaduan nasabah dan penyediaan informasi transparan. Ketiga, inklusi keuangan terkait peran bank dalam membiayai sektor riil dan UMKM. Keempat, transparansi tata kelola terkait pelaporan dan pengawasan bank untuk mencegah transaksi keuangan ilegal.
Pada 11 Juni, Koalisi ResponsiBank rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR-RI menyampaikan masukan-masukan terhadap RUU Perbankan. RUU itu inisiatif DPR. DPR, katanya, akan focus group discussion membahas masukan-masukan itu.
Sumber: Mongabay, 2 Juli 2015


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top