18 April 2017 7 menit

Masyarakat Sipil Mengawal Pertemuan G20

Keuangan Berkelanjutan untuk Kemaslahatan Masyarakat dan Lingkungan

Jalal

Transformasi untuk Keadilan Indonesia

Salah satu pelesetan yang paling saya sukai adalah nama C20, yang bisa membuat orang yang biasa membaca tentang G20 kecele.  Ia merupakan kependekan Civil-20, yang maksudnya adalah kumpulan organisasi masyarakat sipil yang berasal dari negara-negara G20.  Jadi, ini jelas pelesetan yang ekstra-cerdas.  Namun, kecerdasannya bukan cuma di soal nama.  Saya melihat organisasi ini memiliki pemikiran mendalam dalam mengawal agenda-agenda G20, tentu dari sudut pandang kemaslahatan masyarakat dan lingkungan.

Tanggal 15 Maret 2017 lalu mereka mengeluarkan tujuh rekomendasi kebijakan untuk G20.  Yang langsung membetot perhatian saya adalah yang mereka beri judul Reform the International Financial System.  Mengapa?  Karena rekomendasi kebijakan ini benar-benar menjawab kekhawatiran banyak pihak setelah pertemuan menteri-menteri keuangan G20 yang lalu dipandang gagal.  Tentu, kita masih ingat bahwa Amerika Serikat dan sekutunya Arab Saudi adalah biang kerok dari kegagalan itu.  Tapi, apa yang terjadi itu langung dibalas dengan saran-saran yang kuat.

Paragraf pembuka rekomendasi kebijakan itu sungguh menohok.  “The global financial system is neither resilient nor sustainable. Significant risks and regulatory gaps remain so that citizens are vulnerable to new financial crises, abusive practices such as tax dodging, and new technological challenges. The financial sector must serve the needs of the people and the planet but the G20 still promotes a financial system and monetary policies that create financial instability, social and environmental havoc, inequality, excessive debt and climate change.”  Saya sudah lama tidak membaca gugatan sekuat itu.

Sangatlah benar bahwa walaupun banyak pemerintah telah mengupayakan perubahan dalam sistem keuangan, namun hasilnya belumlah memuaskan.  Kerentananan dan ketidakberlanjutan masih menjadi ciri-ciri dari sistem keuangan di dunia ini.  Ambil contoh Amerika Serikat sendiri, yang merupakan negara asal berbagai krisis keuangan global.  Alih-alih sistem keuangannya membaik dengan melindungi seluruh masyarakat (Main Street), setelah krisis pemerintahnya malahan lebih membuat para elit keuangan (Wall Street) menjadi lebih perkasa.

Sektor keuangan seharusnya menopang hidup masyarakat dan Bumi, agar keberlanjutan bisa dipastikan.  Namun yang terjadi adalah pemerintahan negara-negara G20 memromosikan sistem dan kebijakan yang membuat kondisi keuangan semakin tidak stabil, kerusakan sosial dan lingkungan, ketimpangan dan hutang yang terus memburuk, juga iklim yang terus berubah.  Kalau mengambil Amerika Serikat sebagai contoh lagi, jelas sekali pemerintahnya juga sedang membuat tindakan-tindakan yang merugikan pengendalian perubahan iklim, termasuk dengan mengabaikan perlunya pengarahan sektor keuangan untuk keperluan tersebut.  Jadi, peringatan C20 sangatlah tepat.

Rekomendasi kebijakan keuangan yang dikeluarkan C20 sendiri terdiri dari empat bagian, yaitu regulasi dan arkitektur keuangan; hutang; keuangan yang berkelanjutan secara sosial dan lingkungan; serta pajak, anti-pencucian uang, dan korupsi.  Yang saya ingin bahas lebih lanjut adalah rekomendasi ketiga, yaitu keuangan berkelanjutan.

Bagian awal rekomendasi tentang keuangan berkelanjutan menyatakan bahwa “The health and productive capacity of people and planet are essential for a sustainable economy. Action and regulations must align financial systems with the 2030 Agenda in order to strengthen these, deliver the SDGs and the climate commitments, and add at least US$12trn a year to global GDP.”

Pemahaman yang jelas hendak disampaikan di situ adalah bahwa masyarakat dan lingkungan yang sehat dan memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi produktif tidaklah bisa ditawar-tawar lagi.  Bagaimana nasib umat manusia serta Bumi—apakah akan bisa berkelanjutan atau mengalami kehancuran—memang digantungkan pada dua kondisi itu.  Karena masyarakat global telah menyepakati bahwa agenda keberlanjutan adalah sebagaimana yang telah diformulasikan ke dalam Sustainable Development Goals (SDGs), maka sistem keuangan memang harus diarahkan ke sana.  Sistem keuangan yang benar adalah yang membuat tercapainya SDGs dan komitmen pengelolaan perubahan iklim, sebagaimana yang sudah disepakati dalam Kesepakatan Paris.

Sampai di sini saya hendak menyampaikan hasil pengamatan soal apa yang saya saksikan mulai 2015 hingga sekarang dalam dunia keuangan berkelanjutan.  Kalau pada periode sebelumnya tidaklah terlampau tegas apa yang dimaksudkan dengan berkelanjutan pada frasa tersebut, kini tampaknya seluruh pemangku kepentingan telah menyepakati bahwa keuangan berkelanjutan memang berarti dukungan sepenuhnya sektor finansial untuk pencapaian SDGs serta Kesepakatan Paris.  Hal ini menjadikan keuangan berkelanjutan jauh lebih operasional.  Di satu sisi, sektor finansial perlu mengarahkan pembiayaan yang mengarahkan pencapaiannya, di sisi yang lain sektor finansial perlu menghindari pembiayaan yang melawan kepentingan tersebut.  Sekali lagi, jauh lebih tegas!

