21 Juni 2017 10 menit

Masyarakat Sipil Mengawal Pertemuan G20: Agar Perusahaan Bertanggung Jawab kepada Seluruh Pemangku Kepentingannya

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
 
Insentif dan Regulasi
G20 adalah kumpulan pemerintahan, bukan kumpulan bisnis.  Sehingga, ketika kelompok masyarakat sipil global yang tergabung dalam Civil20 atau C20 diminta untuk memberikan rekomendasi kepada G20, maka rekomendasi itu ditujukan kepada pemerintahan negara-negara yang tergabung di dalamnya.  Tidak langsung kepada perusahaan.
Sebelum rekomendasi diberikan, C20 sendiri menyatakan tuntutatnya terlebih dahulu, sehingga jelas mengapa butir-butir rekomendasi yang disampaikan menjadi seperti itu.  Apa yang kemudian dituntut oleh C20 dinyatakan dalam satu kalimat sebagai berikut: “Incentivize and regulate responsible business conduct in line with international conventions and standards.”  Itulah salah satu tuntutan yang diberikan kepada Kanselir Jerman, Angela Merkel, pada penutupan C20 Summit tanggal 19 Juni 2017, acara yang saya ikuti sejak sehari sebelumnya.
Mengapa insentif dan regulasi?  Jelas, itu adalah dua hal yang bisa diberikan oleh pemerintah kepada dunia usaha bila ingin perusahaan yang berbisnis di wilayahnya bisa benar-benar bertanggung jawab.  Yang benar-benar menarik, C20 memilih untuk menyatakan insentif terlebih dahulu, sebelum menekankan bahwa regulasi juga diperlukan.  Buat saya, ini adalah pertanda bahwa C20 mengetahui sifat ‘alamiah’ dari perusahaan yang memang bereaksi positif terhadap insentif.  Bila bertanggung jawab kepada para pemangku kepentingannya bisa memberikan insentif dari beragam pihak, termasuk pemerintah, maka tanggung jawab kemudian tak lagi dirasakan sebagai beban, melainkan sebagai peluang.  Corporate social responsibility kemudian menjelma menjadi corporate social opportunity, seperti yang diyakini oleh Grayson dan Hodges, lebih dari satu dekade lampau.
Tetapi, masyarakat sipil global juga paham sepenuhnya bahwa tidak semua perusahaan bisa dikendalikan perilakunya semata-mata dengan insentif atas kebaikan atau kinerja yang lebih baik.  Ada perusahaan-perusahaan yang berusaha untuk mendapatkan keuntungan lewat cara-cara yang secara normatif tidak bisa dibenarkan.  Mereka mencemari alam, merusak tatanan sosial, dan hanya memikirkan keuntungan ekonomi bagi dirinya semata.  Oleh karena itu, di samping insentif yang menarik bagi perusahaan berperilaku baik, regulasi yang ketat juga diperlukan.  Setidaknya, regulasi diperlukan untuk melindungi (safeguard) pemangku kepentingan dari dampak sosial dan lingkungan yang negatif.  Sekali lagi, regulasi tetap diperlukan.
Tuntutan soal insentif dan regulasi kemudian diikuti dengan pernyataan sebagai berikut: “The G20 must ensure that the private sector actively contributes to sustainable development and respects human rights, labor rights, and upholds environmental and governance standards in their global operations, including throughout their supply chains. Sustainable supply chains can help to further economic growth and development, eradicate poverty and inequality, and realize the SDGs.”
Di situ—menurut saya—tampak tujuan sebenarnya dari pemberian insentif maupun pembuatan regulasi yang dituntut.  Jelas maksudnya adalah agar seluruh perusahaan yang berada di negara-negara G20 dipastikan berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs). Di situ juga disebutkan komponen-komponen yang paling relevan buat perusahaan, yaitu HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, serta tata kelola.  Kemudian, ditegaskan bahwa pengelolaan yang benar atas komponen tersebut hatus dilakukan sepanjang rantai pasokannya, lantaran hanya dengan demikian saja maka pertumbuhan ekonomi yang menghilangkan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan menjadi mungkin.
Begitu membaca komponen yang disebutkan itu, saya langsung teringat pada subjek inti ISO 26000.  Dalam dokumen standar yang sudah berusia lebih dari lima tahun itu dinyatakan bahwa subjek inti tanggung jawab sosial adalah tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu konsumen, serta pelibatan dan pengembangan masyarakat. Kalau pernyataan bahwa keseluruhannya harus dilakukan sepanjang rantai pasokannya disamakan dengan keberlakuan tanggung jawab sosial di keseluruhan sphere of influence dalam ISO 26000, maka sesungguhnya ada tiga subjek inti yang belum termaktub dalam tuntutan C20, yaitu tiga subjek inti terakhir.
Saya berusaha untuk memahami mengapa demikian, dengan cara membaca seluruh dokumen rekomendasi—seluruhnya ada tujuh—namun jawaban memuaskan tak bisa saya temukan.  Ada beberapa isu di dalam praktik operasi yang adil yang bisa dianggap sudah masuk, lewat misalnya anti-korupsi; atau, ketika menyebut sosial dan ESG tentu bisa juga dianggap termasuk pelibatan dan pengembangan masyarakat.  Tetapi bagi saya itu memang belum memuaskan.  Oleh karenanya, saya berkesimpulan bahwa C20 memang masih luput dalam tiga subjek inti tersebut, seraya berharap di masa mendatang mereka bisa membuatnya lebih eksplisit.
 
