21 Maret 2017 7 menit

Pertemuan G20 dan Keuangan Berkelanjutan: Apa yang Perlu Disampaikan Presiden Jokowi di Hamburg?

Pertemuan pimpinan keuangan negara-negara G20 telah berakhir di pada Sabtu 18 Maret 2017. Hasilnya ‘mengejutkan’ seluruh pihak karena benar-benar menunjukkan bahwa proteksionisme Amerika Serikat memang bisa mengubah banyak kesepakatan yang sudah dicapai bertahun-tahun. Steven Mnuchin, Menteri Keuangan Amerika Serikat, secara terang-terangan menyatakan bahwa pendekatan G20 yang selama ini menentang proteksionisme telah menjadi “not really relevant.”
Perwakilan Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa sudah menyatakan kekecewaannya yang mendalam atas sulitnya memertahankan perdagangan bebas, saling menguntungkan dan lebih adil di antara negara-negara G20. Mereka semua telah berupaya keras untuk mencapai kesepakatan dengan mengakomodasi kepentingan Amerika Serikat tanpa mencederai tujuan dan pendekatan yang selama ini dipercaya sebagai yang terbaik. Tetapi sikap non-kompromistik perwakilan Amerika Serikat membuat kesepakatan tak bisa dicapai.
Selain proteksionisme, Amerika Serikat juga benar-benar menunjukkan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan dalam bentuk penentangan terhadap upaya pengendalian perubahan iklim. Kalau di dalam negeri sendiri Amerika Serikat memotong 31% anggaran perlindungan lingkungan dan mulai menghidupkan kembali industri batubara dan mendorong pertumbuhan industri minyak secara besar-besaran, dalam pertemuan G20 Amerika Serikat bersama-sama dengan Arab Saudi bahkan mengutuk sekadar referensi terhadap pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim di dalam teks perjanjian.
Ketidaksetujuan kedua negara kemudian benar-benar menghilangkan referensi itu, lantaran teks perjanjian haruslah hanya yang disetujui oleh seluruh pihak. Dengan Donald Trump sebagai presiden yang secara terbuka menyatakan bahwa perubahan iklim adalah hoax buatan Tiongkok untuk merugikan ekonomi Amerika Serikat, dan pembiayaan untuk menanganinya adalah pemborosan belaka, menjadi mustahil bagi Amerika Serikat untuk berpartisipasi di dalam pengendaliannya.
Dengan hilangnya pernyataan tentang perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil, serta pernyataan tentang pendanaan untuk penanganan perubahan iklim, maka pertemuan tersebut dinyatakan gagal oleh banyak pihak. Untungnya, kesepakatan mengenai stabilisasi nilai tukar dan penghentian kompetisi devaluasi mata uang bisa masuk ke dalam perjanjian. Tetapi, dengan kegagalan di dua isu kunci tersebut, seluruh negara—selain Amerika Serikat, dan Arab Saudi, tentu saja—berharap perbaikan luar biasa bisa terjadi pada pertemuan kepala negara G20 di Hamburg.
Oleh karena itu, kehadiran Presiden Jokowi di Hamburg pada bulan Juli mendatang perlu dipersiapkan dengan baik. Pesan-pesan Presiden Jokowi perlu menjadi bagian penting dari upaya untuk mengembalikan dua isu tadi ke dalam teks perjanjian yang disepakati para kepala negara. Sementara, di sisi lain, Indonesia juga perlu mendapatkan keuntungan berjangka panjang dari pertemuan tersebut. Bukan saja dari perdagangan, namun juga dari investasi dan pendanaan untuk kepentingan rehabilitasi/restorasi lingkungan Indonesia yang juga menguntungkan bagi dunia. Beberapa pesan yang perlu disampaikan adalah:
Pertama, menunjukkan keuntungan-keuntungan model perdagangan yang selama ini diperjuangkan oleh G20. Perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil adalah apa yang dinyatakan sebagai salah satu raison d’etre dibentuknya G20. Kemajuan perekonomian telah dicapai melalui model tersebut, dan hal ini perlu disokong oleh bukti-bukti nyata berupa statistik perdagangan dan lainnya. Selama ini Presiden Trump ‘terkenal’ dengan kesalahan-kesalahan data yang sangat elementer. Tanpa harus menyatakan kesalahan dalam apa yang dipercaya oleh Trump, penekanan terhadap kemajuan bersama perlu disampaikan secara gamblang.
Kedua, memberikan gambaran kompehensif mengenai kemungkinan dampak proteksionisme terhadap ekonomi Amerika Serikat. Proteksionisme memiliki daya tarik jangka pendek, yang mungkin saja merupakan satu-satunya hal yang dihitung oleh Trump. Namun, dunia memiliki sejumlah besar contoh bahwa dalam jangka panjang proteksionisme tidaklah menguntungkan. Kerugian dalam jangka panjang, yang akan dirasakan oleh rakyat Amerika Serikat jauh setelah Donald Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden perlu disampaikan, agar menjadi bahan pertimbangan tim ekonomi Trump yang dipastikan akan hadir di Hamburg.
Ketiga, menekankan tentang penting dan urgennya penanganan perubahan iklim bagi seluruh dunia. Sejumlah 97% ilmuwan mumpuni dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan terkait iklim telah sepakat bahwa perubahan iklim itu terjadi, penyebabnya adalah antropogenik, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan segera, serta dunia akan mengalami dampak yang semakin buruk bila penanganannya diperlambat. Amerika Serikat, sebagai negara penghasil emisi nomor dua tertinggi di dunia setelah Tiongkok, tidak bisa mengabaikan hal ini, lantaran rakyatnya sendiri yang akan menderita, selain juga akan membahayakan negara-negara lain. Dampak terhadap Amerika Serikat sendiri perlu menjadi penenkanan.
