6 Oktober 2016 5 menit

Siaran Pers: RUU Perkelapasawitan, (Palm Oil (Domi)Nation)

Jakarta, 6 Oktober 2016. Tahun lalu pembakaran hutan dan lahan mengakibatkan petaka bagi rakyat dan negara Indonesia. Pembakaran itu telah mengakibatkan 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa menderita ISPA, dan sebanyak 60 juta jiwa terpapar asap, seluas 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar telah mengakibatkan kerugian sebesar 221 Trilyun rupiah, negara pun harus mengeluarkan dana sebesar 720 milyar untuk mengatasi kebakaran (BNPB, 2015).
Seperti mengabaikan semua petaka tersebut, tahun 2016 ini DPR RI menginisiasi dan mendorong lahirnya UU Perkelapasawitan, saat ini RUU Perkelapasawitan sedang dibahas di Komisi IV DPR RI, padahal diketahui dari 439 perusahaan yang terlibat pembakaran tahun 2015 di 5 Provinsi, 308 diantaranya adalah perusahaan sawit.
Dalam pandangan kami, RUU Perkelapasawitan merupakan upaya korporasi mengeruk keuangan negara dengan menuntut berbagai fasilitas keuangan atau pembiayaan, mulai dari pembibitan, penyediaan modal, penyediaan lahan, pengangkutan, hingga ke penyediaan air untuk perkebunan sawit. Selain itu, RUU ini digunakan pengusaha sawit untuk melindungi dirinya dari konsekuensi hukum atas berbagai kejahatannya terhadap lingkungan dan kemanusiaan.
RUU ini juga memporak porandakan fungsi dan ketetapan dalam UU yang lain, seperti UU Pokok Agraria, UU Perkebunan dan UU Lingkungan serta UU Kehutanan, dengan memunculkan definisi sendiri terhadap substansi mendasar yang menjadi roh regulasi lain.
Terhadap RUU Lingkungan, yang menjadi satu satunya Undang-Undang yang diharapkan mengontrol, mengendalikan serta menghentikan dampak UU sektoral, justru UU Perkelapasawitan secara substansial melakukan perlawanan terhadap aturan dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, seperti pasal-pasal sanksi bagi perusahaan dan penerbit izin yang melakukan pelanggaran hukum. RUU ini juga merupakan upaya untuk membuat korporasi bisa melakukan kejahatan yang dilarang UU 32 tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup, dan PP 71 tahun 2014 dengan terjemahan terbalik terhadap larangan menjadi kewajiban.
Dalam konteks Agraria dan Masyarakat hukum adat, klausal-klausal RUU Perkelapasawitan membuat defenisi sendiri terhadap Masyarakat Hukum Adat, hak ulayat, kriteria dan pengakuan MHA serta, klausul ini merupakan upaya mengisolasi MHA sebagai subjek untuk tidak dapat mempertahankan wilayahnya menghadapi rencana ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Terhadap UU Kehutanan dan Agraria serta Perkebunan, klausul-klausul RUU Perkelapasawitan yang mengatur tentang proses pelepasan kawasan hutan, pemenfaatan tanah terlantar dan merupakan upaya untuk melindungi perusahaan perusahaan sawit yang saat ini melakukan aktivitas illegal dalam kawasan hutan, dan melindungi praktek land banking.
Dalam konsideran huruf (b) RUU ini telah melakukan kebohongan  sains, menyatakan sawit merupakan Tumbuhan yang terkandung dalam kekayaan alam Indonesia. Sedangkan sawit merupakan Tanaman keberdaaanya telah masuk katagory AEP-Alien Expansion Plant terhadap biodiversity dan ekosistem Indonesia. Manipulasi informasi dan pengetahuan ini dimaksutkan untuk memerangkap regulasi Indonesia untuk mengkatagorikan sawit sebagai tumbuhan yang mana keberadaanya dalam kawasan hutan tidak bisa dijerat oleh UU Kehutanan.
Selain itu, undang-undang ini bertentangan dengan Moratorium sawit yang dicanangkan Presiden. Jika RUU ini disahkan maka moratorium sawit yang didasarkan hanya atas Keputusan Presiden, dengan sendirinya akan bertentangan dengan Undang-undang ini.
Undang- Undang perkelapa sawitan untuk siapa?
