17 September 2017 2 menit
Urgensi Kebijakan Moratorium Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Minyak sawit adalah produk pertanian paling dominan di Indonesia selama dua dekade terakhir. Dengan pertumbuhan tahunan sebesar 7,67% dari perkebunan selama 2004-2014, produksi minyak sawit tumbuh sebanyak 11,09% per tahun. Indonesia kini merupakan produsen dan eksportir minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) terbesar di dunia. Hasil optimal minyak sawit per hektar bisa sepuluh kali lipat dari minyak tanaman lainnya. Memiliki manfaat ekonomi seperti itu membuat banyak perusahaan dan petani sawit berkeinginan memperluas perkebunan mereka. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, menunjukkan luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2016 adalah 11,7 juta hektar, yang menghasilkan 33,5 juta ton CPO.
Dari total luas areal perkebunan kelapa sawit tersebut, perusahaan milik negara menguasai 0,75 juta hektar, perusahaan besar milik swasta menguasai 6,15 juta hektar, dan perkebunan rakyat seluas 4,76 juta hektar. Manfaat ekonomi yang mengesankan ini tidak hadir tanpa efek samping. Kini, konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit adalah ancaman yang paling jelas dan langsung bagi hutan Indonesia yang masih tersisa. Konversi hutan juga menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifkan, terutama bila terjadi di lahan gambut. Ketika dibersihkan dan dikeringkan, tanah gambut melepaskan sejumlah besar CO2. Sementara kurang dari 20% dari perkebunan kelapa sawit Indonesia berada di lahan gambut, perkebunan di tanah ini terhitung sebagai kontributor untuk dua pertiga emisi GRK nasional.
Urgensi-Moratorium-Sawit-final_070517.compressed