18 Agustus 2015 3 menit
Perempuan Papua dan Pemerintahan Desa
Pembangunan Indonesia bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan aktif dalam berbagai kegiatan kedamaian internasional, sebagaimana termaktub dalam mukadimah konstitusi negara ini. Pembangunan juga tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun keterlibatan masyarakat sebagai subjek pembangunan juga harus lebih besar. Sebab itu pembangunan yang baik adalah pembangunan yang beradasarkan prinsip buttom up.
Pembangunan tidak hanya menjadi tanggung jawab lelaki, namunjuga perempuan, terlebih karena kebutuhan masing-masing pihakdiketahui paling baik oleh pihak itu sendiri. Apa yang dibutuhkan perempuan diketahui paling baik oleh perempuan itu sendiri, oleh karenanya keterwakilan perempuan dalam berbagai pengambil kebijakan dan lembaga yang mempengaruhi kebijakan adalah mutlak.
Perempuan juga memiliki peran strategis dalam melakukan pembangunan secara nasional, terlebih secara ratio, jumlah perempuan hampir seimbang dari jumlah laki-laki. Sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 merilis dari 237.556.363 orang penduduk Indonesia 49% nya atau 118.048.783 orang adalah perempuan. Sebab itulah perempuan juga memegang peranan penting dan potensial dalam pembangunan.
Hanya saja dalam kehidupan sehari-hari, perempuan di Indonesia masih berada dalam subordinat dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran perempuan masih dianggap sebelah mata dan memiliki ruang gerak terbatas dalam mengisi kesehariannya. Perempuan masih dinilai memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugas dan mengisi pembangunan lantaran sifat alami yang dimilikinya.Sebab itulah perempuan masih sedikit mendapatkan peran-peran strategis dalam mengisi pembangunan. Indikatornya dapat dilihat dari tiga hal: pertama, aspek ekonomi. Perempuan Indonesia masih banyak yang berada dalam garis kemiskinan. Rendahnya pendapatan dan kurangnya akses dalam perekonomian membuat kaum perempuan Indonesia semakin terpuruk. Saat ini 4,7 juta perempuan di Indonesia masih menganggur. Masih kuatnya budaya patriarki juga menyebabkan ketimpangan sosial. Sehingga, kaum perempuan sulit mengakses pekerjaan, pendidikan dan aktualisasi diri.
Kedua, aspek pendidikan. Dari jumlah perempuan pekerja di Indonesia sekitar 81,15 juta orang dan 56 persen atau 45,4 juta orang di antaranya hanya berpendidikan SD. Hanya 4,7 persen atau 3,8 juta yang berpendidikan akademi atau sarjana, data BPS tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat banyak kasus dimana anak perempuan terpaksa tidak bersekolah untuk mengurangi biaya pendidikan yang ditanggung keluarganya dan terpaksa masuk ke angkatan kerja mencari nafkah bagi keluarganya, dan lebih banyak anak perempuan usia sekolah yang bekerja dibandingkan anak laki-laki. Jumlah buta aksara perempuan masih 2 kali lipat dari laki-laki (perempuan 12,28%, laki-laki 5,48%) dan rata-rata lama bersekolah perempuan (7,1 tahun) lebih rendah daripada laki-laki (8,0 tahun). Jumlah sarjana perempuan masih di bawah 5%.
Ketiga, aspek kesehatan. Derajat kesehatan kaum perempuan juga sangat memprihatinkan. Walaupun Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sudah menurun, namun ternyata masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. AKI di Indonesia terakhir berada di angka 228/100.000 kelahiran hidup setelah sebelumnya sebesar 307/100.000 kelahiran hidup.
Guna memaksimalkan peran perempuan dalam pembangunan, maka pada tahun 2010 Pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, sebagai acuan untuk memaksimalkan potensi perempuan dalam pembangunan. Dalam keluarga, kaum perempuan merupakan tiang keluarga, kaum perempuan akan melahirkan dan mendidik generasi penerus. Kualitas generasi penerus bangsa ditentukan oleh kualitas kaum perempuan sehingga mau tidak mau kaum perempuan harus meningkatkan kualitas pribadi masing-masing.
Download artikel lengkapnya disini