Di ketahui saat ini, Shareholder atau pemegang saham perkelapasawitan terbesar di Indonesia adalah Malaysia, diikuti Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Bermuda, Brazil, Canada, Prancis, dan Belanda. Bondholder atau pemegang surat hutang/obligasi adalah Amerika Serikat, Kanada, Switzerland, Inggris, Prancis, Denmark, Jerman, Jepang, dan Itali. Sementara Loans atau pemberi pinjaman terbesar adalah Malaysia, Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, Singapura, Jepang, Jerman, dan lain-lain. Maka bisa dikatakan RUU ini sedang memberi fasilitas kepentingan Malaysia, Amrika Serikat, Inggris, Singapura, dan negara-negara lainnya.
Lima pemilik perkebunan sawit swasta terbesar di Indonesia adalah Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Metheson Group, Wilmar Grup, dan Surya Dumai Group. Perusahaan-perusahaan ini sekaligus pemegang land banking atau persediaan lahan yang paling luas di Indonesia. Ini artinya dengan RUU Perkelapasawitan ini, Indonesia dijadikan sebagai “bancakan” negara-negara lain, karena menurut Undang-Undang ini Indonesia harus membiayai seluruh bagian dari usaha perkelapasawitan milik korporasi.
Selain itu, kami melihat sejak dari awal pembuatan undang-undang ini telah mengandung niat jahat kepada negara, tidak usah dipertentangkan dengan pasal-pasal UUD 1945, dengan Alinea ke empat UUD 1945 saja RUU ini sudah rontok, jika Undang-Undang ini dibuat untuk kepentingan umum, kepentingan umum yang mana yang dimaksud RUU ini? Kepentingan umum dalam UUD 1945 itu diterjemahkan nasional, tidak internasional.
Kami juga melihat hubungan Undang-Undang ini dengan kebijakan Tax Amnesty, setelah uang pulang ke Indonesia, diharapkan uang tersebut untuk pembangunan Indonesia, kemudian RUU Perkelapasawitan ini meminta pembangunan infrastruktur, dikhawatirkan Tax Amnesty ini juga yang digunakan melalui negara untuk membangun infrastruktur perkebunan kelapa sawit.
Hal lain yang tidak bisa dihindarkan adalah, mengkaji pembahasan RUU ini dengan kondisi politik di Indonesia saat ini. Ada semacam trend pada saat-saat pelaksanaan Pemilu, yaitu lahirnya peraturan perundang-undangan terkait perkebunan dengan Pemilu, tahun 2007 lahir Peraturan Menteri Pertanian No. 26 Tahun 2007 tentang Izin Usaha Perkebunan, Permentan ini memperbolehkan sawit ditanam di lahan gambut, kelahiran Permentan ini sepertinya ada hubungannya dengan pemilu tahun 2009, kemudian tahun 2013 lahir Permentan No. 98/2013 Tentang Izin Usaha Perkebunan, diikuti dengan lahirnya UU No 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, kemungkinan ada hubungannya dengan kebutuhan politik tahun 2014, jangan-jangan Undang-Undang ini didorong oleh DPR RI untuk insentif politik tahun 2019.
“Dalam kondisi bisnis kelapa sawit saat ini dan upaya membuat Undang-Undang Perkelapasawitan, sangatlah jelas ditujukan untuk memfasilitasi kepentingan asing dan mempertahankan status quo atas penguasaan lahan di Indonesia. Hal ini juga bertentangan dengan komitment Jokowi untuk moratorium perkebunan kelapa sawit dan tentunya bertentangan dengan Nawa Cita dan agenda Presiden jokowi untuk reforma agraria.” Kata Edisutrisno dari TuK INDONESIA.
Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Hukum Lingkungan Walhi Eknas, mengatakan Pembahasan RUU Perkelapasawitan harus segera dihentikan oleh DPR RI, RUU ini tidak layak untuk dilanjutkan, karena tidak bersifat imparsial, dan yang paling mendasar adalah dimulai dengan pertimbangan yang mengandung unsur kejahatan. ***
Narahubung:
Zenzi Suhadi (Walhi Eknas)               : 081289850005
Edisutrisno (TuK INDONESIA)       : 081315849153


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top