20 Februari 2016 7 menit
Revisi UU KPK Untungkan Koruptor SDA
Meski banyak ditolak, sejumlah partai politik nampaknya nekat ingin menyelesaikan “Proyek Cepat“ Revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK). Dari sepuluh Partai Politik di DPR, saat ini baru Partai Gerindra, Demokrat dan PKS yang menyatakan menolak, tujuh Partai lainnya lainnya masih belum bersikap tegas untuk menolak Revisi UU KPK. Jika tidak ada perubahan sikap, maka dapat dipastikan Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/2) mendatang akan menghasilkan keputusan Revisi UU KPK akan dilanjutkan dibahas sebagai usul inisiatif DPR. Jika Revisi UU KPK mulai dibahas dan disahkan di DPR maka artinya eksistensi KPK sedang terancam.
Secara subtansi naskah Revisi UU KPK yang beredar di publik sangat jelas dan nyata tidak dimaksudkan untuk memperkuat KPK namun justru berupaya menghambat kerja-kerja KPK dan menjadikan KPK menjadi tidak independen. Pimpinan KPK pernah menyatakan 90 persen subtansi dalam Revisi UU KPK dinilai melemahkan institusi KPK.
Subtansi yang dinilai melemahkan KPK antara lain mengenai prosedur Penyadapan dan Penyitaan KPK yang harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas, tidak bolehnya KPK melakukan rekruitmen penyidik dan penyelidik sendiri diluar Kepolisian dan Kejaksaan, Dewan Pengawas yang diangkat dan dipilih oleh Presiden, hingga KPK dapat melakukan penghentian perkara.
Niat Sejumlah Partai Politik yang katanya memperkuat KPK melalui Revisi UU KPK juga patut diragukan. Justru kecurigaan yang muncul ini adalah upaya balas dendam sejumlah partai politik kepada KPK. Hal ini mengingat sudah banyak kader dan pimpinan partai politik – baik dengan status sebagai anggota parlemen, kepala daerah maupun menteri – yang telah dijerat oleh KPK dalam perkara korupsi. Juga tidak sedikit politisi yang memiliki usaha disektor Sumber Daya Alam yang selama ini terganggu dengan kerja penindakan dan pencegahan korupsi.
Keberadaan Revisi UU KPK jika disahkan tidak saja menghambat atau mengancam kerja-kera institusi KPK namun juga berdampak serius pada terancamnya upaya pemberantasan korupsi di sektor Sumber Daya Alam. Dibandingkan dengan institusi atau kementrerian lainnya, selama ini hanya KPK yang memiliki perhatian serius terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penyelamatan Sumber Daya Alam.
Pada aspek penindakan, Sejak KPK berdiri – akhir tahun 2003 lalu – hingga 2015 sedikitnya terdapat 7 (tujuh) perkara korupsi di sektor sumber daya alam khusus kehutanan yang telah ditangani oleh lembaga antikorupsi ini. Perkara korupsi tersebut antara lain adalah: Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) pada 15 perusahaan yang tidak kompeten dalam bidang kehutanan; Menerbitkan izin pemanfaatan kayu (IPK) untuk perkebunan sawit di Kalimantan Timur , dengan tujuan semata untuk memperoleh kayu ; Pengadaaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementrian Kehutanan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 89 miliar; Suap terhadap anggota dewan terkait dengan Pengadaaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementrian Kehutanan dan alih fungsi lahan ; Suap terkait alih fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau ; Suap terkait alih fungsi lahan hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api, Banyuasin, Sumatera Selatan ; Dugaan suap terkait pemberian Rekomendasi HGU Kepada Bupati Buol oleh PT Hardaya Inti Plantation.
Dari perkara-perkara tersebut, tercatat sedikitnya 23 orang aktor telah diproses oleh KPK, diadili dan divonis oleh pengadilan tipikor dan mayoritas telah menjalani pidana penjara di lembaga pemasyarakatan. Mereka terdiri dari 14 orang dari lingkungan eksekutif (mantan kepala daerah, pejabat dinas/kementrian kehutanan atau dinas kehutanan provinsi), 6 orang dari politisi/legislatif dan 3 orang dari pihak swasta. Beberapa pelaku korupsi tertangkap seperti Al Amin Nasution, Hartati Murdaya dan Bupati Buol salah satunya akibat proses penyadapan yang dilakukan oleh KPK
Penanganan perkara korupsi kehutanan yang dilakukan oleh KPK juga memberikan kontribusi dalam pengembalian kerugian keuangan negara (asset recovery). Tercatat pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh Marthias – terpidana perkara korupsi Penerima IPK dan penikmat kebijakan yang diterbitkan oleh Gubernur Kaltim, Suwarna AF – sebesar Rp 346 miliar merupakan yang terbesar yang diperoleh KPK hingga saat ini.
Pada aspek pencegahan, pada tahun 2013 KPK juga melakukan inisiasi adanya Nota Kesepakatan Bersama (NKB) Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia dengan 12 Kementrian yang terkait. Selajutnya pada 19 Maret 2015, KPK bersama dengan 20 Kementrian dan lembaga negara menandatangani Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Penandatanganan yang dilaksanakan di Istana Negara Jakarta dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain itu disepakati pula Deklarasi Aparat Penegak Hukum untuk mendorong upaya penegakan hukum dalam rangka penyelamatan SDA di Indonesia.
