13 April 2020 5 menit
Virus Corona dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Hilangnya keanekaragaman hayati tak pernah dianggap sebagai kerugian negara sehingga tak masuk dalam kebijakan politik. Virus corona mesti jadi peringatan kita membuat rumus ekonomi.
Pada akhir 1880, hampir 90 persen daratan Indonesia tertutup hutan hujan alami, ketika hutan di negara-negara Asia lainnya, seperti India dan Bangladesh, berkurang secara signifikan. Saya tahu informasi ini dari Daniel Cleary dan Lyndon Devantier (2011) dalam publikasi mereka, Indonesia: Threats to the Country’s Biodiversity. Mereka menyebut kehilangan tutupan hutan Indonesia baru terjadi pada 1880 hingga 1980, sebanyak 25 persen.
Saat ini, lebih dari 50 persen tutupan hutan masih menyelimuti Indonesia, tetapi sebagian besar dari hutan itu telah terdegradasi. Hutan, seperti di lokasi-lokasi yang sebelumnya bukan hutan, atau hutan yang sangat terdegradasi, atau terdiri dari pertumbuhan hutan tanaman, sangat berbeda dengan hutan alam baik secara ekologi, biofisik maupun ekonomi. Semua jenis hutan lainnya bukan pula merupakan substitusi yang tepat untuk hilangnya hutan alam itu.
Untuk tingkat global, dalam How biodiversity loss is hurting our ability to combat pandemics, John Scott melaporkan bahwa dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 90 persen varietas tanaman telah menghilang. Tren itu telah mengurangi keanekaragaman hayati (kehati) secara langsung yang terkait dengan berkembangnya wabah atau faktor risiko kesehatan. Antara 1980 sampai 2013 tercatat 12.012 jenis wabah dengan menelan korban 44 juta kasus individu di berbagai negara di dunia.
Sejumlah faktor berkontribusi pada kenaikan wabah itu. Semakin tingginya perjalanan global, perdagangan dan konektivitas, kehidupan dengan kepadatan tinggi. Dari semua itu, dua berkurangnya kehati dan perubahan iklim faktor paling berpengaruh.
Ironisnya, laju deforestasi menjadi penyebab dua faktor tersebut, yang terus berlangsung di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, rute hilangnya hutan alam yang saling terkait adalah penebangan, kebakaran hutan, dan konversi hutan.
Walaupun bukti ilmiah menunjukkan bahwa tebang pilih tidak memiliki dampak buruk serius terhadap kerusakan keanekaragaman hayati, dari banyak studi efek sekunder dari penebangan itu sering kali berakibat lebih buruk. Yaitu terbukanya fasilitas masuknya pemburu, pertanian tebas bakar ataupun konversi besar-besaran untuk kebun dan tambang. Konflik pun tidak terhindarkan. Di situ muncul berbagai bentuk geng penebangan liar, bahkan memakai teror kepada penghuni kamp-kamp konsesi bila mengganggu kegiatan mereka (Kartodihardjo, 2015).
Dampak penebangan liar yang paling merugikan, yang biasanya tidak dipertimbangkan, adalah mengubah iklim mikro dan meningkatkan jumlah bahan yang mudah terbakar. Sehingga meningkatkan kemungkinan kebakaran di masa depan, yang jauh lebih buruk daripada kebakaran awal, baik dalam besaran, intensitas, kedalaman, waktu terbakar maupun kecepatan penyebaran api.
Hasil penelitian para ahli yang dilaporkan Cleary dan Devantier itu adalah musnahnya keanekaragaman hayati di Kalimantan akibat kebakaran sebanyak 100 spesies kupu-kupu. Kebakaran juga mengurangi genetika keanekaragaman spesies yang membuat spesies tersisa lebih rentan terhadap kepunahan, karena berkurangnya keseimbangan populasi.
Di Sumatera, penebangan hutan alam menyebabkan berkurangnya ragam spesies burung dan kelelawar, tetapi tidak memengaruhi kelimpahan atau kekayaan spesies primata, tupai, dan tikus hutan, kecuali hal itu terjadi pada konversi hutan untuk perkebunan.
