10 Maret 2017 6 menit

Fakta Terkini Petani Sawit di Kabupaten Kampar dan Siak Provinsi Riau

Vera Falinda
(Staff Penguatan Jaringan dan Organisasi – TuK Indonesia)

Tulisan berupaya untuk memberikan gambaran tentang fakta terkini tentang petani kelapa sawit di Kabupaten Kampar dan Siak Provinsi Riau berdasarkan kajian yang dilakukan oleh TuK Indonesia sepanjang Desember 2015-April 2016 di dua kabupaten tersebut. Tulisan selanjutnya akan membahas analisa skema pembiayaan oleh perbankan terhadap petani sawit, akses ke petani sawit perbankan dan pembiayaannya itu sendiri.

Fakta empirik dari Kabupaten Siak dan Kampar Provinsi Riau, menyebutkan umumnya petani sawit menghadapi kendala untuk mengoptimalkan produktivitas dan menghasilkan TBS yang berkualitas sebagai berikut:

Pertama, petani sawit tidak menggunakan bibit unggul. Mayoritas petani sawit di desa menggunakan bibit Mariles atau Marihat Leles. Mariles merupakan ungkapan untuk bibit yang tidak jelas asalnya karena bibit didapatkan dari buah sawit yang jatuh dan tumbuh, lalu ditanam oleh petani sawit. Alasannya, tentu masalah kesulitan akses dan harga bibit bersertifikat yang tidak terjangkau.

Khusus untuk bibit, pemerintah daerah tahun 2013-2014 mengawali program penggantian bibit palsu. Pemerintah, melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan melakukan penyediaan atau pembibitan kelapa sawit. Program ini diperuntukkan kepada petani sawit melalui Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) untuk memastikan petani membangun kelapa sawit dengan baik dan benar. Program ini tidak mampu diakses oleh petani sawit dengan skema mandiri; program tersebut mengharuskan petani harus berkelompok sedangkan petani sawit di Desa Sungai Tengah Kabupaten Siak menjalankan usaha kelapa sawit secara mandiri yang tidak tergabung kepada siapapun, baik organisasi tani di tingkat desa, koperasi dan perusahaan. Kondisi ini berbeda dengan petani sawit dengan skema plasma (PIR) dan KKPA karena pada saat pembangunan kebun, koperasi dan perusahaan sudah mempersiapkan bibit unggul untuk petani sawit dengan persyaratan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh pihak tersebut harus diganti oleh petani sawit.

Kedua, murahnya harga jual TBS. Hal tersebut disebabkan panjangnya rantai distribusi yang harus dilalui oleh petani sawit dengan skema mandiri. Berdasarkan ciri-cirinya, petani sawit tidak mempunyai keterikatan dengan siapapun sehingga petani sawit lebih memilih menjual TBS kepada pengumpul kecil, karena petani dapat menerima langsung uang dari hasil penjualan TBS. Rantai distribusi TBS tidak berhenti pada pengumpul kecil, mereka kembali menjual TBS tersebut kepada pengumpul besar dan pengumpul besar menjual kepada pemegang DO karena pengumpul tidak mempunyai akses penjualan TBS langsung ke pabrik.

Alur yang cukup panjang berpengaruh pada harga yang ditetapkan oleh pengumpul kecil, yang tidak sesuai dengan penetapan harga patokan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan di level provinsi. Dalam hal ini, posisi petani sawit harus menerima karena tidak memiliki akses terhadap pembuatan keputusan tentang penetapan harga; penetapan harga tersebut berpengaruh pada pendapatan dan biaya produksi yang dikeluarkan petani sawit.

Hal tersebut senada dengan pengakuan Yusrizal, Kepala Bidang Bina Produksi dari Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Siak, bahwa terdapat perbedaan harga yang diterima oleh petani sawit dengan skema mandiri dan plasma. Petani sawit dengan skema mandiri mendapatkan harga yang lebih rendah, sedangkan petani sawit dengan skema plasma mendapatnya harga yang lebih tinggi. Perbedaan harga tersebut terjadi karena faktor panjangnya mata rantai penyaluran hasil TBS dan petani sawit dengan skema mandiri tidak berkelompok.

Ketiga, pupuk atau pestisida mahal dan tidak tersedia. Masih menurut Yusrizal, terkait dengan pupuk, pemerintah tidak bisa intervensi banyak untuk perkebunan rakyat yang dikelola oleh petani sawit, karena harga pupuk mahal. Akhirnya, petani sawit banyak yang memilih untuk tidak melakukan perawatan kebun dengan rutin. Namun, pemerintah memiliki program bantuan pupuk ke GAPOKTAN dalam bentuk subsidi di mana petani sawit hanya membayar ongkos kirim dari pabrik ke GAPOKTAN. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, bantuan pupuk bersubsidi tidak bisa diakses oleh petani dengan skema mandiri karena harus berkelompok; yang bisa mengakses bantuan pupuk bersubsidi tersebut adalah petani sawit dengan skema plasma, yang tergabung dalam GAPOKTAN.