Keempat, memberikan gambaran mengenai keuntungan ekonomi-sosial-lingkungan yang telah dan bisa diperoleh bagi negara-negara yang telah mulai menjalankan new climate economy. Menangani perubahan iklim dengan sungguh-sungguh bukan sekadar membawa konsekuensi biaya, melainkan juga membawa keuntungan ekonomi. Seluruh ekonom lingkungan sepakat bahwa semakin awal perubahan iklim ditangani, maka biayanya semakin kecil; selain keuntungan yang bisa diperoleh dari investasi itu semakin besar. Contoh-contohnya bisa ditemukan di banyak negara G20, namun terutama bisa ditunjukkan contoh sukses dari kota dan negara bagian Amerika Serikat sendiri yang banyak di antaranya sudah menerapkan ekonomi yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan perubahan iklim.
Kelima, menyatakan dukungan kepada investasi untuk pencapaian SDGs. Bukan saja terkait dengan perubahan iklim, seharusnya seluruh investasi pemerintah dan swasta diarahkan kepada pembiayaan yang sesuai dengan pencapaian SDGs di tahun 2030. Inilah yang dinyatakan sebagai pengertian keuangan berkelanjutan (sustainable financing) yang mutakhir. Amerika Serikat sendiri masih memiliki kesenjangan yang tinggi dalam banyak Tujuan SDGs, sehingga perlu untuk mengarahkan pembiayaan publik yang bisa menutup kesejangan itu. Seluruh negara lain juga demikian. Presiden Jokowi juga bisa menekankan bahwa SDG17 menekankan pada kerjasama intra- dan antarnegara dalam pencapaiannya, sehingga investasi dalam pencapaian SDGs juga perlu dilakukan di negara-negara berkembang yang lebih membutuhkan.
Keenam, menyatakan dukungan terhadap GreenInvest Platform di bawah kepemimpinan Jerman. Pada Januari 2017telah disepakati bahwa salah satu program penting G20 di bawah kepemimpinan Jerman adalah menjalankan GreenInvest Platform, bukan hanya untuk negara-negara G20, melainkan juga untuk negara-negara berkembang yang membutuhkannya. Dalam perhitungan GreenInvest Platform, untuk membuat dunia benar-benar bisa masuk ke dalam ekonomi hijau—rendah karbon, memiliki resiliensi atas perubahan iklim, tidak menghasilkan polusi—dibutuhkan USD90 triliun, yang sebagian besarnya diinvestasikan di negara-negara berkembang. Presiden Jokowi perlu menyatakan dukungan terhadap platform ini untuk menunjukkan pemihakan kepada ekonomi hijau dan negara-negara berkembang. Selain, tentu saja, hal ini akan menguntungkan Indonesia sendiri.
Ketujuh, mendesak diberlakukannya safeguards sosial dan lingkungan bagi investasi yang dilaksanakan oleh dan di negara-negara G20. Kebanyakan lembaga keuangan dari negara-negara G20 telah memiliki kebijakan perlindungan sosial dan lingkungan di dalam investasi mereka. Namun, seluruhnya bersifat voluntari dan/atau terbatas keberlakuannya. Kiranya pendekatan voluntari tersebut sudah tidak lagi memadai, mengingat berbagai permasalahan sosial dan lingkungan terkait dengan investasi sudah semakin mengemuka, dan banyak di antaranya yang malah membuat negara-negara sasaran investasi menjadi dirugikan, sementara keuntungan ekonomi tetap diperoleh negara asal investasi. Pemberlakuan safeguards sosial dan lingkungan di seluruh negara-negara G20, yang merupakan negara asal sekaligus sasaran investasi yang utama akan menguntungkan negara-negara G20 sendiri lantaran menjamin dampak bersih positif dari investasi, baik bagi negara asal maupun sasaran.
Terakhir, mengundang berbagai investasi berkelanjutan untuk masuk ke Indonesia. Indonesia adalah negara tujuan investasi yang sangat menarik untuk berbagai sektor ekonomi. Apalagi, peringkat ease of doing business di Indonesia terus meningkat. Presiden Jokowi perlu menekankan pada sektor-sektor ekonomi yang memang bisa menarik minat investasi asing, namun dengan menegaskan bahwa investasi yang diinginkan Indonesia adalah investasi yang memerhatikan keberlanjutan dengan dimensi ekonomi-sosial-lingkungan yang kokoh. Indonesia sudah banyak menderita karena investasi domestik maupun asing yang secara ekonomi bisa mendatangkan keuntungan bagi investor namun keuntungan ekonomi bagi Indonesia sendiri jauh lebih kecil; sementara dampak negatif sosial dan lingkunganya ditanggung oleh Indonesia. Hal ini perlu diakhiri, dengan hanya menerima investasi berkelanjutan.
Agar pesan-pesan tersebut bisa dianggap serius oleh negara-negara G20 lainnya, Indonesia perlu menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunannya memang mengarah ke sana. Di antara yang terpenting adalah memastikan bahwa Indonesia memiliki regulasi tentang keuangan berkelanjutan. Hingga sekarang, bentuk yang dimiliki barulah soft regulation berupa peta jalan yang sudah dibuat Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diluncurkan pada Desember 2014. Ada baiknya, sebelum ke Hamburg Presiden Jokowi memastikan terlebih dahulu bahwa peta jalan tersebut telah diresmikan menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Ini sungguh penting untuk menunjukkan keseriusan Indonesia.

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif

Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan

This post is also available in: English


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top