Publikasi

MEMBIAYAI HANCURNYA KEANEKARAGAMAN HAYATI 2023

Bank-bank di Indonesia merupakan bank terbesar di Asia Tenggara dan menjadi kreditor yang merisikokan hutan terbesar di Indonesia.

Bank-bank ini menempati peringkat1 pertama, ketiga, keenam dan kedua belas terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar (Juni 2023). Data F&F menunjukkan bahwa bank-bank di Indonesia menyediakan pembiayaan sekitar USD30,5 miliar (40%) dari total kredit bagi perusahaan kelapa sawit, pulp & kertas, karet dan kayu yang beroperasi di Indonesia. Empat dari lima kreditor terbesar yang merisikokan hutan itu adalah bank-bank Indonesia. Investor institusional di Indonesia relatif lebih sedikit menyediakan pembiayaan komoditas yang merisikokan hutan.

Kebijakan terkait lingkungan, sosial dan tata kelola (LST atau “ESG”) masih tertinggal

Penilaian F&F terhadap kebijakan perbankan tahun2023 menunjukkan bahwa bank-bank di Indonesiamasih tertinggal dibandingkan bank-bank lain di kawasan yang sama dalam memitigasi risiko ESG dari sektor-sektor yang merisikokan hutan terutama kelapa sawit dan bubur kertas&kertas (pulp and paper); seperti: deforestasi, pelanggaran HAM dan ketenagakerjaan serta emisi gas rumah kaca dari perubahan penggunaan lahan. Bank-bank yang berasal dari Malaysia, Singapura dan Jepang barubaru ini telah mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan standar internasional No Deforestation, No Peat, No Exploitation (“NDPE”). Namun, belum ada satu pun dari lima bank terbesar di Indonesia itu yang mengadopsinya.

Penerapan NDPE pada bank-bank dengan pengendali saham asing

Beberapa kreditur penting yang merisikokan hutan dari Malaysia, Singapura dan Jepang merupakan pemegang saham pengendali di bank-bank di Indonesia. Komitmen NDPE ini berada pada tingkat grup perusahaan dan seharusnya dipatuhi juga sebagai syarat pembiayaan yang ditujukan bagi nasabah non-NDPE mereka. Namun, implementasi komitmen ini sering kali tidak jelas.

Sektor Keuangan belum membahas risiko terkait perusahaan bayangan

Salah satu pendorong terbesar deforestasi yang sedang berlangsung di Indonesia adalah bisnis ‘perusahaan bayangan’ yang berada di bawah kendali yang sama dengan grup-grup perusahaan produsen terbesar di sini. Bank kemungkinan besar terpapar dampak dari perusahaan bayangan ini; sementara, mereka juga belum mampu mempublikasikan kebijakan yang mensyaratkan para nasabah untuk menerapkan kebijakan yang sama di seluruh entitas grup perusahaan mereka.

Perbankan dituntut untuk mengungkapkan risiko iklim

Emisi Pertanian, Kehutanan dan Tata Guna Lahan (“AFOLU”) merupakan penyumbang terbesar emisi nasional Indonesia secara keseluruhan. Pembiayaan sektor-sektor padat karbon seperti kelapa sawit dan pulp & paper adalah perwujudan dari risiko iklim yang besar bagi sektor perbankan Indonesia. BRI menjadi bank Indonesia pertama yang menyiapkan laporannya sesuai dengan kerangka Satuan Tugas Pengungkapan Keuangan Terkait Iklim (Task Force on Climate related Financial Disclosure/”TCFD”), yang menyoroti kelapa sawit dan pulp & kertas sebagai sektor yang merisikokan iklim. Meskipun pengungkapan ini merupakan langkah maju yang positif, kebijakan mitigasi risiko BRI tidak mengatasi penyebab utama emisinya, yaitu: deforestasi, konversi lahan gambut, serta subsidensi dan kebakaran yang sedang berlangsung.

Pelemahan Taksonomi

Regulator keuangan Indonesia, OJK; telah mengusulkan perubahan pada Taksonomi Hijau Indonesia yang akan menghapus kategori ‘tidak berkelanjutan’, yang berarti semua kegiatan bersifat ‘hijau/berkelanjutan’ atau ‘kegiatan transisi’. Hal ini kemungkinan besar akan menciptakan ketidakpastian bagi pasar keuangan dan risiko investasi pada asetaset terdampar, sektor-sektor bisnis yang telah usang hingga menjadi karbon lock-in tinggi dan membuat transisi di masa depan menjadi lebih sulit dan mahal.

Celah pada UMKM

Pedoman OJK membuat bank dapat melaporkan pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) mereka secara otomatis sebagai pembiayaan ‘berkelanjutan’; tanpa kriteria lingkungan tambahan apa pun. Kategori ini dapat mencakup, misalnya, perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan omzet tahunan hingga Rp 50 miliar (US$ 3,2 juta). Pembiayaan UMKM mewakili proporsi terbesar pembiayaan ‘berkelanjutan’ di sektor perbankan Indonesia, sehingga mengandung risiko bawaan dari nasabah UMKM tersebut berupa deforestasi dan dampak buruk lainnya.

Pratinjau ini dikutip dari publikasi Banking on Biodiversity Collapse 2023 Indonesian Edition. Klik link untuk mengunduh dokumen penuh.