8 Februari 2023 4 menit
Kepatuhan Bank dalam Pengungkapan Aspek Lingkungan Masih Rendah
Jakarta, 8 Februari 2023. Evaluasi keuangan berkelanjutan 37 Bank oleh TuK INDONESIA menemukan bahwa lingkungan merupakan aspek yang paling rendah diungkapkan berdasarkan pedoman POJK 51/2017. Rendahnya pengungkapan ini menunjukkan dua hal. Pertama, ketidaktahuan Bank karena pengetahuan dan wawasan terhadap lingkungan rendah. Kedua, Bank memang tidak menjalankan aspek lingkungan.
Evaluasi keuangan berkelanjutan yang dilakukan TuK INDONESIA bersama Trisakti Sustainability Center terhadap 37 Bank KBMI III, KBMI IV, dan asing tahun BUKU 2019-2021 bertujuan untuk mengetahui sejauh mana bank menerapkan kepatuhan terhadap peraturan POJK 51/2017. Hasil analisis menunjukkan bahwa aspek sosial dan ekonomi merupakan aspek yang mendominasi pada setiap periode analisis. Pada Bank KBMI III dan IV pengungkapan paling tinggi yaitu aspek sosial dimana setiap tahunnya meningkat. Sementara pengungkapan Bank asing paling tinggi di aspek ekonomi. Dan, dari setiap kategori Bank pengungkapan aspek lingkungan menjadi yang terendah, meskipun setiap tahunnya telah menunjukkan adanya kenaikan.
Temuan lainnya terkait pengungkapan nilai 12 Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KKUB) dari 37 Bank tahun 2019-2021 dengan total sebesar Rp 62.054 miliar. Total KKUB ini mengalami kenaikan sejak 2019 hingga 2021 dan pengungkapannya didominasi oleh Bank KBMI III. Hal tersebut diduga karena terjadi merger (penggabungan) 3 Bank syariah, yaitu Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia. Peningkatan nilai KKUB tersebut juga menunjukkan awareness Bank akan roadmap keuangan berkelanjutan OJK semakin bertumbuh. Meskipun demikian, temuan kontrasnya adalah 4 Bank teratas di Indonesia yaitu BNI, BRI, Mandiri, dan BCA masih banyak menyalurkan pembiayaan pada sektor yang merisikokan hutan seperti sektor perkebunan sawit dan pulp and paper. BRI misalnya, pada 2021 portofolio pembiayaan UMKM sebesar Rp 543 juta, dan di tahun yang sama utang dan penjaminan diberikan kepada pulp and paper jauh lebih besar yaitu 1.401 juta dolar AS atau Rp 19,6 triliun.
Ahli Sustainable Finance, Rahmawati Retno Winarni, mengungkapkan bahwa dalam Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan, memang pembiayaan UMKM masuk ke dalam bagian keuangan berkelanjutan. Padahal, pembiayaan UMKM masih belum melihat dampak lingkungan, sehingga tidak bisa otomatis memasukannya sebagai pembiayaan berkelanjutan. Secara normatif, pembiayaan atas UMKM memang bisa mengurangi kesenjangan, namun sangat perlu dibandingkan dengan proporsi pembiayaan terhadap usaha berskala besar. Pembiayaan aspek lingkungan, ternyata sangat sedikit dibandingkan dengan keseluruhan yang di klaim Bank, padahal masalah lingkungan dan sosial di Indonesia sangatlah besar dan beragam. “Temuan TuK INDONESIA ini menunjukkan hanya 0,8-0,9% dari pembiayaan yang diklaim berkelanjutan, maka di atas 99% pembiayaan di Indonesia bisa dikatakan tidak berkelanjutan, atau setidaknya agnostic terhadap keberlanjutan”, lanjut Rahmawati.
Linda Rosalina, Kepala Kampanye dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA, menyampaikan bahwa secara prosedural perbankan telah memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam POJK 51/2017 seperti disusunnya laporan keberlanjutan. Namun secara kualitas pengungkapannya masih buruk, sebab bank gagal mengungkapkan fakta-fakta materialitas ke dalam laporan keberlanjutannya.
“Selama ini, kelemahan praktik keuangan berkelanjutan salah satunya terletak pada kesadaran dan ketidakpahaman proses bisnis sektoral oleh Perbankan. Peningkatan kapasitas dalam membangun kesadaran dan pemahaman bahwa keberlanjutan bukanlah sebuah biaya menjadi hal yang dibutuhkan. Sebab kepedulian terhadap isu keberlanjutan justru akan menjadi daya saing tersendiri bagi perusahaan dan berpotensi untuk perusahaan tumbuh lebih besar di tengah tuntutan pasar akan keberlanjutan semakin tinggi”, ungkap Linda.
Sonny Keraf, Menteri Lingkungan Hidup periode 1999-2001, menjelaskan bahwa belum efektifnya implementasi keuangan berkelanjutan dikarenakan tiga hal. Pertama, orientasi Negara masih pada ekonomi pertumbuhan yang tercermin di dalam keputusan pembiayaan Bank yang mengutamakan keuntungan dibandingkan kinerja Environmental, Social, and Governance (ESG). Kedua, tidak ada kekuatan yang memaksa soal perhatian perbankan dan Lembaga Jasa Keuangan terhadap ESG. Ketiga, penegakan hukum lingkungan yang tidak efektif. Atas situasi tersebut, Keraf menawarkan kedepan adalah seluruh komponen masyarakat mengambil langkah untuk memperkuat peran OJK dalam mengawal seluruh implementasi kebijakan keuangan berkelanjutan. Dengan catatan, OJK juga harus membuka diri untuk memperkuat perannya dengan melibatkan masyarakat sipil seperti terlibat di dalam Kelompok Kerja Keuangan Berkelanjutan dalam memastikan konsistensi implementasi keuangan berkelanjutan.
Dari hasil evaluasi keuangan berkelanjutan, TuK INDONESIA merekomendasikan beberapa hal. Pertama, OJK perlu melakukan revisi Pedoman Teknis bagi Bank atas implementasinya untuk memperjelas bahwa pengungkapan oleh bank harus fokus pada seluruh dampak ESG dari pembiayaan yang diberikan untuk membiayai kegiatan operasional nasabah di tingkat grup perusahaan. Kedua, melakukan revisi POJK No. 18/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan memasukkan pasal tentang pengelolaan risiko ESG. Ketiga, perlu juga dibentuk multi-stakeholder forum yang mengutamakan partisipasi pemangku kepentingan yang selama ini kurang terwakili namun terkena dampak negatif eksploitasi sumber daya alam.
***
Narahubung:
- Kepala Kampanye dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA, Linda Rosalina ([email protected], 081219427257)
- Menteri Lingkungan Hidup periode 1999-2001, Dr. A. Sonny Keraf ([email protected])
- Ahli Sustainable Finance, Rahmawati Retno Winarni ([email protected])
Materi narasumber terdapat pada tautan berikut: Evaluasi_Keuangan_Berkelanjutan_LR_rev_compressed