Berdasarkan kajian KPK, munculnya ketidakjelasan status hukum kawasan hutan mengakibatkan tumpang tindih dan potensi korupsi dalam proses perizinan. Pada tahun 2014 ditemukan sekitar 1,3 juta Ha izin tambang berada dalam kawasan hutan konservasi dan 4,9 juta Ha berada dalam kawasan hutan lindung. Akibatnya negara kehilangan potensi penerimaan negara sebesar Rp 15,9 triliun per tahun. Belum lagi kerugian negara akibat pembalakan liar yang bisa mencapai Rp 35 triliun per tahun.
Peran KPK yang sudah terbukti kuat dalam melakukan penindakan mempunyai efek positif dalam menjalankan kewenangannya melakukan perbaikan sistem dan kebijakan PSDA itu. Pelemahan KPK berarti juga akan melemahkan perbaikan sistem dan kebijakan PSDA yang korup dan tidak adil selama ini.
AURIGA mencatat upaya pencegahan korupsi sektor sumber daya alam yang lain dilakukan KPK melalui kegiatan Koordinasi Supervisi Mineral dan Batubara (Korsup Minerba) di 12 Propinsi di Indonesia. Berdasarkan rekomendasi Korsup Minerba ditingkat propinsi pada tahun 2014, pemerintah daerah harus melakukan evaluasi dan penataan terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah, baik permasalahan administrasi, keuangan maupun wilayah. Salah satu indikator evaluasi izin adalah IUP bermasalah dengan status non Clean and Clear (CNC). Dimana, izin-izin yang belum mendapatkan sertifikat CNC direkomendasikan untuk dicabut.
Berdasarkan data Korsup Minerba tahun 2014, propinsi dengan jumalah IUP Non-CNC tertinggi adalah Propinsi Bangka Belitung (601 IUP) diikuti Propinsi Kalimantan Timur (450 IUP) dan Kalimantan Selatan (441 IUP). Dari jumlah IUP yang bermasalah dan berstatus Non-CNC, hingga september 2015 tercatat 721 IUP telah dicabut di 12 Propinsi. Tiga Propinsi dengan jumalah pencabutan tertiggi adalah Sulawesi Tengah 160 IUP, Sumatera Selatan 148 IUP dan Kepulauan Riau 93 IUP. Walaupu demikian, dibeberapa Propinsi penataan izin bermasalah ini juga dilakukan perbaikan dan penyelesaian permasalahan sehingga IUP yang Non-CNC menjadi bersertifikat CNC.
TuK Indonesia melihat bahwa harus ada tindakan pencegahan atas kebijakan pendanaan di bidang perkebunan, salah satunya adalah alokasi dana melalui kebijakan CPO Fund (dana kelapa sawit/Crude Palm Oil Fund). Kami mensinyalir bahwa selain menguntungkan perusahaan kelapa sawit, CPO Fund menyediakan ruang yang sangat besar bagi pejabat publik yang mengurusi hal ini. Tidak adanya transparansi yang jelas oleh badan pengelola dana kelapa sawit (BPDPKS) sebagai pengampu dana terkait mekanisme pemungutan dan distribusi dana serta penentuan harga sehingga ada kemungkinan penyelewangan dana yang dilakukan oleh pihak tertentu. Dengan direvisinya UU KPK, akan membuka peluang sangat besar bagi segala kebijakan pendanaan sumber daya alam dan idealnya, revisi UU KPK bukan melemahkan namun mengawal ketidaktransparanan atas kebijakan pendanaan yang ada salah satunya CPO Fund.
Jika Revisi UU KPK disahkan dan proses penyadapan KPK dipersulit maka salah satu yang diuntungkan adalah koruptor Sumber Daya Alam. Proses perizinan disemua sektor Sumber Daya Alam seperti kehutanan, perkebunan, pertambagan dan migas saat ini masih rentan terhadap praktek suap menyuap. Apabila proses penyadapan dipersulit dan dihambat maka penangkapan terhadap pelaku suap disektor sumber daya alam juga sangat mungkin dilakukan. Dengan demikian maka pihak yang paling bergembira atas Revisi UU KPK adalalah aktor-aktor korupsi yang bermain di sektor Sumber Daya Alam. Muncul kekhawatiran bahwa kepentingan untuk melakukan Revisi UU KPK selain berasal dari Politisi juga datang dari pihak swasta/Pengusaha atau Korporasi disektor kehutanan yang selama ini terlibat dalam praktek suap maupun korupsi untuk melancarkan usaha.
Oleh karena itu maka kami dari dari Koalisi Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam menyatakan menolak Revisi UU KPK seperti yang digagas oleh sejumlah Partai Politik. Setuju Revisi UU KPK hanya akan mengancam penyelamatan Sumber Daya Alam.
Jakarta, 20 Februari 2016
KOALISI ANTI MAFIA SUMBER DAYA ALAM
(AURIGA, WALHI Kalbar, Publish What You Pay, Indonesia Corruption Watch, Transformasi untuk Keadilan Indonesia, Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan, Public Interest Lawyer Network indonesia, Sajogyo Institute)
Cp: Dimas NH – AURIGA Hp 0811520404
CP: M. Hadiya Rasyid – TuK Indonesia Hp 085355631430