14 Desember 2017 3 menit

Studi Kasus: Taktik Intimidasi dan Kriminalisasi oleh Perusahaan Perkebunan PT Malisya Sejahtera di Desa Tiberias, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara

Pada bulan Mei 2017, personil keamanan dari PT Malisya Sejahtera menghancurkan dan membakar rumah-rumah masyarakat Tiberias di Sulawesi Utara. Mereka didukung oleh militer dan polisi, yang memukuli beberapa orang dan menahan 40 anggota masyarakat, termasuk kepala desa. Banyak penduduk desa dapat menyelamatkan diri dengan cara kabur ke daerah pegunungan dan mencari perlindungan di sana.
Kejadian ini adalah lanjutan konflik yang telah terjadi sejak tahun 2015, saat PT MS mulai merampas tanah masyarakat untuk menjalankan perkebunan kelapa sawit dan kelapa. Untuk mengusir masyarakat dari tanah tersebut, perusahaan ini telah merusak beberapa taman, sawah, dan sumur-sumur air minum.
Masyarakat telah mengirimkan pengaduan ke tingkat pemerintahan yang berbeda-beda dan masyarakat pun telah mencatatkan dua kasus ke pengadilan melawan perusahaan tersebut, menuduh perusahaan itu tidak memiliki izin yang tepat untuk beroperasi. Pada bulan Juli 2017, masyarakat memenangkan satu kasus pengadilan namun kalah pada kasus yang lainnya, sehingga semua aktor berada dalam kelimbungan hukum, karena pengadilan memutuskan bahwa Izin Usaha Perkebunan (IUP) perusahaan adalah tidak legal, namun Hak Guna Usaha (HGU) mereka legal. Namun, IUP adalah syarat untuk mendapatkan HGU, sehingga, muncul pertanyaan, dapatkah HGU menjadi sah jika IUP mereka tidak legal?
Konflik ini masih belum selesai dan masyarakat Tiberias masih terus mengalami intimidasi, karena PT MS mengajukan banding terhadap Putusan tersebut.
PT. MS adalah perusahaan perkebunan lokal dan tidak mudah untuk menemukan informasi mengenai pemilik sebenarnya atau beneficiary owner-nya. Namun, menurut masyarakat yang saat itu ditemui oleh pihak perusahaan mengatakan, bahwa pihak perusahaan pernah mengatakan kalau perusahaan tersebut merupakan anak perusahaan Indofood Agri Resources Ltd yang dikuasai oleh Salim Group.
Baik dimiliki oleh Grup Salim atau tidak, PT MS dapat beroperasi karena memiliki uang. Entah bagaimana, pemiliknya bisa mendapatkan pembiayaan dari para pemodal yang tampaknya tidak memiliki kebijakan dan tidak melakukan uji tuntas yang kuat untuk memastikan bahwa klien mereka tidak terlibat di dalam konflik sosial dan lingkungan hidup. Sebuah penilaian oleh Forests and Finance1 telah menunjukkan bahwa tidak ada satupun dari bank-bank utama di Indonesia memiliki kebijakan resiko Sosial, Lingkungan Hidup, dan Tata Kelola atau Social, Environmental and Governance (ESG) yang tersedia untuk publik, yang berkaitan dengan klien-klien mereka di sektor kelapa sawit.
Para pemodal bertanggung jawab atas dampak-dampak yang diakibatkan oleh klien-klien mereka dan terpapar pada resiko-resiko keuangan dan reputasi yang diasosiasikan dengan mereka. Untuk mencegah paparan terhadap resiko tersebut, para pemodal PT MS harus sesegera mungkin mengadopsi kebijakan-kebijakan ESG. Mereka juga harus terlibat dengan PT MS dan mensyaratkan perusahaan tersebut untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang dapat memuaskan masyarakat setempat juga, dan mereka harus melakukan disinvestasi terhadap PT MS dan perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan perusahaan tersebut, jika perusahaan-perusahaan itu tidak melaksanakannya.
Karena para pemodal enggan untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mewajibkan para pemodal untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan ESG yang sesuai dengan sektor spesifik mereka. Tindakan ini akan memperkuat Peraturan yang dikeluarkan oleh OJK pada bulan Juli, mengenai pelaksanaan keuangan yang berkelanjutan untuk lembaga-lembaga layanan keuangan, perusahaan-perusahaan penerbit (issuer companies), dan badan usaha-badan usaha milik negara (public companies).
Studi Kasus Tiberias..
 
 


Mubarok Khalid

Scroll to Top