16 Agustus 2018 5 menit
Pernyataan Pers: Perusahaan Kelapa Sawit Terbesar Indonesia, Golden Agri Resources (GAR) di Ujung Tanduk
Organisasi masyarakat sipil di Indonesia, Liberia, dan Internasional baru saja mengajukan lima pengaduan baru (terlampir di bawah) terhadap perusahaan minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia, Golden Agri Resources (GAR). GAR yang merupakan bagian dari konglomerasi Sinar Mas (Golden Rays) yang dijalankan oleh keluarga Widjaya dengan kepentingan mulai dari kelapa sawit, kayu, bubur kertas dan kertas hingga real estate dan perbankan, telah gagal memenuhi standar RSPO, klaim organisasi-organisasi ini.
Baik GAR dan anak perusahaannya di Liberia – Golden Veroleum Limited – telah menimbulkan kekecewaan besar di kalangan masyarakat sipil saat mereka menarik keanggotaan GVL dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), untuk menghindari permintaan RSPO agar mereka menghentikan pengembangan pabrik kelapa sawitnya di lahan yang sedang disengketakan.
Mina Beyan dari LSM Liberia Social Entrepreneurs for Sustainable Development (SESDev) mengatakan:
Kami telah membantu masyarakat lokal yang terkena dampak operasi GVL untuk mengajukan pengaduan atas cara-cara tidak adil yang GVL lakukan untuk mengambil alih tanah mereka, sejak tahun 2012. Akhirnya, di awal tahun ini Panel Pengaduan RSPO setuju – setelah melalui penyelidikan independen intensif – bahwa keluhan itu sah. GVL diminta untuk menghentikan perampasan lahan, namun mereka menolak. Dan sekarang mereka sudah keluar dari RSPO. Perilaku ini menentang aturan main RSPO. Apakah standar RSPO hanya untuk diamati saja pelanggarannya?
Menurut organisasi masyarakat sipil di Liberia, GVL terus melakukan ekspansi meskipun komunitas Blogbo menolak menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan, dan bahkan setelah keluhan masyarakat kepada RSPO telah diterima dan Panel Pengaduan RSPO telah memutuskan agar GVL menghentikan proses tersebut – setelah sebelumnya GVL berusaha mengajukan banding kepada Panel Pengaduan RSPO.
Ini adalah upaya terang-terangan oleh GVL dan GAR untuk menghindari kewajiban mereka terhadap RSPO. Mereka menggunakan keanggotaan RSPO mereka untuk menarik investasi dan memasarkan minyak sawit mereka tetapi ketika kelakuan mereka diungkap mereka terus menjauh dari tanggung jawab mereka, kata James Otto, Sustainable Development Institute (SDI) – Monrovia.
Keluhan lain menyatakan bahwa GAR telah melanggar hukum di Indonesia yang melarang perusahaan dan kelompok perusahaan menguasai lebih dari 100,000 hektar lahan.GAR secara terbuka mengaku menguasai lebih dari empat kali jumlah tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah prinsip inti dari standar RSPO, tetapi Panel Pengaduan RSPO telah menghindari membuat keputusan mengenai masalah ini selama lebih dari tiga tahun.
GAR juga telah menunda-nunda pemenuhan kebun plasma yang dijanjikan kepada masyarakat Dayak dan Melayu lokal yang mereka akuisisi lahannya pada 2007-2009 di Kalimantan, meskipun telah diminta untuk memenuhinya oleh Panel Pengaduan RSPO sejak lebih dari tiga tahun yang lalu, melalui pengaduan yang diajukan oleh Forest Peoples Programme (FPP).
