12 Februari 2018 10 menit

Bisnis dan HAM: Quo Vadis? Beberapa Catatan dari Lokakarya Regional Bisnis dan HAM

Jalal
 
Diskusi Bisnis dan HAM di Kawasan ASEAN
Saya diundang untuk menjadi moderator dalam lokakarya regional (ASEAN) tentang bisnis dan HAM, tanggal 5-6 Februari 2018. Sesi di mana saya menjadi moderatornya adalah sesi pertama di hari kedua, bertajuk Moving Forward on ASEAN Regional Strategy on CSR and Human Rights. Narasumbernya, Thomas Thomas dari ASEAN CSR Network, Y. W. Junardy dari Indonesia Global Compact Network, serta Golda Benjamin dari Business & Human Rights Resource Centre.
Thomas menyampaikan soal strategi regional, mulai dari ide pembuatannya hingga situasi terakhir, termasuk undangan untuk terus memberikan masukan untuk penyempurnaannya.  Dokumen yang dinyatakan sebagai strategi regional itu sendiri dicetak dan dibagikan ke seluruh peserta yang hadir.  Ada 10 butir isinya, mulai dari Introduction hingga Ensuring Success, yang ditaruh dalam 4 halaman.  Sebuah dokumen yang sangat singkat.
Junardy kemudian menyampaikan tanggapan atas paparan tersebut.  Kalau Thomas menyampaikan secara lisan tanpa bahan presentasi, Junardy menyiapkan 29 halaman presentasi Powerpoint, yang mulai dengan penjelasan apa itu HAM, bagaimana peran bisnis di dalamnya, isu-isu bisnis dan HAM yang terpenting, serta berbagai contoh kasus, sebelum masuk ke bagian bisnis dan HAM di ASEAN yang memberi masukan kepada strategi regional.
Siapapun yang mengenal Junardy akan tahu bahwa ia datang dari kelompok yang progresif di antara bisnis.  Saya sendiri berpikir bahwa kelompok progresif itu sendiri bukanlah arus utama—tampaknya yang progresif memang selalu bukan arus utama—di dalam bisnis di Indonesia.  Apa yang dipaparkan Junardy pasti tidak menggambarkan apa yang dilakukan oleh majoritas bisnis di Indonesia.  Perusahaan-perusahaan di negeri ini sebagian besarnya, saya sangat yakin, mendengar kaitan antaran HAM dan bisnis saja belum pernah, apalagi memiliki kebijakan dan menerapkannya dalam seluruh proses bisnis mereka.  Oleh karena itu, saya meminta Benjamin, dengan latar belakang LSM-nya, untuk bicara secara lebih terbuka soal bagaimana LSM melihat situasi bisnis dan HAM.  “Brutal honesty, please,” demikian yang saya nyatakan.
Benjamin kemudian menyampaikan pemikirannya yang juga tanpa bantuan Powerpoint. Ia menyampaikan bagaimana organisasinya bekerja menekuni data tentang bisnis dan HAM di kawasan ASEAN, dan menyampaikan pernyataan sangat berimbang mengenai berbagai masalah yang ditimbulkan oleh bisnis di kawasan ini, juga kemajuan-kemajuan yang dilihatnya selama beberapa tahun terakhir.  Dia juga menggarisbawahi bahwa organisasi masyarakat sipil, termasuk LSM, memainkan peran yang sangat penting di dalamnya.  Jadi, permintaan saya untuk menyampaikan kejujuran brutal ternyata tidak membuat dia hanya bicara soal berbagai masalah, melainkan juga kemajuan yang telah diperoleh.  Ini adalah hal yang sangat menyenangkan buat saya.
Hal itu juga berarti bahwa antara kelompok bisnis dengan organisasi masyarakat sipil kini telah mencapai kondisi hubungan yang lebih sehat.  Tidak lagi hanya hubungan adversarial seperti yang ditunjukkan hingga datu-dua dekade lampau.  Tetapi  saya mendapati bahwa ada perbedaan yang mendasar di antara keduanya.  Junardy menyampaikan undangan untuk beralih dari pendekatan naming and shaming ke knowing and showing, agar semakin banyak bisnis yang bisa dilihatkan di dalam gerakan ini.  Benjamin mengambil posisi yang berbeda.  Buat dia, sangat jelas bahwa kemajuan patut didorong dan diakui, namun perusahaan yang melakukan pelanggaran HAM tentu harus diungkap ke publik.  Hal ini bukan sekadar soal strategi, melainkan juga transparensi dan akuntabilitas.
Saya sendiri cenderung lebih setuju pada pendekatan Benjamin.  Dalam seluruh isu, termasuk HAM, saya selalu menyatakan bahwa strategi kita dalam berhubungan dengan perusahaan selalu tergantung dari macam apa perusahaan yang kita hadapi.  Dengan perusahaan hebat, yang memang memiliki kinerja terpuji, kita tak boleh pelit pujian.  Kita perlu memberi mereka penghargaan yang pantas, sehingga seluruh pemangku kepentingan sadar atas apa yang mereka telah capai, dan bisa mencontohnya.  Kepada perusahaan yang di masa lalu membuat kesalahan namun secara sungguh-sungguh berusaha memerbaiki kinerjanya—kerap saya sebut sebagai perusahaan tobat—maka kita juga harus bersungguh-sungguh membantu mereka memerbaiki diri.  Kepada perusahaan yang terus menerus melakukan tindakan yang merugikan masyarakat dan lingkungan, yang saya sebut sebagai perusahaan jahat, strategi naming and shaming tetap perlu dilakukan.
Mungkin yang perlu menjadi perhatian memang adalah bagaimana membedakan secara tegas ketiga jenis itu.  Saya kerap melihat kasus bahwa perusahaan yang sesungguhnya memiliki kinerja jauh di atas rerata masih menjadi korban prasangka negatif karena, misalnya, status kepemilikan asingnya.  Sementara, perusahaan-perusahaan yang sebetulnya berada pada posisi hendak memerbaiki diri merasa kesulitan mendapatkan bantuan yang mumpuni.  Juga, kerap sekali perusahaan yang sesungguhnya jahat malahan lolos begitu saja dari berbagai bentuk hukuman legal maupun sosial.  Kalau kita hendak melihat perusahaan benar-benar berubah, termasuk dalam isu-isu terkait HAM, seharusnya tindakan yang tepat kepada perusahaan yang tepat bisa kita tunjukkan dengan konsisten.
 
