19 Maret 2019 3 menit
Modul Kepemimpinan Perempuan
Pelatihan untuk penyadaran perempuan yang kerapkali disebut sensitifitas gender sudah selayaknya disesuaikan dengan kondisi geografis, problem kelas, problem ekologis, maupun problem identitas (ras/etnik/agama), sehingga cara fasilitator pelatihan dalam memandang problem gender tidak sempit. Artinya, yang harus dipahami oleh fasilitator pelatihan adalah bahwa problem gender tidak pernah berdiri sendiri, melainkan ber-interseksi dengan problem yang berkaitan dengan kondisi geografis, problem kelas, problem ekologis, maupun problem identitas (ras/etnik/ agama) dalam struktur sosial dan waktu tertentu.
Kondisi geografis mempertimbangkan konteks rural (pedesaan) atau urban (perkotaan atau semi perkotaan), di mana problemnya mungkin berbeda. Problem perempuan pedesaan –termasuk pedesaan di sekitar hutan, mungkin dalam transisi produsen agraris menjadi tenaga kerja upahan atau pedagang eceran bagi barang-barang pabrikan, infrastruktur kesehatan yang buruk, mobilitas terbatas dan terisolasi dari arus informasi. Ada pun problem perempuan perkotaan, barangkali berkaitan dengan posisi mereka sebagai pekerja serabutan (dan juga pedagang serabutan), fasilitas hidup di kota yang buruk –termasuk dalam hal fasilitas air bersih, persaingan dan kekerasan, individualis, dan sebagainya. Selain itu kita juga musti mencermati perbedaan kondisi geografis di Jawa dan luar Jawa yang dipengaruhi oleh perbedaan karakter industrialisasinya. Industrialisasi di Jawa dan Sumatra Timur telah terjadi sejak abad 19, sementara di sebagian wilayah Luar Jawa baru terjadi sejak 1970an – 1990an. Jenis industri di Jawa saat ini didominasi manufaktur, jasa dan otomotif, sementara di luar Jawa kebanyakan adalah industri ekstraktif.
Modul pelatihan ini secara khusus disusun bagi perempuan yang bermukim di pedesaan –termasuk desa sekitar hutan, pantai, sungai, rawa, atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, pertimbangan adanya pelanggaran hak asasi manusia –baik sipil politik maupun ekonomi, sosial, budaya—yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif (terutama perkebunan sawit dan pertambangan) terhadap masyarakat pedesaan di sekitar hutan, pantai, sungai, rawa, terutama di luar Jawa. Kedua, pelanggaran hak asasi manusia itu mengakibatkan krisis sosial dan ekologis, di mana perempuan pedesaan kehilangan sumberdaya pangannya, menjadi buruh harian lepas yang permanen, beban kerja dan alokasi waktu untuk kerja produktif dan reproduktif semakin berat, hingga membuat mereka semakin terisolasi dari informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Dengan mempertimbangkan kait-kelindan masalah perempuan pedesaan dan relasi gender dalam struktur sosial masyarakat pedesaan di bawah kapitalisme, sekali lagi, harus menjadi wawasan fasilitator untuk cermat menganalisa masalah perempuan pedesaan tidak dengan generalisasi. Persisnya, bagi seorang fasilitator, harus memiliki kepekaan untuk menganalisa persamaan dan perbedaan “perempuan” dan problem relasi gendernya dalam kelompok sosio-kultural dan geografis yang berbeda-beda. Modul ini disusun untuk membantu fasilitator dapat mengidentifikasi masalah perempuan pedesaan yang berbeda-beda, namun kemudian kita bangun ke dalam kesadaran yang sama, yaitu membangun gerakan perempuan pedesaan untuk menjadi subyek perubahan adil bagi perempuan dan sejahtera bagi desanya.