30 Mei 2020 5 menit
Patut Diduga Turut Bertanggungjawab Dalam Kasus Kematian Marius Betera: PT Tunas Sawa Erma Harus Melakukan Pemulihan dan Pencegahan Terjadinya Pelanggaran HAM
Pada tanggal 16 Mei 2020, terjadi kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan seorang anggota kepolisian Republik Indonesia yang berinisial Brigadir Polisi Melkianus Yowei (MY) terhadap warga sipil Orang Asli Papua (OAP) bernama Marius Betera (MB), hingga korban MB merasakan kesakitan dan meninggal dunia setelah kejadian kekerasan. Kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan Brigadir Polisi MY tersebut terjadi di kantor perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma (TSE) POP (Plam Oil Plantation) Blok A atau sering disebut PT TSE POP A/ Camp 19, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. PT. TSE merupakan salah satu anak perusahaan PT Korindo Group. Perusahaan Korindo Group memiliki bisnis perkebunan kelapa sawit skala besar melalui 6 (enam) anak perusahaan dan dua perusahaan pembalakan hasil hutan kayu, serta satu perusahaan hutan tanaman industri, yang beroperasi di wilayah pemerintahan Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
Peristiwa kekerasan dan penganiayaan terhadap MB berawal ketika korban mendatangi kantor PT TSE POP A guna menanyakan dan melakukan klarifikasi terhadap penggusuran kebun pisang milik korban yang diduga dilakukan oleh PT. TSE POP A. Kronologi singkat diatas sudah dapat menunujukan adanya 2 (dua) peristiwa hukum yang terjadi, yaitu : 1. Melalui peristiwa hukum pengrusakan kebun pisang dan mengakibatkan MB kehilangan hak memanfaatkan hasil kebun menunjukan bukti dugaan Tindakan Pidana Pengrusakan sebagaimana diatur pada pasal 406 ayat (1) KUHP dan 2. Melalui peristiwa Hukum penganiayaan yang berujung matinya Melianus Batera menunjukan bukti dugaan Tindak Pidana Penganiyaan Berat sebagaimana diatur pada pasal 351 ayat (3) KUHP.
Terkait insiden tersebut, dalam rilisnya PT. Korindo Group menyatakan bahwa PT. Korindo Group akan melakukan langkah-langkah aktif dalam mengatur pemakaman korban; Bekerja sama dengan masyarakat dan pihak berwenang setempat untuk melakukan penyelidikan yang menyeluruh dan teliti untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi; Membentuk badan konsultatif multilateral di mana penduduk, pemerintah daerah, organisasi lokal, dan LSM akan berpartisipasi, serta bekerja sama dalam melakukan penyelidikan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan; membuka Saluran Penanganan Keluhan untuk kasus ini.1
Berkaitan dengan insiden meninggalnya korban MB, kami menilai bahwa secara jelas PT. TSE telah mengabaikan hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Prinsip-prinsip PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia yang menyatakan bahwa “perusahaan” harus menghormati hak asasi manusia, dan semaksimal mungkin harus menghindari melakukan tindakan-tindakan yang berdampak pada hak asasi manusia seperti dialami oleh korban MB. Sebagai perusahaan, PT. TSE terikat untuk mengacu dan menjadikan instrumen-instrumen
hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi dan berlaku di Indonesia. Termasuk instrument-instrumen dan protokol hak asasi manusia yang dibentuk Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) khususnya Konvensi ILO 169 tentang Hak Masyarakat Hukum Adat, yang secara jelas menyatakan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Insiden ini menunjukkan juga PT. TSE tidak konsisten menjalankan kebijakannya untuk perlindungan terhadap hak asasi manusia.2
Prinsip-prinsip PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia menyatakan bahwa tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia mewajibkan perusahaan untuk “menghindari menjadi penyebab atau berkontribusi pada dampak buruk akibat operasional bisnis mereka terhadap hak asasi manusia, dan harus berupaya untuk mencegah atau mengurangi dampak- dampak buruk yang terkait dengan kegiatan, produk atau jasa yang terjadi dalam hubungan bisnis mereka, meskipun perusahaan tidak berkontribusi langsung terhadap pelanggaran yang terjadi”, yang dalam hal ini kekerasan dan penganiayaan terhadap korban dilakukan seorang anggota polisi.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dan berpegang pada pernyataan rencana-rencana yang disiapkan PT. Korindo Group, maka kami mendesak kepada:
- Korindo Group segera memenuhi tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia. Perusahaan harus menerapkan kebijakan hak asasi manusia dalam seluruh organisasi perusahaannya, termasuk, namun tidak terbatas pada:
- Menjalankan sungguh-sungguh komitmen kebijakan untuk memenuhi tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi hak asasi manusia;
- Melakukan uji tuntas hak asasi manusia untuk mengenali, mencegah, mengurangi dan melaporkan bagaimana perusahaan menangani dampak-dampak kegiatan perusahaan terhadap hak asasi manusia-dalam hal ini di wilayah Kabupaten Merauke dan Boven Digoel, Provinsi Papua;
- Melakukan pemulihan atas kerugian yang dialami masyarakat adat dan masyarakat setempat, serta buruh (termasuk buruh harian lepas) di wilayah
- Korindo Group segera membentuk forum/badan konsultatif multilateral, harus melibatkan dan bekerjasama dengan masyarakat adat setempat, ahli-ahli hukum dan hak asasi manusia, akademisi, pemimpin agama dan ahli lainnya, organisasi masyarakat adat, organisasi buruh dan organisasi masyarakat sipil, untuk berpartisipasi dan bekerjasama dalam melakukan penyelidikan secara bebas atas kasus yang terjadi guna mencegah kejadian serupa dimasa depan, termasuk dalam menyikapi keluhan atas konflik di wilayah beroperasinya PT. Korindo Group;
- Kapolda Papua dan Kapolres Boven Digoel untuk segera usut tuntas dugaan tindakan Tindakan Pidana Pengrusakan sebagaimana diatur pada pasal 406 ayat (1) KUHP dan dugaan Tindak Pidana Penganiayaan Berat sebagaimana diatur pada pasal 351 ayat (3) KUHP yang terjadi, termasuk memeriksa keberadaan dan aktifitas PT. Korindo Group dan anak perusahaan yang beroperasi di wilayah pemerintahan provinsi Papua;
- Korindo Group untuk wajib melaksanakan Konvensi ILO No. 169, masyarakat adat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari eksploitasi wilayah adat dan sumber daya alamnya, serta berhak untuk memperoleh ganti rugi apabila terjadi kerugian akibat eksploitasi atas wilayah dan sumber daya alamnya.
Papua/Jakarta, 30 Mei 2020
Hormat kami pendukung dan penandatangan surat keterangan pers:
- Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke
- Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
- Greenpeace Indonesia
- TAPOL, UK
- PapuaItuKita
- Eksekutif Nasional Walhi
- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua
- LP3BH Manokwari
- Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM)
- Lembaga Advokasi Peduli Perempuan (ElAdpper)
- Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP)
- Rainforest Action Network (RAN)
- Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia
- Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua
Narahubung:
- Anselmus Amo, MSC (Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke) : HP. 0812 8777 8974
- Emanuel Gobay (Direktur LBH Papua): HP. +62 821-9950-7613
- Tigor G Hutapea (Yayasan Pusaka Bentala Rakyat): HP 0812 8729 6684
1 Lihat: https://korindonews.com/pernyataan-korindo-group/?lang=id
2 Lihat: https://www.tse.co.id/policy/