13 Juni 2017 11 menit

Masyarakat Sipil Mengawal Pertemuan G20 – Keuangan Berkelanjutan untuk Kemaslahatan Masyarakat dan Lingkungan

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
 
Sektor Keuangan di Mata C20
Salah satu pelesetan yang paling saya sukai adalah nama C20, yang bisa membuat orang yang biasa membaca tentang G20 kecele.  Ia merupakan kependekan Civil-20, yang maksudnya adalah kumpulan organisasi masyarakat sipil yang berasal dari negara-negara G20.  Jadi, ini jelas pelesetan yang ekstra-cerdas.  Namun, kecerdasannya bukan cuma di soal nama.  Saya melihat organisasi ini memiliki pemikiran mendalam dalam mengawal agenda-agenda G20, tentu dari sudut pandang kemaslahatan masyarakat dan lingkungan.
Tanggal 15 Maret 2017 lalu mereka mengeluarkan tujuh rekomendasi kebijakan untuk G20.  Yang langsung membetot perhatian saya adalah yang mereka beri judul Reform the International Financial System.  Mengapa?  Karena rekomendasi kebijakan ini benar-benar menjawab kekhawatiran banyak pihak setelah pertemuan menteri-menteri keuangan G20 yang lalu dipandang gagal.  Tentu, kita masih ingat bahwa Amerika Serikat dan sekutunya Arab Saudi adalah biang kerok dari kegagalan itu.  Tapi, apa yang terjadi itu langung dibalas dengan saran-saran yang kuat.  Saran-saran ini sendiri akan diformalkan pada pertemuan puncak C20 yang akan saya ikuti tanggal 18-19 Juni mendatang, untuk kemudian disampaikan pada pertemuan G20.
Paragraf pembuka rekomendasi kebijakan itu sungguh menohok.  “The global financial system is neither resilient nor sustainable. Significant risks and regulatory gaps remain so that citizens are vulnerable to new financial crises, abusive practices such as tax dodging, and new technological challenges. The financial sector must serve the needs of the people and the planet but the G20 still promotes a financial system and monetary policies that create financial instability, social and environmental havoc, inequality, excessive debt and climate change.”  Saya sudah lama tidak membaca gugatan sekuat itu.
Sangatlah benar bahwa walaupun banyak pemerintah telah mengupayakan perubahan dalam sistem keuangan, namun hasilnya belumlah memuaskan.  Kerentananan dan ketidakberlanjutan masih menjadi ciri-ciri dari sistem keuangan di dunia ini.  Ambil contoh Amerika Serikat sendiri, yang merupakan negara asal berbagai krisis keuangan global.  Alih-alih sistem keuangannya membaik dengan melindungi masyarakat (main street), setelah krisis pemerintahnya malahan lebih membuat para elit keuangan (Wall Street) menjadi lebih perkasa.
Sektor keuangan seharusnya menopang hidup masyarakat dan Bumi, agar keberlanjutan bisa dipastikan.  Namun yang terjadi adalah pemerintahan negara-negara G20 memromosikan sistem dan kebijakan yang membuat kondisi keuangan semakin tidak stabil, kerusakan sosial dan lingkungan, ketimpangan dan hutang yang terus memburuk, juga iklim yang terus berubah.  Kalau mengambil Amerika Serikat sebagai contoh lagi, jelas sekali pemerintahnya juga sedang membuat tindakan-tindakan yang merugikan pengendalian perubahan iklim, termasuk dengan mengabaikan perlunya pengarahan sektor keuangan untuk keperluan tersebut.  Jadi, peringatan C20 sangatlah tepat.
Rekomendasi kebijakan keuangan yang dikeluarkan C20 sendiri terdiri dari empat bagian, yaitu regulasi dan arkitektur keuangan; hutang; keuangan yang berkelanjutan secara sosial dan lingkungan; serta pajak, anti-pencucian uang, dan korupsi.  Yang akan saya bahas lebih lanjut adalah rekomendasi ketiga, yaitu keuangan berkelanjutan.
 
