13 September 2020 5 menit

PETA BUTA BANK HIJAU

Sejumlah bank disorot karena mengucurkan dana kepada grup usaha yang mengancam kelestarian lingkungan. Sejumlah organisasi non-pemerintah menyorot lima bank besar.

Aisha Shaidra
Edisi : 12 September 2020

FORUM Koordinasi Keuangan Berkelanjutan semestinya diagendakan tiap tahun. Baru dua kali diselenggarakan, forum itu tak ada lagi sejak November 2017.

Wadah ini disediakan sebagai forum resmi lembaga pemerintahan, lembaga jasa keuangan, juga organisasi non-pemerintah yang berkecimpung di bidang lingkungan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. “Forum itu dibangun agar kebijakan terkoordinasi,” kata Edi Setijawan, Direktur Bidang Keuangan Berkelanjutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kamis, 10 September lalu.

Di antara peserta forum, ada delapan bank nasional yang menguasai 46 persen aset perbankan Indonesia. Kedelapan bank tersebut adalah Bank Artha Graha Internasional, Bank Rakyat Indonesia, Bank Rakyat Indonesia Syariah, Bank Central Asia, Bank Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank Negara Indonesia, serta Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten. Mereka tergabung dalam kelompok “The First Movers on Sustainable Banking”. Seiring dengan berjalannya waktu, First Movers bertransformasi menjadi Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia yang kini beranggotakan 13 bank.

Menurut Edi, pada 2018 sempat ada pertemuan untuk bertukar informasi tentang kebijakan serta kondisi di lapangan. Pertemuan tersebut melibatkan pemerintah, OJK, industri jasa keuangan, asosiasi, dan akademikus. Tapi pertemuan tak sampai berlanjut pada penyelenggaraan Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan (FKKB) lagi.

Edi tak tahu mengapa forum itu terhenti. Padahal forum seperti FKKB diperlukan karena tahap awal dalam peta jalan keuangan berkelanjutan telah selesai tahun lalu. Sejak akhir 2019 hingga pertengahan 2020, sejumlah bank sebenarnya mulai mengumpulkan laporan rencana kerja serta laporan berkelanjutan kepada OJK dan publik.

Seiring dengan masuknya laporan perbankan ke OJK tersebut, lima organisasi non-pemerintah menerbitkan laporan yang menyoroti peran sektor keuangan terhadap kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Laporan yang disusun Rainforest Action Network, Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Jikalahari, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Profundo itu mengevaluasi lima tahun peta jalan keuangan berkelanjutan yang dirilis OJK pada 2014 dan berakhir pada 2019.

Laporan memuat lima kasus pembiayaan bank bagi nasabah yang beroperasi di industri kehutanan dan perkebunan pada 2015-2019. Total sebanyak US$ 12 miliar—Rp 178,4 triliun dalam kurs saat ini—dikucurkan ke sejumlah grup usaha. Angka tersebut didasari evaluasi laporan keberlanjutan bank dan standar operasi nasabah, juga profil hubungan mereka dengan klien. Lima kasus yang ditinjau meliputi BNI dengan Grup Korindo, BCA dengan Grup Salim, BRI dengan Grup Sinar Mas, Bank Mandiri dengan Astra Agro Lestari, dan Maybank dengan Triputra.

Hasil studi menyebut BRI, Maybank, dan BNI sebagai tiga bank penyuntik dana individual terbesar. BRI mengguyurkan US$ 1,72 juta ke Provident Agro Group, Rajawali Group, Sampoerna Group, Sinar Mas Group, dan Sungai Budi Group. Sedangkan BNI mengucurkan US$ 1,057 juta ke Rajawali Group, Sinar Mas Group, dan Sungai Budi Group. BNI juga menjadi sumber pembiayaan Korindo dengan kredit sebesar US$ 190 juta pada 2017.

Selain itu, temuan pada 2016-April 2020 menunjukkan keterkaitan kuat sejumlah bank dengan korporasi yang terlibat dalam pembakaran hutan. Tiga di antaranya adalah BRI, BNI, dan Mandiri, yang merupakan pionir keuangan berkelanjutan. “Korporasi tidak akan bekerja kalau tidak ada pendanaan,” ujar Direktur Eksekutif TuK Indonesia Edi Sutrisno dalam diskusi “Bank Negara Pendana Karhutla Indonesia” pada Rabu, 2 September lalu.

