4 Juli 2019 5 menit
KERUGIAN EKONOMI NEGARA DARI PRAKTEK BISNIS SEKTOR SUMBER DAYA ALAM DAN BIAYA SOSIAL KORUPSI
Laporan Narasi Diskusi Terbatas
4 JULI 2019
RIMAWAN PRADIPTYO
Ketua Dept. Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Gajah Mada
Pada tanggal 4 Juli 2019, TuK INDONESIA melaksanakan diskusi dengan tema “KERUGIAN EKONOMI NEGARA DARI PRAKTEK BISNIS SEKTOR SUMBER DAYA ALAM DAN BIAYA SOSIAL KORUPSI” di Hotel Amaris Tebet, Jakarta Selatan. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA mengatakan bahwa diskusi ini bergerak dari kekhawatiran TuK INDONESIA atas tata kelola perkebunan sawit di Indonesia yang cenderung berpotensi merugikan negara. Ditambah lagi, beberapa pemberitaan media mengabarkan bahwa menurut BNPB, beberapa bencana terjadi di Indonesia itu akibat pembukaan perkebunan sawit dan tambang wilayah hulu. Diskusi ini bertujuan untuk mempertajam khasanah para pihak yang menaruh perhatian mereka pada pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Harapannya, dengan pemahaman yang semakin baik, kita dapat melakukan kerja-kerja advokasi yang lebih tepat guna.
Rimawan Pradiptyo, pakar ekonomi dari Universitas Gajah Mada mengatakan bahwa basis segala tindak pidana yang berpotensi merugikan negara di Indonesia tidak hanya mengenai sawit saja atau bahkan SDA. Kita berangkat dari Zona Ekonomi Eksklusif yang menjadi landasan kedaulatan Indonesia. Maka dengan demikian, konsentrasi hal ini merupakan satu kesatuan dan komprehensif. Ini yang kemudian menjadi konsep SATU INDONESIA dengan tiga pilar yakni pertama, melihat Indonesia secara utuh dan berfokus Sumber Daya Manusia. Fokus aspek ini adalah mencapai keseimbangan aspek spasial dan intertemporal serta fokus pada pembangunan SDM dengan menempatkan manusia sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Kedua, rasionalitas dalam Konteks Indonesia. Rasionalitas dalam hal ini adalah menyadari kelangkaan SDA, memiliki sens of crisis, sehingga membangkitkan cara berpikir kritis dan strategis dalam konteks ke-Indonesia-an. Ketiga yakni mengenai Incentive Compability bagian dari Indonesia. Tujuannya adalah berupaya menciptakan Incentive compability untuk bersatu dibawah naungan Indonesia.
Setelah memahami hal diatas, maka kita dapat berlanjut pada pemahaman bahwa isu utama yang muncul saat ini sebenarnya ada international organized crime. Contohnya, kasus Illegal Fishing. Jika kita telaah lebih dalam, banyak aspek kriminal lain yang tidak bisa dilepaskan dari illegal fishing seperti Human trafficking (perdagangan manusia), Slavery (Perbudakan), dan Narkoba. Kasus lain yang juga tergolong international organized crime dapat kita lihat pada kasus korupsi Setya Novanto. Investigasi kasus ini mencapai dua tahun dan kesulitan utama adalah melacak bukti pergerakan transaksi keuangan. Mereka menggunakan modus lama dengan istilah “hawala” milenial. Teknik hawala tersebut sudah berkembang sejak ribuan tahun lalu di Timur Tengah. Teknik ini adalah membawa uang dengan cara menitipkannya kepada kerabat dan dibawa manual (secara fisik). Salah satu hambatan dalam melakukan penyelidikan international organized crime adalah keterbatasan regulasi kita. Contoh kasus yang menunjukkan kelemahan hukum Indonesia di Internasional adalah Kasus Garuda Indonesia. Kasus ini memerlukan waktu investigasi 10 tahun di Inggris yang melalui mekanisme The Bribery Act. Maka demikian, pihak Inggris bisa mengejar kasus tersebut sampai ke Indonesia, tetapi tindakan yang sama tidak dapat berlaku sebaliknya. UU kita tidak mengakomodir urgensi kerjasama antar negara. Ini perlu dilakukan karena perlu ada sikap resiprokal di dunia Internasional.
