17 Juni 2017 4 menit
Siaran Pers: Pelibatan penyandang dana, dalam konflik PTPN II dan masyarakat di kabupaten Jayapura (Keerom)
A. SEJARAH KONFLIK
1. Konflik MA Keerom dan PTPN II
Pertama : bahwa pemerintah Kabupaten Jayapura, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat yang menguasai hak atas sumber daya alam masyarakat adat Keerom telah melakukan tindakan melawan hukum berupa penipuan, penyerobotan / perampasan hak atas sumber daya tanah dan hutan dari masyarakat adat Keerom sebagai pemilik yang sah.
Kedua : bahwa sebagaimana luas dan lokasi yang telah di sepakati antara masyarakat adat Keerom dan Pemerintah Kabupaten Jayapura adalah tanah seluas 500 hektar dan berlokasi di wilayah berhutan dan bukan pada area yang saat ini menjadi area konsesi. Namun dengan berbagai cara dan dalil, pemerintah berhasil menguasai area yang menjadi Wilayah Kelola Rakyat (WKR) / sumber-sumber penghidupan tersebut. Adapun cara yang di gunakan pemerintah untuk mengubah luas dan lokasi yang telah di sepakati adalah sbb: (1). Pada tahun 1982 sebelum land clearing, pemerintah meminta masyarakat menandatangani surat dengan menyodorkan lembaran tanda tangan (saja). Sedangkan redaksi / isi surat tersebut di tutup (tertutup); alasan penandatanganan surat tersebut adalah bahwa alat berat akan di turunkan ke lokasi namun sebelum alat di turunkan masyarakat harus menandatangani surat dimkasud. (2). Usai menandatangani surat tersebut, kira-kira berselang 2 (dua) bulan, kemudian pemerintah (Bupati: Bas Youwe,alm, Sekda: Yosep Leroks, dan Camat: Frans Dumatubun), kembali menemui masyarakat. Kedatangan ini dengan menyuguhkan minuman beralkohol kepada para tokoh masyarakat setempat. Dalam keadaan beralkohol, pemerintah menyampaikan niatnya bahwa mereka ingin miliki tanah yang berdekatan dengan masyarakat agar masyarakat dapat mengawasi lokasi tersebut dari gangguan keamanan. (3). Selain itu pemerintah juga menyampaikan bahwa sawit dan sagu bisa tumbuh bersama-sama (berdampingan) karena keduanya berduri. Dengan keterbatasan pemahaman, dan kondisi yang telah dikuasai alkohol para tokoh masyarakat setuju dengan penyampaian pemerintah. Atas persetujuan masyarakat, tahun 1985 alat berat di turunkan ke lokasi dusun sagu atau diluar dari area yang di sepakati bersama, dan membabat habis dusun sagu yang menjadi sumber pangan lokal Masyarakat Adat Keerom dan sumber kehidupan lainnya. Disitulah awal – mula terjadinya konflik.
Ketiga : bahwa pemerintah menguasai lokasi dan luasan area yang di rubah secara sepihak, adalah dengan pandangan stigmatisasi gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal senada juga di ungkapkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahwa apabila masyarakat tidak memberi lokasi, sama hal-nya dengan masyarakat menyembunyikan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Keempat : bahwa selama 15 tahun (1983-1998) perusahaan beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Dan hal ini sangat bertentangan dengan aturan perundangan yang berlaku secara nasional di Indonesia. Sejak tahun 1998 barulah perusahaan menggunakan HGU. Setelah dikeluarkannya HGU tahun 1998, perusahaan menghitungnya sebagai tahun dimulainya masa kontrak dengan jangka waktu 35 tahun (1998-2033). Jika di hitung dari tahun 1983, untuk jangka waktu 35 tahun maka perusahaan harus mengakhiri investasinya tahun 2018.
Kelima : bahwa adanya ruang investasi bagi korporasi, selain pemberian izin oleh pemerintah, terindentifikasi pula bantuan pendanaan dari pihak penyandang dana. Hal ini merupakan arah kebijakan pihak penyandang dana yang lebih berorientasi pada nilai profit tanpa memiliki niat partisipasi dalam perlindungan manusia dan lingkungan di Papua secara khusus, dan Indonesia pada umumnya.
Keenam : Disamping permasalahan / konflik Masyarakat Adat Keerom dan PTPN II yang di latarbelakangi oleh pembiayaan, ada juga upaya perusahaan (korporasi), yang tergabung dalam APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) dan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) yang ingin menguasai tanah dan hutan di Indonesia pada umumnya dan Papua khususnya melalui RUU Perkelapasawitan yang sedang dalam proses pembahasan di DPR adalah pembungkaman akses Masyarakat Adat terhadap hutan dan lingkungannya.
Ketujuh : bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), sebagai wakil rakyat mestinya menjadikan beragam konflik lahan/ agraria, kerusakan lingkungan hidup, dan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia serta berdampak pada kehidupan sosial, budaya Masyarakat Adat, adalah akibat dari masifnya korporasi maka seharusnya DPR tidak mengkhianati rakyatnya dengan membahas RUU Perkelapasawitan tersebut.
Kedelapan : Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua melalui pengelolaan Sumber Daya Alam, secara khusus hutan dan lingkungan hidup, Provinsi Papua memiliki Perdasus 21/2008 tentang “Pengelolaan Hutan Berkelanjutan” yang lahir dari amanat UU 21/ 2001 tentang OTSUS merupakan dasar hukum yang legal di Negara Kesatuan Republik Indonesia berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian Walhi Papua dan TuK Indonesia menyerukan, menegaskan serta meminta semua komponen/ elemen bangsa untuk menghargai dan menjalankan amanat konstitusi dengan cara-cara yang adil, jujur dan bijaksana.
Selengkapnya dapat dibaca di SIARAN PERS WALHI-TuK_ELABORASI_Final