23 April 2016 3 menit
Siaran Pers: Hentikan Pembiayaan bagi PT Musi Hutan Persada yang Merampas Hak-Hak Rakyat
Palembang, 23 April 2016 – Aksi kesewenang-wenangan perusahaan terhadap masyarakat terulang kembali. PT Musi Hutan Persada (MHP) yang dimiliki oleh Perusahaan Marubeni Jepang dengan paksa telah menggusur masyarakat Desa Cawang Gumilir, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Aksi penggusuran ini terjadi semenjak bulan Juli 2015 dimana lebih kurang 120 hektar kebun karet dan lahan pangan warga dan 188 unit rumah digusur oleh perusahaan dengan berbagai alasan, salah satunya alasan konservasi.
Penggusuran tersebut juga melibatkan aparatur negara seperti dinas kehutanan, TNI, dan Polri. Negara tidak hadir untuk berpihak pada rakyat, kehadiran negara ini justru ditandai dengan terenggutnya hak-hak warganya, karena Negara lebih memilih untuk memfasilitasi korporasi menjalankan bisnis – yang terang-terangan bertentangan dengan amanat konstitusi.
Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan menyampaikan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan pembiaran terhadap 900 jiwa yang saat ini terpaksa mengungsi. Perusahaan Marubeni Jepang sebagai pemilik saham penuh PT MHP bertanggung jawab atas penggusuran tersebut.
“Pemerintah harus mendorong penyelesaian kasus ini dengan kembali merujuk pada surat penghentian penggusuran yang ditandatangani oleh Menteri LHK tanggal 14 Juli 2015 yang meminta Gubernur dan Bupati untuk menyelesaikan persoalan dengan menggunakan pendekatan persuasif melalui skema perhutanan sosial.” Ujar Hadi di sela-sela pembukaan karnaval Walhi, Jumat, 22 April 2016
Sementara itu, perwakilan masyarakat Cawang Gumilir mengungkapkan bahwa perusahaan menggusur habis semua lahan pertanian warga. Bahkan TNI dan polisi ikutserta mengamankan penggusuran dan menyebar ancaman kepada warga, kesannya malah aparat keamanan menginginkan masyarakat pergi dari kampungya
“Kami masyarakat berharap dapat kembali tinggal dan beraktivitas normal tanpa bayang-bayang ancaman di kampung sendiri”, ujar perwakilan masyarakat tersebut.
Kasus PT. MHP ini menjadi contoh kembali gagalnya sektor bisnis memajukan dan menghormati HAM. Hak asasi manusia belum menjadi bagian terintegrasi dengan kebijakan dan operasional perusahaan. Dunia bisnis Indonesia masih enggan mengadopsi “UN Guiding Principle on Bisnis and Human Rights” dalam manajemen dan kegiatan operasional mereka.
Ifdhal Kasim, praktisi Bisnis dan HAM dan mantan Ketua Komnas HAM 2007-2012 menambahkan bahwa, “Pemindahan paksa (“force eviction”) dan pengambilalihan paksa lahan-lahan produktif masyarakat oleh korporasi ini harusnya bisa dihindari apabila perusahaan mengadopsi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan bisnis dalam kegiatan mereka. Melihat pengalaman seperti ini seringkali berulang terus-menerus, Pemerintah harus segera menyiapkan regulasi yang mengatur penghormatan korporasi pada hak asasi manusia, termasuk lembaga-lembaga keuangan”.
PT MHP telah menggunakan uangnya untuk praktek yang tidak elok. Artinya, lembaga keuangan yang mendukung permodalan PT MHP juga ikutserta dalam penindasan. Lembaga keuangan harus mengambil tindakan karena uang merekalah yang memampukan perusahan melakukan penggusuran. Otoritas Keuangan juga mestinya bertindak dengan memberikan peringatan kepada lembaga keuangan yang membiayai perusahaan serta memperkuat aspek uji tuntas pengajuan kredit termasuk di dalamnya uji tuntas HAM (Human Right Due Dillignce) agar kejadian serupa tidak terjadi di masa yang akan datang.
Kasus penggusuran oleh PT. MHP ini bergulir semenjak awal tahun 2015 dan masih berlangsung hingga saat ini. Lebih dari 900 jiwa terpaksa mengungsi dan kehilangan rumah serta lahan pertanian. Kasus ini menjadi contoh kembali gagalnya sektor bisnis menghargai Hak Asasi Manusia
Untuk info lebih lanjut silahkan hubungi
Hadi Jatmiko (Direktur Eksekutif Walhi Sumsel) : 08127312042
Hadiya Rasyid (Communication Officer – TuK Indonesia) : 085355631430