11 Agustus 2017 7 menit
Menyambut Gembira POJK Keuangan Berkelanjutan
Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
Artikel ini juga dimuat di Tempo
Setelah menunggu dengan harap-harap cemas sejak awal 2015, akhirnya kita semua bisa melihat munculnya regulasi keuangan berkelanjutan di negeri ini. Pada tanggal 20 Juli 2017, yaitu hari terakhir komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masa tugas 2012-2017, Indonesia mendapatkan kado yang menggembirakan berupa Peraturan OJK (POJK) 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Memang, setelah ditandatangani kita belum bisa melihat regulasi tersebut, lantaran masih harus dicatatkan dahulu di Kementerian Hukum dan HAM, untuk mendapatkan nomor dan menjadi sah diundangkan. Jadi, bagi yang ingin mengetahui detail isinya, masa penantiannya bertambah lagi. Tetapi, pada awal minggu ini, tepatnya Selasa 8 Agustus 2017, akhirnya regulasi ini benar-benar bisa ditilik isinya.
Empat Pertimbangan
Apa pertimbangan OJK mengeluarkan regulasi ini? Ada empat. Pertama adalah “bahwa untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif diperlukan sistem perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.” Jadi, terdapat kesadaran dari OJK bahwa untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, stabil dan inklusif tak ada cara lain di luar menyelaraskan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebaliknya, ketimpangan di antara ketiga aspek itu berakibat ketidakberlanjutan, instabilitas dan eksklusi.
Kedua, “bahwa untuk menggerakkan perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif dibutuhkan sumber pendanaan dalam jumlah yang memadai.” Butir ini sangat penting, mengingat bahwa sumberdaya finansial adalah hal yang mendasar untuk mencapai ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif itu. Dan, sumberdaya tersebut harus tersedia dalam jumlah yang memadai. Bila tidak, maka tujuan untuk mencapai ekonomi yang demikian tidaklah akan tercapai, atau mungkin dicapai dalam waktu yang lebih lama dari yang diinginkan atau direncanakan.
Pertimbangan ketiga adalah “bahwa pengembangan sistem lembaga keuangan yang ramah lingkungan hidup telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.” Di sini, OJK menyatakan bahwa mandat dari keuangan berkelanjutan sesungguhnya bukan hanya berasal dari kebutuhan penciptaan ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif, melainkan juga dari kebutuhan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 32/2009. Oleh karenanya, dapat diartikan bahwa keuangan berkelanjutan juga adalah keuangan yang kompatibel dengan seluruh tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang termaktub dalam UU tersebut.
Terakhir, “bahwa Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia yang telah diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan perlu ditindaklanjuti dengan peraturan yang spesifik dan mengikat untuk seluruh lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik.” Jadi, POJK ini sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari substansi Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang terbit pada penghujung 2014 lalu. Artinya juga, target-target yang dinyatakan di Roadmap itu—beserta kerangka waktunya—juga menjadi rujukan dalam membaca POJK ini.
Empat Belas Pasal
Setelah memaparkan pertimbangan dan regulasi-regulasi yang menjadi rujukan, dan memutuskan pemberlakuan POJK ini, Pasal 1-nya memuat berbagai definisi. Yang terpenting, tentu saja, adalah definisi keuangan berkelanjutan itu sendiri, yang dinyatakan sebagai “…dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.”
Pengertian dari menyeluruh tentu saja bukan parsial. Ini berarti sektor jasa keuangan tidak bersikap setengah-setengah—apalagi lebih rendah lagi, seperti hanya melakukan greenwashing—dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Ini juga berarti bahwa seluruh lembaga jasa keuangan melakukannya, bukan hanya sebagian bank atau asuransi. Selain definisi keuangan berkelanjutan, ada 12 definisi lainnya yang bisa disimak di pasal tersebut.
Pada Pasal 2 diterakan kewajiban menerapkan keuangan berkelanjutan kepada seluruh pihak yang disebutkan dalam peraturan ini, yaitu lembaga jasa keuangan (LJK), emiten, dan perusahaan publik. Definisi masing-masing pihak tersebut dinyatakan dalam pasal sebelumnya. Dari sini, dapat dipahami bahwa sesungguhnya POJK ini bukan sekadar berlaku untuk LJK, sebagaimana yang kerap dipersepsi orang.
Di pasal itu pula terdapat prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, yang disebutkan ada delapan, yaitu: prinsip investasi bertanggung jawab; prinsip strategi dan praktik bisnis berkelanjutan; prinsip pengelolaan risiko sosial dan Lingkungan Hidup; prinsip tata kelola; prinsip komunikasi yang informatif; prinsip inklusif; prinsip pengembangan sektor unggulan prioritas; dan prinsip koordinasi dan kolaborasi. Apa yang dimaksudkan pada prinsip-prinsip itu bisa dibaca pada bagian Penjelasan. Namun, sebagaimana yang lazim, maka seluruh prinsip tersebut haruslah ditegakkan. Pelanggaran atas salah satu saja prinsip akan membuat keuangan berkelanjutan tidak tegak.
Pasal 3 menjelaskan bahwa pemberlakuan POJK ini adalah secara bertahap. Bank umum yang masuk kategori BUKU 3 dan 4 serta bank asing adalah yang mendapatkan mandat paling cepat untuk menegakkannya, yaitu mulai 1 Januari 2019. Sementara, dana pensiun yang total asetnya minimal Rp1 triliun adalah yang paling lambat, yaitu pada 1 Januari 2025.
