12 September 2019 4 menit

Karpet Merah Mafia Sumber Daya Alam: Inisiatif Siapa?

Siaran Pers – Koalisi Masyarakat Sipil Anti Mafia SDA

Jakarta, Selasa, 10 September 2019 – Sejak Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat paripurna yang mengesahkan agenda revisi Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai inisiatif DPR pada Kamis, 6 September 2019, situasi gaduh yang lagi-lagi mempertanyakan eksistensi lembaga anti-korupsi Indonesia (KPK) kembali terjadi. Hal ini disebabkan karena pemerintah, bukannya secara tegas menolak, namun justru seolah-olah membentangkan karpet merah untuk mafia sumber daya alam (SDA) dengan memberi isyarat setuju terhadap beberapa poin revisi ini akan secara perlahan membunuh KPK, sehingga penjarahan SDA dapat melenggang dengan tenangnya di negeri ini.

Sudah jelas, selama ini, komisi antirasuah itu berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya, dalam hal membredel para koruptor di SDA. Terbukti KPK lebih getol. Berulang kali KPK menjebloskan para mafia dan koruptor ke penjara terkait korupsi perizinan hutan, kebun dan tambang. Setidaknya 17 kasus mafia SDA telah ditangani KPK, termasuk yang terakhir melibatkan mafia tambang dan partai politik pendukung revisi UU KPK.

Tak hanya itu, triliunan rupiah uang negara telah diselamatkan oleh KPK dalam kegiatan pencegahan korupsi di sektor SDA. Melalui program itu, tercatat peningkatan penerimaan negara dari tahun 2014-2017 hingga mencapai 33 triliun rupiah. Pada bulan Maret 2019, Presiden Joko Widodo bahkan pernah membanggakan indeks persepsi korupsi Indonesia yang terus membaik. “Di tahun 1998, kita negara terkorup di Asia. Indeksnya berada di angka 20. Di tahun 2014 angkanya sudah membaik, dan sekarang (2019) semakin membaik di angka 38, artinya ada perbaikan terus. Tidak mungkin kita ingin instan, langsung membaik,” kata Presiden dalam debat Capres 2019.

Gestur politik merevisi UU KPK sebenarnya mencurigakan. Dari manakah inisiatif ini berasal? Seperti pernyataan di atas, publik sering mendengar janji-janji politik dan kampanye Presiden Jokowi yang ingin memperkuat peranan KPK dalam pemberantasan korupsi. Tapi, faktanya tak seindah ucapan, justru Presiden tak tegas merespon revisi inisiatif DPR itu.

Bisa dipastikan, dengan membunuh KPK secara perlahan, agenda-agenda Pemerintahan Jokowi kedepan sulit diwujudkan. Bagaimana mungkin Presiden mampu mensejahterakan rakyat dan membangun SDM unggul bila korupsi masih merajalela. Pemberantasan korupsi yang nyata dan kuat adalah prasyarat utama untuk pembangunan SDM dan infrastruktur, percepatan reformasi birokrasi, peningkatan investasi dan penggunaan APBN tepat sasaran, seperti visi pemerintahan Jokowi lewat pidato kemenangannya di Sentul, Jawa Barat, bulan Juli 2019 lalu.

Melihat serangan DPR kepada KPK, sikap pasif Jokowi justru menimbulkan keraguan bagi rakyat atas komitmennya mensejahterakan rakyat. Terutama menimbang bahwa tata kelola pemerintah yang koruptif selama ini justru menguntungkan para mafia, terutama di sektor SDA.

Sebagai “Koalisi Masyarakat Sipil Anti-mafia Sumber Daya Alam”, kami melihat ada tiga sumber masalah yang membunuh KPK secara perlahan dan memberi keuntungan bagi para koruptor yang hobi mengeksploitasi SDA di negeri ini, antara lain:

Pertama, tidak semua nama hasil seleksi panitia seleksi calon pimpinan KPK tepat untuk menjadi figur kepemimpinan dalam pemberantasan korupsi. Faktanya, hasil seleksi justru mencakup nama-nama yang memiliki rekam jejak pelemahan terhadap gerakan anti korupsi – bahkan diragukan integritasnya. Padahal posisi pimpinan KPK adalah pemimpin sekaligus sumber kekuatan pemberantasan korupsi di sektor SDA yang seringkali dilatarbelakangi oleh aktor-aktor yang berkuasa.

Kedua, upaya mempreteli kewenangan KPK melalui poin-poin perubahan di UU KPK membuat independensi KPK rentan. Selama ini, kewenangan KPK terbukti berhasil menjerat koruptor pejabat publik dengan ragam modusnya. Independensi penyidikan dan penuntutan memberikan keleluasaan untuk penegakan hukum yang lebih berintegritas. Termasuk untuk mendorong putusan yang lebih mencerminkan keadilan – misalnya dengan pencabutan hak politik. Sementara itu, kewenangan upaya paksa yang tegas mengarahkan KPK untuk lebih berhati-hati dalam penanganan kasus. Keseluruhan itu membuat KPK memiliki netralitas terhadap kekuasaan di setiap rezim. Rezim yang dari masa ke masa memperkaya dirinya dengan korupsi di bidang sumber daya alam.

Ketiga, jika revisi UU KPK ini terwujud dengan menempatkan KPK di bawah koordinasi lembaga pemerintah, maka upaya pemberantasan korupsi tidak lagi dipandang sebagai prioritas nasional, tapi dipersempit menjadi sekedar bagian dari kerja pemerintah sehari-hari. Pada akhirnya, pelemahan KPK akan mengakibatkan kondisi rente ekonomi SDA yang semakin tergerus jauh dari kepentingan publik. Hal ini akan merugikan upaya pemberantasan korupsi, karena selama ini hanya KPK yang getol untuk mendiskusikan kerugian negara di sektor SDA dan kerusakan lingkungan hidup dalam upaya pemberantasan korupsinya.

Akhirnya, kita tidak boleh membiarkan itu terjadi, Presiden tak boleh membentangkan karpet merah untuk para koruptor dan mafia SDA. Presiden, Anda harus hentikan revisi Undang-Undang KPK!

Catatan: data-data korupsi dan penyelamatan uang negara di sektor SDA dapat dikutip dari laporan Nota Sintesis “Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan SDA” – https://www.kpk.go.id/images/pdf/LITBANG/Nota-Sintesis-Evaluasi-GNPSDA-KPK-2018-Final.pdf

Narahubung:
Prof Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar IPB)
Monica Tanuhandaru (Kemitraan): 081519027839
Nur Hidayati (Walhi): 081316101154
Edi Sutrisno (Transformasi untuk Keadilan-TuK): 087711246094
Eko Cahyono (Sajogyo Institute): 082312016658
Iqbal Damanik (Auriga Nusantara): 08114445026


TuK INDONESIA

Product Designer, Untitled

Scroll to Top