29 Oktober 2015 6 menit

Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK di Sektor Sumber Daya Alam

RRIKBRN, Jakarta -Setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda masalah serius yang sampai sekarang tak kunjung bisa dituntaskan oleh pemerintah, pertama kekeringan dan kedua adalah bencana kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia, bagaimana tidak, pasalnya negara tetangga seperti Malaysia, Singapura bahkan Australia mendapatkan dampak dari kabut asap ini.
Data sejumlah NGO yang konsen dalam isu-isu lingkungan menyimpulkan bahwa kabut asap terjadi karena adanya pembakaran lahan secara massal oleh korporasi yang bergerak dalam sektor perkebunan sawit. Lahan sengaja dibakar untuk membuka lahan agar siap ditanami, belum lama ini Walhi menemukan fakta bahwa bekas lahan yang terbakar di wilayah Kalimantan sudah ditanami sawit. BBC Indonesia melaporkan bila sejak awal September emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika yang menyebabkan kualitas udara di Indonesia tidak sehat yang dihasilkan dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, 35,9% di lahan gambut. Sedang Sumatera Utara 593.000 hektar terbakar, dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.
Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas-negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public. Berdasarkan riset “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia terlibat dalam aksi kebakaran lahan yaitu Sinar Mas dan Wilmar Group. Hal itu diperkuat dari total landbank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 ha dan Wilmar sebesar 342,850 ha.
“Di Indonesia tercatat ada 25 group bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit ini dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran Taipan dalam bisnis ini ternyata juga mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis. Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, lembaga finansial dan khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan – dan tunda IPO di bursa efek” tutur Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA.
Sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah, seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.
Komitmen Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres, Jusuf Kalla (JK) terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar hutan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja hingga saat ini kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin namun juga dalam penindakan secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi hak rakyat atas lingkungan yang sehat. Dukung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dapat memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik,” seru Vera Falinda, Stakeholder Relation OfficerTuK INDONESIA.
Sementaraitu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tata kelola migas dan tambang, menilai masih banyak pekerjaan rumah yang masih tertunda pada rezim Jokowi-JK selama satu tahun ini.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyebutkan, di sektor migas, Nawa Cita sebagai pedoman pengelolaan Migas di Indonesia, terutama terkait strategi ketahanan energi dan semakin tipisnya cadangan migas nasional masih belum menunjukan hasil signifikan, upaya eksplorasi dinilai belum maskimal untuk memperoleh cadangan baru. Percepatan revisi UU Migas dan memastikan seluruh subtansinya sesuai dengan konstitusi dan memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan rakyat juga masih dipertanyakan kelanjutannya.
Selama setahun terakhir, upaya mencegah praktik-praktik mafia migas yang diduga bermain dalam setiap rantai nilai industri migas dari hulu maupun hilir telah dilakukan. “PWYP Indonesia masih menunggu hasil audit investigasi soal Petral.Hasil audit itudiharapkan menjadi acuan untuk ditindak lanjuti dalam ranah hukum,” tegas Maryati.
Untuk sektor minerba yang harus menjadi fokus perhatian antara lain terkait hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan, renegosiasi Kontrak Karya (KK), serta penataan ijin-ijin pertambangan dan penegakan standar dlingkungan dan social dari kegiatan pertambangan. Di sektor minerba proses yang tertunda adalah KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sampai dengan batas waktu renegosiasi yang diberikan UU No 4/2009 tentang Minerba, ternyata baru 1 KK yang menandatangani amandemen dan 10 PKP2B yang telah menandatangi amandemen masih ada 96 KK dan PKP2B yang masih perlu ditindaklanjuti.
“Renegosiasi tersebut terutama terkait 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajiban divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri,” ujarnya. Soal renegosiasi Freeport, PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan dalam proses renegosiasinya. Dan memastikan posisi kedaulatan dan kepentingan bangsa Indonesia di dalamnya sebagai prioritas utama.
Terkait dengan problem tata kelola pertambangan, PWYP Indonesia mengatakan, pemerintah harus segera menuntaskan penataan izin. Hingga awal Agustus 2015 lalu, izin usaha pertambangan (IUP) yang belum berstatus clear and clean (CnC) masih sebanyak 4.563 (42%) dari IUP yang tercatat di ditjen minerba yakni sebanyak 10.922 IUP. Dirjen Minerba berjanji sebelumnya di bulan Juli 2015 lalu, jika masih ada IUP yang belum CnC mereka akan mengambil alih untuk mencabutnya. Namun, kami tidak melihat adanya kemauan politik yang kuat dari Dirjen Minerba untuk menindak IUP non-CnC.
Tumpang tindih kawasan pertambangan dengan kawasan hutan dan perkebunan sampai dengan pengawasan terhadap pelaksanaan jaminan reklamasi dan pasca tambang. Belum optimalnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sector pertambangan baik dari royalty maupun iuran tetap (land rent) juga harus mendapatkan perhatian. “berdasarkan perhitungan Publish What You Pay Indonesia total potential lost untuk sewa tanah atau land rent (IUP eksplorasi U$ 2 per hektar dan operasi produksi US$ 4 per hektar) di 30 provinsi penghasil minerba di seluruh Indonesia sejak 2010-2013 mencapai Rp 1,55 triliun,” tegas Maryati.
Salah satu fokus lagi adalah memastikan kembali pelaksanaan komitmen Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sebagaimana dinyatakan dalam Perpres No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Penerimaan Negara dan Daerah yang Diterima dari Sektor Industri Ekstraktif Migas dan Pertambangan. (Ridwan Z/AKS)
Sumber: RRI.CO.ID, 29 Oktober 2015


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top