Empat Rekomendasi Keuangan Berkelanjutan
Bagian awal rekomendasi tentang keuangan berkelanjutan menyatakan bahwa “The health and productive capacity of people and planet are essential for a sustainable economy. Action and regulations must align financial systems with the 2030 Agenda in order to strengthen these, deliver the SDGs and the climate commitments, and add at least US$12trn a year to global GDP.”
Pemahaman yang jelas hendak disampaikan di situ adalah bahwa masyarakat dan lingkungan yang sehat dan memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi produktif tidaklah bisa ditawar-tawar lagi.  Bagaimana nasib umat manusia serta Bumi—apakah akan bisa berkelanjutan atau mengalami kehancuran—memang digantungkan pada dua kondisi itu.  Karena masyarakat global telah menyepakati bahwa agenda keberlanjutan adalah sebagaimana yang telah diformulasikan ke dalam Sustainable Development Goals (SDGs), maka sistem keuangan memang harus diarahkan ke sana.  Sistem keuangan yang benar adalah yang membuat tercapainya SDGs dan komitmen pengelolaan perubahan iklim, sebagaimana yang sudah disepakati dalam Kesepakatan Paris.
Rekomendasi pertamanya adalah “Make sustainable finance a core focus of the G20 finance track, including by upgrading the study group on green finance (GFSG) to a permanent working group, and drawing on the full range of experience by civil society worldwide.”  Jelas, ini adalah rekomendasi yang maha-penting.  Mengapa?  Karena keuangan berkelanjutan adalah satu-satunya bentuk keuangan yang masuk akal untuk dilaksanakan.  Entah sudah berapa kali dunia dijebloskan ke dalam krisis keuangan yang korban utamanya adalah masyarakat kebanyakan.  Entah berapa ribu atau bahkan juta orang yang disengsarakan lantaran investasi yang tak memedulikan perlindungan sosial.  Entah sudah berapa luas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pembiayaan yang buta terhadap dampak lingkungan.  Kita tak bisa lagi membiarkan hal ini terjadi.
Masa depan yang kita inginkan, atau The Future We Want, wujudnya akan sangat tergantung dari bagaimana keuangan diarahkan, yaitu apakah akan menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua orang, atau yang sebaliknya.  UNEP Inquiry telah mengingatkan kita semua bahwa ada sistem keuangan yang kita inginkan, atau The Financial System We Need, yang tak bisa lagi ditunda-tunda lagi pelaksanaanya.  Kita membutuhkan sistem keuangan berkelanjutan, dan kita membutuhkannya sekarang juga.  Dan, konsekuensinya, G20 memang perlu untuk memastikan bahwa keuangan berkelanjutan itu yang menjadi fokus.
Untuk mencapai tujuan itu pula, sebuah study group dipandang tak lagi memadai untuk mengeksekusi tugas yang penting itu.  Pergeserannya menjadi sebuah permanent working group adalah sebuah keniscayaan.  Tentu saja, perubahan status itu perlu diikuti dengan program kerja yang lebih kokoh dan didukung oleh seluruh negara anggota G20 dan perwakilannya.
Require mandatory disclosure on sustainability risks and opportunities for both private and public actors” adalah rekomendasi kedua.  Rekomendasi ini langsung mengingatkan saya kepada sebuah studi yang dilakukan dua profesor dari Universitas Harvard, Ioannis Ioannou dan George Serafeim.  Studi yang mereka beri judul The Consequences of Mandatory Corporate Sustainability Reporting (2012) membuka mata banyak pihak tentang betapa bermanfaatnya pewajiban laporan keberlanjutan untuk perusahaan.
Mereka meneliti ribuan perusahaan yang ada di 58 negara, dan menemukan bahwa begitu pewajiban laporan keberlanjutan diberlakukan, maka reaksi pertama dari perusahaan adalah memberikan pelatihan yang memadai tentang keberlanjutan, bukan hanya soal laporannya saja.  Kesadaran soal tata kelola, kredibilitas manajemen, dan implementasi etika bisnis meningkat; sementara tingkat korupsi dan suap langsung menurun.  Hasilnya bukan saja terlihat di level perusahaan, melainkan juga di level negara yang mewajibkannya, yaitu menguatnya daya saing berkelanjutan alias sustainable competitiveness.