Dari HAM Kembali ke Insentif
Lalu, apa saja rekomendasi yang diajukan?  Yang pertama adalah “Implement the UN Guiding Principles on Business and Human Rights and develop substantive National Action Plans on the implementation of these principles.”  HAM kini telah menjadi bagian yang sangat penting dalam tanggung jawab sosial perusahan, namun kemungkinan merupakan yang paling lemah dalam implementasinya.  Dunia telah mengenal Ruggie Framework yang kemudian menjadi UN Guiding Principles on Business and Human Rights.  Tak mengherankan bila C20 menuntut agar prinsip-prinsip itulah yang kemudian menjadi rujukan.
Sangat jelas bahwa implementasi adalah hal yang masih lemah.  Perusahaan-perusahaan paling progresif memang sudah menunjukkan itikad baiknya dengan membuat human rights due diligence atau human rights impact assessment.  Namun, dari praktik itupun kita mengetahui bahwa kinerja HAM perusahaan-perusahaan paling progresif sekalipun masih harus ditingkatkan.  Karenanya, menjadi pantas apabila rekomendasi C20 juga mengenai diperlukannya sebuah rencana tindakan di tingkat nasional untuk implementasinya.  Tentu, di dalamnya termasuk pengawasan atas kinerja perusahaan, dan tindakan hukum bagi pelanggaran bila memang sudah ada kerangka hukum yang mengaturnya.
Kedua, “Accede to the OECD Guidelines on Multinational Enterprises, ensure that their National Contact Point (NCP) system is capable of delivering effective remedy, and commit to NCP peer review.”  Rekomendasi ini berdasarkan kenyataan bahwa OECD Guideline on Multinational Enterprises memang merupakan panduan yang paling komprehensif untuk perusahaan multinasional. Kalau rekomendasi ini ditujukan untuk seluruh perusahaan mungkin menjadi tidak masuk akal karena ukuran dan kemampuan perusahaan yang berbeda-beda, namun bila hendak diberlakukan untuk perusahaan multinasional di manapun mereka beroperasi, tampaknya memang pantas.  Beragam panduan OECD memang yang paling ketat, sehingga kerap menjadi rujukan yang baik bila memang hendak mencapai kinerja yang tinggi.  Salah satu yang paling popular bagi kita di Indonesia mungkin adalah adopsi ASEAN Corporate Governance Scorecard yang berasal dari standar tata kelola perusahaan OECD.
Namun, lagi-lagi C20 melihat bahwa permasalahannya bukanlah pada standar yang disepakati para pakar sebagai salah satu yang paling kuat itu, melainkan pelaksanaannya.  Oleh karena itu, bagian berikutnya dari NCP yang harus bisa dipastikan bekerja secara efektif di tingkat naional, bila terdapat kasus pelanggaran.  NCP ini berfungsi untuk memastikan bahwa tindakan perbaikan memang dilakukan, sehingga keluhan yang diajukan tidak sekadar menjadi masukan hampa tanpa tindak lanjut.  Saya kira, C20 sangat jeli melihat bahwa titik krusialnya adalah pada kapasitas NCP, termasuk dalam menerima peer review.
Require mandatory due diligence throughout supply chains to identify, prevent, mitigate, track and communicate possible human rights or labor rights violations, corruption, and adverse environmental
Impacts.” Ini merupakan rekomendasi ketiga, dan mungkin akan dinilai banyak pemerintah dan perusahaan sebagai yang paling berat.  Sudah menjadi suratan sejarah bahwa harapan pemangku kepentingan sejak lama, yaitu konsep extended CSR, kini sudah menjadi norma.  Tak bisa lagi perusahaan mengaku bertanggung jawab sosial namun mereka memanfaatkan pasokan yang diproduksi dengan cara-cara yang melanggar HAM, hak-hak tenaga kerja, korup, serta merusak lingkungan.
Dahulu, mata pemangku kepentingan memang terpaku pada operasi perusahaan tertentu saja, namun kini mata pemangku kepentingan melihat seluruh rantai nilai (value chain) dari perusahaan.  Nah, di sini C20 agaknya kecolongan.  Walau sudah meminta tindakan penelitian mendalam atau uji tuntas (due diligence), yang diminta baru terhadap para pemasok.  Sementara, rantai nilai berikutnya, setelah diproduksi oleh perusahaan masih lolos dari rekomendasi.  Apakah kita mau bila perusahaan tidak bertanggung jawab atas sampahnya?  Atau, apakah kita biarkan pihak lain yang menjual produk perusahaan tertentu ternyata membuat dampak negatif sosial dan lingkungan?  Tentu tidak.  Oleh karena itu, sebetulnya yang perlu direkomendasikan kepada pemerintah negara-negara G20 memang untuk mewajibkan penelitian mendalam sepanjang rantai nilai.
