16 Januari 2018 4 menit
Siaran Pers Bersama: Terus Menuai Konflik Agraria dan Lingkungan Hidup, Komitmen Astra Agro Lestari Dipertanyakan
Jakarta-Hingga saat ini, empat orang petani desa Polanto Jaya Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah masih harus menjalani proses persidangan di PN Mamuju Utara Sulawesi Barat, atas tuduhan pencurian buah sawit PT. Mamuang, anak perusahaan Astra Agro Lestari (AAL). Konflik dengan masyarakat yang melibatkan keterlibatan group besar perusahaan perkebunan sawit ini bukanlah baru kali ini. Belum lama ini, salah satu anak perusahaan PT. Agro Nusa Abadi (ANA) di Morowali Utara, diduga kuat menggunakan militer untuk melaukan pembungkaman terhadap petani sawit di wilayah perusahaan, dengan pos-pos pengamanan militer yang berada di wilayah perusahaan.
Direktur WALHI Sulawesi Tengah, Abdul Haris menyatakan, “Astra Agro Lestari merupakan salah satu pelaku bisnis yang menguasai sumber-sumber agraria begitu besar di bumi Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Dengan luasan HGU dan IUP mencapai 111.304 hektar dari total luas perkebunan sawit mencapai 713.217 hektar, Astra Agro Lestari menduduki posisi teratas yang menguasai industri perkebunan sawit di Sulawesi Tengah, disusul Smart dan Kencana Agri. Situasi inilah yang berkontribusi pada semakin krisisnya bumi Celebes. Semakin kuatnya kuku bisnis yang ditancapkan oleh AAL di sektor perkebunan sawit, berjalan beriringan dengan berbagai kasus dan konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah”. “Ironinya, seluruh potret buruk pengelolaan Industri perkebunan sawit mendapat lagitimasi dari Negara, baik Pemerintah Pusat, maupun Pemerintah Daerah. Tidak mengherankan jika penguasan atas ruang di wilayah Sulawesi Tengah, hampir 30 persen dikuasai oleh Korporasi, sementara di sisi yang lain, ruang hidup dan wilayah kelola rakyat terus terancam dan semakin mengecil”, tambah Haris.
Kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh PT. Mamuang terhadap petani Desa Polanto Jaya dan konflik agraria lainnya patut dipertanyakan, mengingat PT. Mamuang dan anak perusahaan AAL lainnya telah mengantongi sertifikat ISPO, yang konon memiliki ikatan yang bersifat legally binding, pada faktanya di lapangan, berbagai konflik dan kasus lingkungan hidup. ISPO tidak mampu menjawab konflik struktural agraria, maka sudah sepatutnya ISPO harus turut bertanggungjawab atas kasus kriminalisasi dan berbagai konflik agraria yang terjadi di konsesi Astra Agro Lestari.
Astra Agro Lestari sedikitnya memiliki 413.138 hektar kebun sawit di Indonesia. Pada tahun 2013, AAL memiliki aset lebih kurang 15 triliun ini mendapatkan sebagian dananya dari beberapa Bank antara lain OCBC, Mizuho Financial Group, Sumitomo Group, Mitsubishi UFJ-Financial Group, Bank Pan Indonesia, DBS, Standard Chartered, HSBC, Commonwealth Bank of Australia dan Bank Mandiri. Karenanya, lembaga pendanaan ini juga perlu bertanggungjawab atas tindakan dan praktek AAL di lapangan yang diduga banyak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tegas Edi Sutrisno, Deputi Direktur Transformasi untuk Keadilan Indonesia.
Pemerintah terus menutup mata atas berbagai fakta pelanggaran HAM dan penghancuran lingkungan hidup yang terjadi di perkebunan sawit dalam seluruh cerita rantai pasoknya, termasuk yang berada di konsesi group-group besar perusahaan yang konon memiliki komitmen “sawit berkelanjutan”. “dari pada terus mengelak dari fakta-fakta ini dan membenarkan praktek buruk perusahaan, ketimbang berupaya membenahi tata kelola sumber daya alam di dalam negeri dan melindungi hak-hak petani, masyarakat adat/masyarakat lokal yang terus terancam oleh perkebunan kelapa sawit. Terlebih berupaya menegosiasikan persoalan HAM melalui perundingan perdagangan seperti Indonesia-EU CEPA. HAM tidak untuk dinegosiasikan, melainkan dipenuhi dan dilindungi oleh negara dari ancaman serangan pihak ketiga, dalam hal ini korporasi perkebunan besar kelapa sawit.
Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch menegaskan bahwa “konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat yang melibatkan group besar Astra Agro Lestari dan pendekatan keamanan yang digunakan, bertentangan dengan komitmen Presiden untuk menjalankan agenda reforma agraria”. Karenanya, kami mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mereview HGU perusahaan yang terlantar, HGU yang didapatkan dengan cara melanggar hukum dan aturan dan atau HGU yang berkonflik dengan masyarakat, ujar Inda dalam penutup siaran pers ini.
Jakarta, 16 Januari 2018.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi
1. Abdul Haris, Direktur WALHI Sulawesi Tengah di 082191952025
2. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081290400147
3. Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch di 0811448677
4. Edi Sutrisno, Deputi Direktur TuK Indonesia di 087711246094
5. Malik Diadzin, Staf Media dan Komunikasi Publik WALHI di 081808131090