Dalam wawancara pada Jumat, 11 September lalu, Edi mengatakan lembaga jasa keuangan sebenarnya memiliki peran besar dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan lewat pembiayaan berkelanjutan. Menurut dia, perusakan dan pembakaran hutan yang dilakukan korporasi dalam beberapa tahun terakhir bertolak belakang dengan prinsip keuangan berkelanjutan.

Situs Forestandfinance.org mengungkap aliran dana ke sektor-sektor komoditas yang memicu deforestasi dan degradasi lahan di Asia Tenggara, Afrika Tengah, Afrika Barat, serta Brasil. Menurut situs tersebut, BRI, BNI, serta raksasa keuangan asal Jepang, Mizuho Financial Group dan Mitsubishi UFJ Financial Group, mendanai industri yang “berisiko terhadap hutan”. Sebuah grup usaha di Indonesia yang bergerak dalam bisnis pulp dan sawit tercatat sebagai penerima pinjaman senilai US$ 19 miliar dalam lima tahun terakhir.

Tempo menghubungi sejumlah kreditor untuk mengkonfirmasi penggunaan dana tersebut. Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto sempat membalas pesan Tempo. “Minta waktu jawabnya, ya,” ucap Aestika pada Selasa, 8 September lalu. Setelah itu, panggilan telepon dan pesan pendek yang dikirim tak lagi direspons. Demikian halnya dengan pesan dan panggilan telepon kepada Bank Mandiri.

Adapun Sekretaris Perusahaan BNI Meiliana menyebutkan pihaknya memberikan pembiayaan kepada debitor dengan menganut prinsip kehati-hatian dan harus sesuai dengan aturan eksternal serta kebijakan internal bank, seperti kepatuhan terhadap prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola. “Apabila ditemukan pelanggaran, BNI akan melakukan verifikasi untuk meminimalkan pemberian kredit yang tidak patuh pada peraturan yang berlaku,” katanya.

Edi Setijawan dari OJK yakin pelan-pelan perbankan bisa mengetatkan aturan mengenai pendanaan bank terhadap korporasi yang berpotensi merusak lingkungan. “Harus dilihat kasus per kasus. Perlahan mereka sudah melakukan perbaikan. Ada kemungkinan mereka mulai mengerem untuk meninjau kembali. Bank-bank enggak mau ambil risiko,” tuturnya.

Menurut guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, bank harus menjamin pembiayaan yang dikucurkan tak digunakan perusahaan untuk usaha yang bisa merusak lingkungan dan tatanan sosial. Meski bank telah melaporkan pembiayaan berkelanjutannya kepada OJK, sanksi bagi mereka yang kedapatan mengucurkan kredit ke perusahaan bermasalah masih lemah. “Hanya sanksi teguran dan administrasi,” ujar Hariadi.

OJK sebenarnya sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan tahap kedua. Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan peta jalan lanjutan ini menggunakan pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. “Harapannya, inisiatif keuangan berkelanjutan menjadi arus utama dalam setiap aktivitas pelaksanaan sektor jasa keuangan.” Tapi Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan tetap belum jelas kelanjutannya.

OJK sebenarnya sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan tahap kedua. Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan peta jalan lanjutan ini menggunakan pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. “Harapannya, inisiatif keuangan berkelanjutan menjadi arus utama dalam setiap aktivitas pelaksanaan sektor jasa keuangan.” Tapi Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan tetap belum jelas kelanjutannya.

OJK sebenarnya sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan tahap kedua. Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan peta jalan lanjutan ini menggunakan pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. “Harapannya, inisiatif keuangan berkelanjutan menjadi arus utama dalam setiap aktivitas pelaksanaan sektor jasa keuangan.” Tapi Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan tetap belum jelas kelanjutannya.

 

sumber: majalah.tempo.co/read/laporan-utama/161412/apa-itu-pembiayaan-berkelanjutan-dan-mengapa-bank-harus-peduli


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top