Yang keempat, “Mainstream responsible investment by broadening the legal concepts of fiduciary duty and due diligence applied to pension funds, sovereign wealth funds, and other institutional investors to take account of any potential ESG risk in their investment activities.”  Rekomendasi ini juga tak ringan, karena menyangkut upaya untuk meluaskan atau bahkan mengganti model tata kelola.  Kalau selama ini kebanyakan perusahaan diwajibkan untuk sekadar bertanggung jawab kepada para pemegang saham (shareholders) belaka, perluasan konsep tugas fidusiari itu berarti model tata kelolanya diubah menjadi bertanggung jawab kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).
Apakah ini mungkin?  Pada kenyataanya perusahaan—dalam hal ini direksi dan komisaris—memang harus memertimbangkan para pemangku kepentingan yang lain setiap mengambil keputusan, lantaran sebagian pemangku kepentingan bisa memengaruhi perusahaan dalam menghasilkan keuntungan.  Tetapi, memang dari memertimbangkan pemangku kepentingan menjadi bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan itu membutuhkan langkah regulatori yang serius dari pemerintah.  Saya sendiri berpendirian bahwa sebuah stakeholder governance, di mana para pemangku kepentingan memang selalu terwakili dalam semua pengambilan keputusan perusahaan yang mengenai diri mereka—jadi bukan sekadar perusahaan bertanggung jawab kepada mereka—adalah bentuk yang akan dominan di masa mendatang.
Bagian berikutnya juga tak kalah pentingnya, karena merekomendasikan agar pemerintah negara-negara G20 menuntut seluruh jenis institutional investor untuk melakukan penelitian mendalam atas seluruh risiko potensial lingkungan, sosial, dan tata kelola.  Ini sebetulnya juga merupakan bantuan C20 kepada para investor karena dengan demikian maka manajemen risiko investasi mereka bisa menjadi lebih baik.  Kalau diperhatikan dengan saksama, investor-investor institusional yang paling progresif memang sudah melakukannya, sehingga sama sekali tidak masalah bisa kemudian diwajibkan oleh pemerintah.  Yang masih harus diyakinkan, dibantu untuk memahami dan melakukannya memang adalah para investor yang masih konservatif.
Rekomendasi kelima dan terakhir adalah “Incentivize companies to operate above minimum ESG standards through fair and sustainable government procurement policies, tax policies, and subsidies, that reflect the true ESG costs of given products and services for example by granting procurement contracts to companies who provide employees a living wage as opposed to the minimum wage.”
Karena pada rekomendasi-rekomendasi sudah menekankan perlunya beragam regulasi, maka C20 kembali ke moda yang dinyatakan di awal: insentif.  Kepada siapa insentif perlu diberikan?  Kepada mereka yang telah menunjukkan kinerja di atas standar ESG minimal yang telah ditetapkan pemerintah.  Pemerintah tentu perlu terlebih dahulu membuat kebijakan belanja yang memihak kepada keberlanjutan.  Demikian juga sistem pajak dan subsidinya.
Salah satu aplikasinya adalah bahwa bila ada dua perusahaan yang sama dalam semua kriteria kontrak, tetapi yang satunya memiliki kebijakan kompensasi pekerja yang lebih baik yaitu upah layak (living wage), sementara yang lain masih menggunakan upah minimum (minimum wage), maka kontrak diberikan kepada yang melampaui ketentuan upah tersebut.  Hal yang lain juga bisa menjadi contoh preferensi pemberian kontrak pemerintah, misalnya berdasarkan kinerja lingkungan tertentu, atau kinerja sosial yang lain.  Dengan begitu, perusahaan tidak akan sekadar menjadi patuh kepada regulasi, melainkan berusaha melampauinya.
 