Kewajiban untuk membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) dinyatakan pada Pasal 4. Sementara isi dari RAKB sendiri dapat dipelajari pada Lampiran 1 POJK. Pasal 5 menyatakan bahwa RAKB itu wajib dilaksanakan; dan Pasal 6 menyatakan kewajiban untuk mengkomunikasikannya kepada pemegang saham dan seluruh jenjang organisasi LJK.
Pasal 7 masih tentang RAKB, yaitu wajib disusun berdasarkan prioritas LJK yang sedikitnya terdiri dari pengembangan produk produk/jasa keuangan berkelanjutan; pengembangan kapasitas internal; serta penyesuaian organisasi, manajemen risiko, tata kelola, dan prosedur operasional standar yang sesuai dengan prinsip keuangan berkelanjutan. Apa yang dinyatakan di dalam RAKB itu juga wajib menyertakan target waktu penerapannya.
Kaitan antara keuangan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) disebutkan dalam Pasal 8. Bagi LJK yang diwajibkan melaksanakan TJSL—yaitu LJK yang berbadan hukum perusahan terbatas—maka sumberdaya finansial TJSL-nya wajib dialokasikan sebagian untuk dukungan penerapan keuangan berkelanjutan. Sementara, emiten dan perusahaan publik yang bukan merupakan LJK namun diwajibkan melaksanakan TJSL dapat (tidak diwajibkan) mengalokasikannya. Alokasinya sendiri wajib diterakan pada RAKB yang dibuat, dan pelaksanaanya wajib dilaporkan di dalam laporan keberlanjutan.
Pasal 9 mengatur tentang insentif dari OJK untuk mereka yang menerapkan keuangan berkelanjutan secara efektif. Bentuknya adalah pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, dan insentif lainnya yang belum didefinisikan.
Kalau di Pasal 8 sudah dinyatakan adanya kewajiban untuk melaporkan kaitan TJSL dengan keuangan berkelanjutan dalam bentuk laporan keberlanjutan, Pasal 10 menegaskan tentang pelaporan keberlanjutan yang dimaksud. Pembuatannya bersifat wajib, bisa dibuat terpisah dari atau sebagai bagian dari laporan tahunan, wajib diserahkan kepada OJK, dengan tenggat waktu penyerahan dan periode pelaporan sesuai yang ditentukan. Format laporan keberlanjutan yang diwajibkan adalah sebagaimana yang dijelaskan pada Lampiran 2 POJK.
Pasal 11 mengatur tentang penyerahan RAKB kepada OJK, sementara Pasal 12 menjelaskan mengenai kewajiban publikasi laporan keberlanjutan. Pasal 13 mengatur mengenai sanksi, yang seluruhnya bersifat administratif dalam bentuk teguran atau peringatan tertulis. Pasal 14 menyatakan bahwa keberlakuan POJK ini adalah mulai tanggal diundangkan, yaitu 27 Juli 2017.
Bersyukur, Bergembira, Bangga
Secara umum, belum banyak negara di dunia ini yang memiliki regulasi keuangan berkelanjutan. Dengan demikian, Indonesia adalah salah satu yang paling maju di antara bangsa-bangsa lain. Hal ini perlu disambut dengan gembira. Kesadaran bahwa ekonomi Indonesia perlu dibuat berkelanjutan, stabil dan inklusif adalah alasan kegembiraan yang lainnya.
Namun, tentu saja, regulasi ini masih mengandung ruang perbaikan yang besar. Yang mana bisa dipahami lantaran regulasi ini merupakan salah satu yang paling awal dibuat. Kita tak punya rujukan yang cukup komprehensif. Dan ini merupakan peluang untuk melakukan perbaikan di masa mendatang.
Salah satu ruang yang paling jelas adalah tentang berbagai kebijakan yang seharusnya dibuat oleh LJK, emiten, dan perusahaan publik untuk menegakkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan itu. Dengan belum dicantumkannya secara eksplisit, maka diperlukan pihak-pihak yang mumpuni untuk membantu mereka semua menginterpretasikannya. Mengingat kondisi bahwa keuangan berkelanjutan belum lagi menjadi pengetahuan banyak pihak, apalagi menjadi arus utama, maka bangsa ini perlu segera belajar bersama soal keuangan berkelanjutan, sambil menjalankannya.
Ruang perbaikan berikutnya yang sangat penting adalah soal sanksi. Kalau kita memiliki kesadaran untuk membuat ekonomi yang berkelanjutan, stabil dan inklusif, sementara itu hanya bisa dicapai dengan keuangan berkelanjutan, maka pelanggaran terhadap prinsip-prinsipnya perlu mendapatkan sanksi yang tegas. Mengapa? Karena pelanggaran itu membahayakan pembangunan Indonesia.
Bagaimanapun, kita perlu mensyukuri terlebih dahulu munculnya regulasi ini lantaran ini menandai Indonesia telah berpikir dalam arah yang benar soal keuangan dan ekonominya. Kita perlu bergembira juga bangga atasnya. Membantu menginterpretasikan, mendukung penegakkannya, dan mencari serta mengisi ruang perbaikan atasnya adalah tugas berikutnya.
This post is also available in: English