Aspek lain yang perlu menjadi perhatian adalah kesadaran transparansi yang rendah pada sektor Institusi di Indonesia. Status quo menjadi bias akibat kekeliruan dalam penerapan strategi pembangunan. Strategi pembangunan Indonesia saat ini masih menggunakan teori klasik 1950an, sedangkan negara-negara maju telah menerapkan teori Endogeneous Growth yang berkembang sejak tahun 2000-an. Aspek kelembagaan adalah rule of the game dan ini tidak dimiliki Indonesia. Pelaku dari 59% korupsi di Indonesia tahun 2001 – 2015 berasal dari korporasi swasta yang disebabkan oleh pengadaan dan suap. Namun, regulasi tipikor di sektor korporasi swasta tidak diatur oleh UU Tipikor Indonesia sedangkan di negara-negara maju justru sangat ketat.
Selain itu, struktur pasar formal adalah orientasi ekonomi yang diterapkan di negara maju dengan landasan institusi formal yang kuat. Sedangkan pasar formal Indonesia hanya memegang peranan sebesar 20% dari total piramida fondasi ekonomi Indonesia. Sedangkan pasar informal masih memegang peranan 30%. Keduanya pun berdiri diatas landasan institusi yang tidak jelas dan lemah. Ini jelas sangat bergaya kolonialisme dan perlu direformasi. Salah satu contoh kecil dari reformasi institusi Indonesia adalah perlunya penerapan liability public officer di sektor-sektor pelayanan publik. Hal ini akan berdampak pada kepercayaan masyarakat pada institusi negara.
Lebih lanjut Rimawan mengatakan “kita perlu masuk berbagai sektor di SDA karena jika hanya di sawit maka ini sangat sayang sekali. Sebagai contoh disektor perikanan, syarat berat kotor kapal dibawah 30GT dapat diurus di daerah saja tanpa melalui KKP. Sedangkan diatas tonnase tersebut perijinan harus melalui KKP. Fakta di lapangan, kapal seberat 87GT bisa dikatakan hanya 19GT sehingga dapat lolos dari KKP. Konteks manipulasi yang sama juga terjadi potensial pada kasus HGU di sektor perkebunan sawit. Untuk itu, bila kita menginginkan Indonesia menjadi negara maju maka mereformasi hukum dan institusi tidaklah dapat dihindari. Reformasi yang dilakukan harus berangkat dari dua kata kunci yakni KEMAKMURAN & KEADILAN.
Maka demikian, lanjutnya, kita harus terus mendorong Pengarusutamaan Anti Korupsi. Salah satunya dengan pembangunan kualitas SDM pada aspek pendidikan dan kesehatan. Indonesia pun tertinggal dalam aspek pembangunan SDM ini ketika Malaysia sendiri 1970-an sudah menerapkan pemerataan. Sehingga perlu ada reformasi pada hukum konvensional untuk memahami hukum lainnya seperti hukum adat. Dengan demikian, reformasi di sektor hukum dan institusi Indonesia akan melahirkan peradaban kehidupan masyarakat yang maju, makmur, dan berkeadilan”.
Untuk itu, Edi Sutrisno mengatakan bahwa perlu dilakukan peningkatan kapasitas dan SDM termasuk untuk perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang ada ditingkat kabupaten. Hasil yang diharapkan adalah pemerataan pemahaman terhadap aspek pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka. Dengan demikian, akan tercipta advokasi yang baik di setiap daerah dan kesadaran akan pengelolaan potensi sumber daya alam yang sesuai dengan konsep pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.