Keempat, cuaca tidak mendukung akibat kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di penghujung tahun 2015 membuat mereka tidak bisa mengurusi kebunnya dengan baik. Kekeringan yang disusul asap kebakaran membuat produksi mereka jatuh. Dan masih banyak melaporkan bahwa di tahun 2016 pun mereka masih berhadapan dengan produktivitas yang lebih rendah dibandingkan tahun kebakaran hutan dan lahan yang terkenal di seluruh dunia itu.

Kelima, faktor lainnya adalah tidak adanya pendampingan. Para petani juga punya kesadaran bahwa mereka itu bukanlah petani yang canggih. Mereka terbiasa membandingkan hasil panenan mereka sendiri dengan hasil kebun besar, hasil petani besar, dan rerata produksi lainnya. Mereka kemudian tahu, bahwa pengetahuan dan keterampilan mereka sangat perlu dikuatkan. Mereka sendiri yang menyatakan bahwa pendampingan adalah keniscayaan bila mereka bertekad meningkatkan kesejahteraan melalui perkebunan kelapa sawit.

Keenam, keterbatasan akses terhadap pembayaan yang disediakan lembaga jasa keuangan karena persyaratan kredit sulit dipenuhi oleh petani dan analisis resiko oleh perbankan.

Tidak hanya itu, saat ini tanaman kelapa milik petani di Kabupaten Kampar, mayoritas masuk masa replanting. Petani sawit tidak bisa melakukan peremajaan kebun karena tidak adanya modal, tidak memiliki pengetahuan dalam peremajaan kebun, tidak ada komitmen dari perusahaan inti dan tidak adanya akses bibit yang berkualitas.

Kondisi ini kian diperparah di saat pemerintah telah menghentikan alokasi bantuan perkebunan kelapa sawit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang jumlahnya mencapai Rp.100-200 miliar setiap tahun. Berdasarkan kutipan berita di majalah Tempo pada tanggal 20 November 2016, Gamal Nasir, mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, mengatakan, meski bantuan perkebunan kelapa sawit melalui APBN dihentikan, alokasi bantuan untuk sawit rakyat tidak boleh terputus. Pertimbangannya karena banyak tanaman gagal berbuah pada masa panen. Kegagalan panen ini mencapai 30%. “Gagal berbuah karena petani membeli sawit sembarangan yang tidak berlabel dan memiliki sertifikasi”, katanya.

Setelah bantuan perkebunan kelapa sawit melalui APBN dihentikan, alokasi bantuan bibit diserahkan kepada badan layanan umum yang mengurusi perkebunan, yakni Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang dibentuk pada Juli 2015. BPDPKS bertugas melaksanakan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit, baik dana pengembangan maupun dana cadangan pengembanga, sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan BPDPKS di antaranya mengacu pada PP No 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Perpres No 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Kunci keberhasilan pemanfaatan dana sawit, dari sawit untuk sawit, yaitu: (1) substansi dan pengembagan pasar sawit; (2) peremajaan; (3) sarana dan prasarana; (4) pengembangan SDM/pendidikan; (5) penelitian dan pengembanga; (6) promosi dan advokasi. Peruntukan dana sawit ini belum bisa dimanfaatkan oleh petani sawit khususnya untuk melakukan peremajaan kebun karena alokasi dana hanya untuk peremajaan kebun hanya 1%. Pemanfaatan dana sawit, hanya terfokus pada subsidi biofuel karena alokasi dana yang diperuntukan sebesar 89%, seperti tabel dibawah ini:

Daftar Perusahaan Penerima Subsidi Biofuel (Rp miliar)

Perusahaan Subsidi
Wilmar Bionergi Indonesia 779
Wilmar Nabati Indonesia 1.023
Musim Mas 534
Eterindo Wahanatama 30
Anugerahinti Gemanusa 38
Darmex Biofuels 330
Pelita Agung Agrindustri 193
Primanusa Paima Energi 37
Cilaandra Perkasa 133
Cemerlang Energi Perkasa 134
Energi Baharu Lestari 23

Bila dilihat alokasi dana sawit, artinya adanya ketimpangan alokasi penyaluran dana sawit antara biodisel dan replanting, yang sebenarnya dapat merugikan petani kelapa sawit. Merespon kondisi yang dihadapi oleh petani sawit, TuK INDONESIA mendesain konsep skema pembiayaan alternatif untuk petani sawit. Konsep ini adalah bersifat terintegrasi antara petani kelapa sawit, koperasi, pembeli, para ahli dan NGO, BPDPKS dan institusi keuangan. Oleh sebab itu, penting bagi BPDPKS perlu mengakselerasi pemikiran dan sumberdayanya untuk secara riil menunjukkan keberpihakannya membantu para petani sawit, khususnya petani mandiri.


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top