Jadi, ketika laporan keberlanjutan diwajibkan, keuntungannya bukan saja ada pada level perusahaan yang menjalankannya, melainkan juga pada level negara.  Yang sangat menarik, C20 menyerukan agar negara juga melakukan hal yang sama terhadap lembaga-lembaganya.  Saya bisa membayangkan kalau agregat pelaporan itu akan mencerminkan kondisi keberlanjutan setiap negara G20.  Dengan menekankan juga pada peluang keberlanjutan, maka setiap negara tidak akan berpikir bahwa hal ini hanyalah beban, melainkan memang merupakan peluang untuk memajukan negaranya.
Rekomendasi ketiga, “Ensure compatibility with the 2030 Agenda and the Paris Agreement by developing regulation and accountability measures for financing and investments” juga sangat penting.  Dunia telah bersepakat untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) pada tahun 2030, di mana terdapat 17 Tujuan yang hendak dicapai.  Walaupun SDG13 terkait perubahan iklim, Kesepakatan Paris lebih mendetailkan Tujuan tersebut dengan target kenaikan suhu maksimum 2 derajat Celsius di tahun 2100, dengan sedapat mungkin mengupayakan menjadi 1,5 derajat saja.  Keduanya sangat penting untuk keselamatan umat manusia.
Dengan memastikan kompatibilitas, keuangan berkelanjutan juga menjadi lebih jelas tujuannya: menyediakan sumberdaya finansial yang memadai untuk mencapai tujuan SDGs dan Kesepakatan Paris.  Tentu, perhitungan perlu dilakukan dengan detail untuk masing-masing tujuan itu, juga untuk mencapai keseluruhannya, lantaran tujuan-tujuan itu sesungguhnya saling mengait.  Kemudian—sangat penting untuk disadari—bahwa kemampuan negara-negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut tidaklah sama, sehingga logika negara yang lebih kaya membantu yang berkembang perlu untuk dipegang.
Masalah terbesar datang dari Amerika Serikat yang presiden barunya memiliki semangat inward looking yang sangat kuat. Pada pertemuan Menteri Keuangan G20 di Berlin, Januari 2017, delegasi AS membuat ulah dengan menggagalkan masuknya kalimat-kalimat tentang pembiayaan hijau.  Ulah mereka yang diikuti oleh Arab Saudi kemudian membuat banyak pihak marah.  Sebagai negara penghasil emisi nomor 2 terbesar di dunia, setetalh Tiongkok, yang membuang hampir 18% polusi gas rumah kaca ke atmosfer, tindakan itu benar-benar tak pantas.  Maka, damage control-nya perlu dilakukan pada pertemuan G20 berikutnya yang diikuti oleh kepala-kepala negara.  Ini sangat penting untuk mengembalikan SDGs dan Kesepakatan Paris pada jalur pencapaiannya.
Rekomendasi keempat dan terakhir adalah “Price in environmental externalities by committing, each country in its own way, to a strong effective carbon price by 2020.”  Rekomendasi tersebut terkait erat dengan tujuan penanganan perubahan iklim di SDG13 dan Kesepakatan Paris.  Sudah saatnya polusi gas rumah kaca tidak dibiarkan meraja lela seperti sekarang.  Pembiaran ini membuat energi dan proses produksi bersih tidak kompetitif lantaran ada biaya lingkungan (dan sosial) yang disembunyikan oleh yang kotor.
Untuk itu, sangat perlu bagi dunia untuk menyepakati berapa harga yang harus dikenakan kepada karbon—dan gas rumah kaca lainnya yang disetarakan karbon—dan kapan waktunya.  Secara ideal, emisi seharusnya sudah memuncak di tahun 2020 agar kemungkinan manusia selamat menjadi semakin besar.  Kalau terjadi setelahnya, perlu upaya lebih keras untuk menurunkannya pada periode berikutnya.  Salah satu cara yang paling efisien dan efektif untuk mencapainya adalah memastikan harga karbon berlaku kepada sebagian karbon yang dihasilkan, lalu harga itu secara bertahap dinaikkan dan keberlakuannya ditingkatkan hingga seluruh karbon membayar pajak dosa tersebut.
Tuntutan ini sangat masuk akal bagi mereka yang melihat keberlanjutan sebagai cita-cita yang penting.  Namun, masih banyak pihak yang menentang pemberlakuan pajak karbon lantaran khawatir akan memengaruhi ekonomi mereka dalam jangka pendek.  Yang penting diingat adalah bahwa umat manusia tak bisa membiarkan keuntungan jangka pendek bagi segelintir pihak mengorbankan kepentingan jangka panjang untuk seluruh manusia.  Karenanya, tuntutan ini haruslah benar-benar ditegaskan.
 