Kembali ke Tanah Air
Bagaimana dengan Indonesia? Setiap saya membaca butiran rekomendasi yang bernas ini, terus terang saya teringat dengan draft RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang siajukan oleh DPR.  Saya sedih, lantaran kemajuan berpikir C20 ini—walau masih juga menyisakan ruang perbaikan—demikian jauhnya dari isi kepala para anggota DPR yang hanya ingin mengambil bagian dari keuntungan perusahaan.  CSR di Indonesia mustahil maju kalau regulasinya malah diserahkan kepada gerombolan politisi yang ngiler pada duit perusahaan tanpa tahu apa hakikat dan tujuan CSR itu.
Rekomendasi C20 ini jelas disusun oleh orang-orang yang kapasitas intelektualitasnya, dan integritasnya, jauh di atas anggota DPR Republik Indonesia.  Tapi saya tak mau berputus asa.  Selain terus menulis dan berbicara—dengan memanfaatkan kemajuan di level global yang sudah diraih bangsa-bangsa besar lainnya—untuk menyadarkan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, saya juga akan berdoa, semoga para anggota DPR itu lekas mendapatkan wangsit dan wisik agar bisa menjadi anggota DPR yang pantas untuk mewakil rakyat sebuah negara anggota G20. Setidaknya dalam urusan CSR yang sedang saya bicarakan.  Untuk urusan yang lain, mungkin akan ada doa yang lain lagi.  Buat pemerintah, saya berdoa agar mereka menyatakan tak sudi membahas draft RUU TJSP yang kepentingannya sangat jelas bukan buat rakyat maupun lingkungan Indonesia itu, dan menggantikan RUU yang tak produktif itu dengan sistem insentif dan regulasi yang benar-benar memihak pada keberlanjutan Indonesia dan dunia.
 
Koln, 21 Juni 2017


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top