Belajar Ulang
Ketika saya diminta untuk menjadi moderator sesi itu, sekitar seminggu sebelum acara, saya sadar sepenuhnya bahwa saya sudah cukup lama tidak mengikuti perkembangan wacana ini, kecuali yang terkait dengan kasus-kasus pelanggarannya.  Sejalan dengan kapasitas saya di Social Investment Indonesia dan TuK Indonesia, saya harus selalu mengikuti kasus-kasus itu.  Biasanya lewat pemberitaan di level global dan nasional.  Jadi, di akhir minggu sebelum bertugas—walau saya tahu tugas menjadi moderator itu tak akan memerlukan saya menjadi pakar betulan dalam isu ini—maka saya membaca kembali buku Just Business: Multinational Corporations and Human Rights (Ruggie, 2013) dan Human Rights in the New Global Economy: Corporate Social Responsibility? (Walker-Said dan Kelly, ed., 2015).  Saya punya sekitar 10 buku dalam tema tersebut, tapi membaca kembali dua yang itu rasanya lebih dari cukup.
Kalau kedua buku itu untuk mengembalikan ingatan saya soal wacana teoretis/konseptual, saya juga merasa memerlukan diri untuk membaca ulang dokumen Business and Human Rights in ASEAN: A Baseline Study (HRRC, 2013) dan Baseline Study on the Nexus between Corporate Social Responsibility & Human Rights: An Overview of Policies & Practices in ASEAN (AICHR, 2014).  Selain, tentu saja, Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework (UNHR, 2011).  Dokumen-dokumen tersebut lebih pada tataran implementasi.
Membaca beberapa buku dan dokumen itu menyadarkan saya pada kompleksitas isu ini.  Alih-alih merasa menjadi lebih pandai, saya sejujurnya merasa jauh dari memadai pengetahuannya.  Dan masukan-masukan yang dilontarkan oleh para narasumber penanggap serta peserta—ada empat peserta yang seluruhnya memberikan tanggapan kritis dan konstruktif atas dokumen empat halaman yang disampaikan oleh Thomas—membuat saya bertambah sadar soal keterbatasan diri.  Mungkin ada beberapa keterbatasan yang paling menonjol saya rasakan.  Saya tuliskan di sini untuk bisa kita jadikan renungan bersama.
 