Bagaimana dengan Indonesia?
Membedah satu per satu rekomendasi itu membuat saya berpikir satu hal: bagaimana dengan Indonesia?  Rekomendasi pertama jelas mengingatkan saya pada kenyataan bahwa keuangan berkelanjutan di Indonesia masihlah berada di pinggiran.  Bahkan, Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang dibuat oleh OJK saja masih berpikir mengenai bagaimana membuat keuangan berkelanjutan sebagai portofolio belaka, yang jumlah totalnya diharapkan mencapai Rp350 triliun per tahun antara 2015 hingga tahun 2019.  Ini mencemaskan lantaran dua hal.  Pertama karena hingga sekarang itu pun belum terlaksana.  Kedua, jumlah itu jauh sekali dari memadai, karena itu berarti membiarkan sebagian sangat besar uang yang beredar di Indonesia adalah uang yang bekerja bukan untuk keberlanjutan.
Kalau rekomendasi pertama C20 itu—bagian perubahan dari study group menjadi permanent working group—bila diturunkan di tingkat nasional, mungkin hasilnya adalah diperlukannya kelompok studi keuangan berkelanjutan di Indonesia, terutama untuk masyarakat sipil.  Mungkin juga diperlukan kelompok studi tersebut untuk pemangku kepentingan yang beragam.  Ini penting bagi perkembangan keuangan berkelanjutan di Indonesia yang rasanya masih jauh dari memadai.  Namun, pada waktu yang bersamaan Indonesia memerlukan kelompok kerja lintas-pemangku kepentingan yang bertemu secara regular dan bekerjasama untuk meningkatkan keberlakuan keuangan berkelanjutan di sini.  Prototipenya sudah ada di forum yang dibentuk OJK, namun sangat perlu digairahkan lagi, dengan pemangku kepentingan yang lebih luas.
Soal pewajiban pelaporan keberlanjutan juga perlu diwujudkan.  Indonesia memiliki regulasi yang mewajibkan seluruh perusahaan yang telah go public untuk melaporkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan atau laporan keberlanjutan yang terpisah.  Namun, ini perlu diperbaiki dengan pewajiban untuk seluruh perusahaan, bukan hanya perusahaan terbuka.  Juga, perlu penegakkan yang serius atas kewajiban itu.  Dalam draft Peraturan OJK tentang Pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan, pewajiban tersebut juga dinyatakan untuk lembaga jasa keuangan.  Hanya saja, belum cukup jelas detailnya.  Kalau C20 menuntut untuk juga mencantumkan tantangan dan peluang keberlanjutan, hal itu belumlah dimasukkan oleh OJK.
Kesesuaian antara keuangan berkelanjutan dengan SDGs dan Kesepakatan Paris seharusnya merupakan hal yang otomatis berlaku.  Sayangnya, hingga sekarang—walaupun Indonesia sudah meratifikasi keduanya—belum juga ada pernyataan yang jelas itu.  Lebih jauh lagi, kejelasan tentang bagaimana SDGs bakal dicapai dan bagaimana Nationally Determined Contributions (NDC) bakal dijebarkan untuk setiap sektor belumlah ada. Padahal, pembagian sektoral dan kerjasama antar-sektor itu yang akan bisa menunjukkan bagaimana keuangan bisa berperan di dalamnya.  Termasuk, sektor mana yang perlu mendapat dukungan pendanaan ekstra, dan mana yang perlu secara perlahan maupun secepatnya ditinggalkan.
Terakhir, saya terus terang agak pesimistik dengan kemungkinan pemberlakuan pajak karbon di Indonesia dalam waktu sedekat 2020.   Tetapi yang jelas yang pertama-tama perlu dilakukan adalah membincangkan ini dengan para pemangku kepentingan seluas mungkin.  Pengetahuan tentang apa manfaatnya, sektor-sektor mana yang bakal terkena beban versus yang mendapatkan peluang, skenario ekonomi rendah-karbon yang mungkin muncul, dan bagaimana secara teknis ini dilakukan perlu untuk dibicarakan.  Mungkin beberapa pilot project bisa dibuat sebelum atau pada tahun 2020, untuk membuktikan bahwa ekonomi rendah-karbon di Indonesia adalah mungkin, dan memang menguntungkan.
Kalau saja draft Peraturan OJK tentang Keuangan Berkelanjutan bisa diperbaiki sesuai dengan dokumen The Financial System We Need, implementasi SDGs dan Kesepakatan Paris di Indonesia, serta rekomendasi C20 di atas; lalu RPP Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup bisa disetujui tanpa mengurangi sifat progresifnya, sesungguhnya Indonesia akan berada dalam jalur keuangan berkelanjutan yang benar.  Semoga.
 
 
 


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top