Terputusnya rantai kehidupan dan rusaknya habitat satwa liar tersebut mendorong hewan liar lebih mendekati populasi manusia dan meningkatkan kemungkinan virus zoonosis, seperti Covid-19, membuat lompatan lintas spesies dan manusia menjadi inangnya. Dengan mempelajari fenomena alam seperti itu, semestinya kita perlu mengatasi krisis wabah ini bukan hanya dengan reaksi jangka pendek dengan tetap mempertahankan model politik, ekonomi dan institusional yang sama, yang akan membawa kita jatuh ke jurang lebih dalam kerusakan hayati.
Sebaliknya, kita perlu mengembangkan bentuk institusi yang memungkinkan jasa lingkungan itu berada di pusat pemikiran. Itu artinya kita perlu membenahi model sektoralisasi dan spesifikasi birokrasi yang saat ini, by design, lebih memperhatikan besaran input atau serapan anggaran sambil membatasi apa yang boleh dilihat melalui tugas pokok yang kaku. Atas dasar reduksi kerangka pikir itulah sifat-sifat keanekaragaman dari alam yang memang abstrak disederhanakan melalui narasi besar di bawah perlindungan politik negara, misalnya, berupa Rencana Jangka Menengah Pembangunan.
Mereduksi kompleksitas kehati menjadi komoditi ekonomi itu telah menghilangkan seluruh “jasa alam” dengan cara yang sah. Akibatnya, kehilangan jasa alam itu tidak pernah dianggap sebagai kerugian negara. Hal itu misalnya dapat dibaca dari definisi mengenai kerugian negara dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Di sana disebutkan bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya, sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 angka 15). Dalam praktiknya, jasa alam itu tidak dianggap sebagai “nyata dan pasti jumlahnya”. Ilmu pengetahuan di Indonesia masih dianggap dongeng tanpa kenyataan.
Sementara itu, dalam Nature: International weekly journal of science, Daniel Cressey menunjukkan hasil kajian para peneliti atas nilai “jasa ekosistem alam”, seperti penyerbukan tanaman dan penyerap karbon. Nilainya diperkirakan antara US$ 2 triliun hingga US$ 6 triliun per tahun. Jumlah itu memang bukan tagihan, melainkan investasi oleh modal alam untuk kehidupan manusia yang dihapus dalam sistem ekonomi yang sedang berjalan.
Maka, apabila kita tidak melakukan perubahan bagaimana sistem ekonomi bekerja, guncangan di masa depan akibat kerusakan keanekaragaman hayati mungkin bisa melebihi kapasitas pemerintah, lembaga keuangan, ataupun pihak-pihak lain untuk mencegahnya.
Kenyataan seperti itu direspon oleh The Club of Rome (2020) dalam laporannya bertajuk A Green Reboot After the Pandemic yang menyebut bahwa pandemi virus corona harus bisa sebagai “panggilan bangun” dan peringatan, bahwa penggundulan hutan, hilangnya kehati maupun perubahan iklim perlu menjadi bagian dari pemodelan pilihan sistem ekonomi.
Klub yang terkenal dengan laporannya, The Limits to Growth pada 1972 dan Beyond the Limits pada 1992, itu telah mengingatkan pada saat itu bahwa masa depan umat manusia akan ditentukan bukan oleh suatu keadaan darurat (seperti perang), tapi oleh banyak krisis yang terpisah, namun terkait dan berasal dari kegagalan hidup secara berkelanjutan.
Cirinya pemakaian sumber daya bumi lebih cepat dari yang dapat dipulihkan, serta dengan melepaskan limbah dan polutan lebih cepat daripada yang bisa diserap bumi. Pembaruan sistem ekonomi mestinya ditujukan untuk merespons hal-hal ini.
Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB
artikel ini pertama kali terbit di https://www.forestdigest.com/ dimuat ulang untuk tujuan pendidikan dan pengetahuan
Gambar ilustrasi orang yang memerangi virus, sumber: https://www.freepik.com/