Beberapa Renungan
Pertama, saya tak tahu status pasti dari dokumen 4 halaman tersebut.  Tetapi, jelas bahwa dokumen itu masih bisa berubah lantaran Thomas terus mengundang masukan.  Dalam pemahaman saya, yang kerap membantu perusahaan membuat strategi, komponen strategi itu ada 3: hendak ke mana tujuan kita, ada di mana kita sekarang, dan bagaimana kita hendak mencapai tujuan itu.  Sejujurnya, saya belum melihat kejelasan soal tujuan itu.  Apa yang tertera pada bagian Purpose, menurut hemat saya, tak cukup kuat.  Saya misalnya lebih suka tujuan yang tegas seperti “Tak ada pelanggaran HAM oleh bisnis di ASEAN pada tahun 2025” atau “Pemenuhan seluruh butir UN Guiding Principles on Business and Human Rights di ASEAN pada tahun 2025” sebagai pernyataan tujuan.
Kedua, tentang di mana kita sekarang, saya kira kalau dokumen HRRC (2013) dan AICHR (2014) bisa diringkas dengan baik, akan bisa menyediakan kejelasan yang diperlukan.  Dokumen HRRC yang tebalnya 497 halaman itu sangatlah komprehensif, walaupun di dalamnya diakui berbagai keterbatasannya.  Dokumen AICHR jauh lebih ringkas, hanya 24 halaman, dengan derajat abstraksi yang lebih tinggi. Tetapi, dari dua dokumen itu saja, saya kira kondisi mutakhir bisnis dan HAM di ASEAN bisa dijelaskan dengan sangat memadai.  Sebuah dokumen strategi yang tak memuat baseline, buat saya, sangatlah membingungkan.
Ketiga, pengertian CSR.  Saya kira sangat jelas bahwa dokumen strategi itu sangat diilhami oleh ISO 26000.  Bagian Understanding CSR bisa dilihat, dan jejak-jejak ISO 26000 tampak jelas di situ.  Namun, tidak sepenuhnya juga dokumen standar internasional itu diambil.  Definisi CSR yang diajukan dipotong dari definisi tanggung jawab sosial (SR) yang lebih komprehensif di dalam ISO 26000.  Dan sejujurnya saya tak paham mengapa perlu dipotong.  Bahkan, tujuan pembangunan berkelanjutan saja sebagai tujuan (C)SR—yang menjadi semakin relevan dengan diberlakukannya SDGs sejak 1 Januari 2016—tidak dicantumkan di situ!  Dalam prinsip, urutannya pun diubah; sementara subjek intinya mencantumkan anti-diskriminasi dan anti-korupsi, yang di dalam ISO 26000 sesungguhnya masuk ke dalam cakupan subjek inti HAM (anti-diskriminasi) dan praktik operasi yang adil (anti-korupsi) sebagai isu, bukan subjek inti.
Keempat, buat saya sangat penting untuk menekankan bahwa konsep SR itu mencakup tanggung jawab yang diatur di dalam regulasi juga yang tidak (belum) dicakup di dalam regulasi.  Slide ketiga presentasi Junardy, misalnya, masih menyatakan bahwa SR sesungguhnya hanya mencakup yang di luar kepatuhan pada regulasi.  Ia mengutip pendirian Ashleigh Owens dari EY, yang memang masih banyak dianut oleh banyak orang.  Namun, kembali pada ISO 26000, SR sesungguhnya juga memasukkan tanggung jawab yang diregulasi, yang sangat jelas dinyatakan di dalam salah satu prinsipnya.  Oleh karena itu, misalnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia yang hendak menyatakan dirinya bertanggung jawab sosial, wajib memenuhi seluruh regulasi, termasuk UU HAM yang telah dikeluarkan pemerintah.  Pengertian bahwa CSR adalah voluntari sesungguhnya adalah patuh pada regulasi dan melampauinya, bukan sekadar melakukan hal-hal yang ada di luar regulasi.  Kalau hal ini tak ditegaskan, saya khawatir diskusi tentang CSR dan HAM ini akan mengulang-ulang isu yang sama.