Indonesia menyambut investasi di perkebunan kelapa sawit untuk membantu mengurangi kemiskinan dan menggiatkan pembangunan, kata Rahmawati Winarni, Direktur Eksekutif Transformasi Keadilan Indonesia (TUK), tetapi GAR hanya mengambil alih tanah masyarakat dan kemudian dengan sengaja menunda pemberian ganti ruginya. Mengapa pemilik tanah yang miskin dipaksa menyerahkan tanah mereka dan kemudian menunggu puluhan tahun untuk perkebunan kecil yang dijanjikan, sementara perusahaan besar ini terus-menerus meraup keuntungan? Sesungguhnya, ini adalah ranah pemerintah Indonesiauntuk menghentikan penyalahgunaan semacam ini – bukan hanya RSPO, tambahnya
Pada tahun 2013, investigasi oleh TuK INDONESIA dan Forest Peoples Programme mengungkap bahwa GAR telah memperdaya masyarakat dari dari tanah mereka dengan melanggar standar RSPO – yang mengharuskan anggotanya untuk menghormati hak adat dan hanya boleh mengakuisisi lahan setelah mendapat persetujuan masyarakat dengan proses yang bebas dan terbuka serta adanya informasi yang berimbang bagi masyarakat sebelum keputusan disepakati. Hal ini mendorong disampaikannya pengaduan kepada RSPO, dimana Panel Pengaduan mengabulkan pengaduan tersebut dan pada tahun 2015 mengharuskan GAR untuk memulihkan lahan yang telah diambil paksa. Panel Pengaduan RSPO membekukan semua ekspansi dan pembebasan lahan oleh GAR di semua (18) operasi GAR yang menjadi pokok pengaduan.
Sejak saat itu, GAR menolak bernegosiasi ulang atas kesepakatan lahan yang tidak adil ini, meskipun ada keputusan RSPO bahwa GAR harus menyediakan pemulihan karena telah mengambil tanah tanpa persetujuan bebas yang didahulukan dan diinformasikan oleh masyarakat, kata Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior untuk Forest Peoples Programme. “Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tiada”.
Penundaan tersebut menyebabkan organisasi masyarakat sipil mengajukan keluhannya yang keempat.
Sebagai anggota RSPO, kami aktif terlibat di komite standar yang mencoba membuat sistem di dalam RSPO kredibel dan sejalan dengan hukum hak asasi manusia, Marcus menambahkan, tetapi jika anggota RSPO diizinkan untuk melarikan diri dengan pelanggaran yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun, maka upaya kami tampaknya sia-sia. Panel Pengaduan harus menegakkan keputusannya sendiri.
Dalam keluhan kelima, organiasai masyarakat sipil yang sama juga menyerukan kepada Panel Keluhan RSPO untuk menyelidiki apa yang mereka tuduhkan sebagai ‘perusahaan bayangan’ milik Sinar Mas tetapi tidak GAR nyatakan berada di bawah kendalinya. Awal tahun ini, anak perusahaan GAR, raksasa bubur kayu Asian Pulp and Paper (APP) menyembunyikan kepemilikan Grup Sinar Mas atas beberapa perkebunan kayu yang tertangkap melakukan deforestasi dan bertentangan dengan janji APP untuk menghentikannya. Paparan tersebut menyebabkan penangguhan upaya APP untuk kembali berhubungan dengan Forest Stewardship Council dengan tujuan untuk mensertifikasi perkebunan kayu pulpnya yang sangat besar.
Kredibilitas sistem sertifikasi bergantung pada transparansi dan verifikasi. Jika anggota RSPO menyembunyikan kepemilikan mereka dari anak perusahaan yang tidak patuh atau secara sengaja mengeluarkan mereka dari RSPO ketika mereka terpergok melakukan pelanggaran, RSPO harus menyelidiki dengan cepat dan menjunjung tinggi standarnya, kata Norman Jiwan, seorang aktivis hak asasi manusia Dayak yang bekerja dengan FPP.
Organisasi-organisasi masyarakat sipil menyerukan agar sertifikat GAR ditangguhkan, agar GAR ditangguhkan keanggotaannya dalam Dewan Gubernur RSPO, agar dikenakan sanksi karena ketidakpatuhannya yang berulang, dan agar Panel Pengaduan bisa menyelidiki GAR yang telah melebihi batas penguasaan lahan dan menyembunyikan kepemilikan mayoritasnya atas anak-anak perusahaan mereka.
Selesai.
Sumber: https://www.forestpeoples.org/en/node/50274