Terdapat empat rekomendasi yang diberikan oleh C20.  Yang pertama, “Make sustainable finance a core focus of the G20 finance track, including by upgrading the study group on green finance (GFSG) to a permanent working group, and drawing on the full range of experience by civil society worldwide.”  Tentu saja, lantaran keuangan berkelanjutan masih jauh dari kebijakan dan praktik keuangan di negara-negara G20, maka tuntutan untuk menjadikannya fokus adalah yang terpenting.  Oleh karenanya juga, status study group untuk keuangan hijau (sinonim untuk keuangan berkelanjutan) harus dinaikkan menjadi permanent working group.  Yang juga sangat menarik adalah pernyataan di ujung rekomendasi untuk memastikan bahwa kelompok kerja tersebut perlu untuk belajar dari pengalaman masyarakat sipil di seluruh dunia.  Masyarakat sipil memang adalah pendorong utama keuangan berkelanjutan.

Rekomendasi kedua, “Require mandatory disclosure on sustainability risks and opportunities for both private and public actors.” Jelas hal ini disandarkan pada praktik terbaik yang sudah dikenal. Ada banyak bukti bahwa laporan keberlanjutan—yang memuat risiko dan peluang yang timbul dari inisiatif-inisiatif keberlanjutan—bukan sekadar meningkatkan transparensi dan akuntabilitas, melainkan juga meningkatkan kinerja keberlanjutan sendiri.  Mengapa? Karena organisasi-organisasi yang melaporkan kinerjanya kemudian bisa membandingkan dan diperbandingkan satu sama lain.  Hal tersebut berlaku untuk pengungkapan yang sukarela maupun wajib.  Namun, dengan kondisi keuangan global seperti sekarang, banyak pakar yang mendorong hal ini menjadi kewajiban.  Berdasarkan pengalaman berbagai negara, pewajiban pengungkapan memang terbukti menjadi cara yang baik, kalau bukan malah yang terbaik, untuk mendorong, memfasilitasi, dan memaksa perusahaan dan pemerintah untuk menaikkan kinerja keberlanjutannya.

“Ensure compatibility with the 2030 Agenda and the Paris Agreement by developing regulation and accountability measures for financing and investments” merupakan rekomendasi ketiga.  Sekali lagi, hal ini sesuai dengan perkembangan sejak 2015.  Tidaklah masuk akal bagi dunia untuk memiliki agenda keberlanjutan—termasuk pengelolaan perubahan iklim—yang disepakati bersama namun membiarkan sektor keuangan dan investasi untuk berjalan sendiri atau bahkan melawannya.  Penting untuk disadari bahwa ada banyak sektor ekonomi yang apabila dibiayai dengan lebih baik maka keberlanjutan bisa dicapai lebih cepat—bahkan lebih cepat daripada 2030—namun ada juga sektor-sektor yang secara diametrikal bertentangan dengan tujuan keberlanjutan.  Maka, dibutuhkan regulasi dan mekanisme akuntabilitas untuk memastikan bahwa dunia memang mengarahkan sumberdaya finansialnya untuk keberlanjutan, bukan membiayai penghancuran diri.

Yang terakhir, “Price in environmental externalities by committing, each country in its own way, to a strong effective carbon price by 2020.” Udah sejak lama diketahui bahwa apabila sistem ekonomi membiarkan berbagai eksternalitas, maka perusahaan-perusahaan akan terus melakukan tindakan yang merugikan lingkungan dan sosial.  Salah satu kegagalan pasar terbesar dalam sejarah modern adalah membiarkan emisi gas rumah kaca tidak terkontrol sehingga umat manusia kemudian berhadapan dengan bahaya terbesar yang pernah dihadapi: perubahan iklim.  Karenanya, memastikan bahwa emisi (setara) karbon harus diinternalisasikan ke dalam biaya adalah cara yang harus ditempuh.  Dan umat manusia tak punya waktu yang lama lagi.  Banyak pakar yang menyatakan—sebagaimana yang kemudian menjadi dasar rekomendasi C20—bahwa 2020 adalah waktu di mana dunia memang harus memiliki kesepakatan atas harga yang harus dibayarkan bagi setiap ton karbon yang diemisikan.  Atau, generasi mendatang umat manusia tak akan punya lagi kesempatan hidup dalam kondisi yang baik.

Demikianlah.  Empat rekomendasi yang sangat bernas dari C20: menjadikan keuangan berkelanjutan menjadi fokus G20, mewajibkan pelaporan keberlanjutan, memastikan kompatibilitas sektor keuangan dan investasi dengan SDGs dan Kesepakatan Paris, serta menerapkan pajak karbon selambatnya pada tahun 2020.  Mungkin masih ada lagi butir-butir rekomendasi lain yang perlu dibuat oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil yang memerjuangkan keuangan berkelanjutan.  Namun, empat yang diajukan C20 itu pastilah di antara yang terpenting dan memang harus diperjuangkan bersama.  Moment of truth-nya akan kita lihat di Hamburg tanggal 7-8 Juli mendatang, di mana seluruh pimpinan negara G20 akan hadir.

 


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top