Kelima, pernyataan ‘human rights are an important component of CSR’—yang tercantum dalam dokumen regional strategy—saya kira akan membuat banyak pihak menjadi bingung atau bahkan menolaknya.  Saya berusaha untuk mendamaikan apa yang berkecamuk di benak saya dengan cara melihat bahwa persoalan yang sama juga kerap muncul ketika membincangkan kaitan antara CSR dengan pengelolaan lingkungan dan pengembangan masyarakat.  Banyak yang menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan adalah bagian dari CSR, tapi itu tidaklah tepat, lantaran pengelolaan lingkungan tak cuma dilakukan oleh perusahaan.  Kalau dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan oleh perusahaan adalah bagian dari CSR itu barulah tepat.  Demikian juga pengembangan masyarakat oleh perusahaan adalah bagian dari CSR.
Dalam soal bisnis dan HAM, urusannya selangkah lebih rumit.  Dokumen UN Guiding Principles menyatakan bahwa bisnis dan HAM itu punya tiga pilar, yaitu kewajiban negara untuk melindungi, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati, dan akses terhadap remedi.  Jadi, kalau HAM memang tidak tepat betul dinyatakan sebagai bagian dari CSR, bisnis dan HAM juga tak langsung bisa dinyatakan begitu.  Pilar pertama jelas bukan bagian dari CSR, karena adalah urusan negara (mungkin bisa dinyatakan sebagai SR-nya negara).  Pilar keduanya jelas bagian dari CSR.  Namun, pilar ketiga, khususnya di butir 29, yaitu soal bagaimana perusahaan menyediakan mekanisme penyelesaian keluhan (grievance mechanism), juga adalah bagian dari CSR.  Jadi, mendudukkan secara tepat hubungan antara HAM dan CSR memang bukan urusan yang sederhana.
Terakhir, saya juga tak paham mengapa, dalam bagian References, ISO 26000 dimasukkan ‘hanya’ sebagai bagian dari ‘other globally-recognised standrads and principles’.  Hal ini sangatlah aneh mengingat dalam sejarah yang saya baca di buku Ruggie (2013), jelas-jelas perjuangan memasukkan isu-isu HAM dalam ISO 26000 adalah keberhasilan yang gilang gemilang.  Bayangkan, dalam ISO 26000 HAM itu adalah prinsip sekaligus subjek inti.  Bahkan, pada Sabtu 10 Februari, saya bertemu dengan Hans Kroder—salah satu pakar dari Belanda yang terlibat dalam penyusunan ISO 26000—dalam acara diskusi perkambangan mutakhir standar internasional itu, dan dia menyatakan bahwa pengaruh John Ruggie dalam penyusunan standar itu membuat uji tuntas (due diligence) yang diambil dari pendekatan HAM masuk ke dalam seluruh subjek inti.  Artinya, logika HAM betul-betul menghunjam ke dalam jantung ISO 26000. Lalu mengapa dokumen ini tampak hanya sebagai ‘other’?
Begitulah curcol saya sebagai hasil dari memoderasi sesi tersebut.  Semoga ini menjadi semacam pengingat bahwa saya masih harus belajar lebih banyak soal bisnis dan HAM, sekaligus undangan bagi pembaca untuk berbagi pemikiran dan kerja nyata agar HAM benar-benar bisa tegak di dalam dunia usaha, di Indonesia, ASEAN, dan di level global.
 
 
 


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top