29 Agustus 2024 2 menit
Laporan Penelitian: Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Akibat Paparan PM10 , PM2.5 , dan SO2 Pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota
Pesatnya pembangunan industri pertambangan Nikel di Indonesia, terutama di Kabupaten Morowali, menghadirkan tantangan serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. TuK INDONESIA (Transformasi untuk Keadilan Indonesia) sebagai lembaga yang berkomitmen pada keadilan sosial dan lingkungan, memandang isu ini sebagai salah satu fokus utama. Oleh karena itu, dukungan kami terhadap studi “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” menjadi sangat relevan dan penting untuk diperhatikan oleh berbagai pemangku kepentingan, terutama yang terlibat dalam sektor pertambangan dan perlindungan lingkungan hidup.
Kegiatan pertambangan Nikel pada dasarnya berpotensi menurunkan kualitas lingkungan, salah satunya adalah peningkatan konsentrasi partikulat dan sulfur dioksida (SO2) di udara. Partikulat (PM10, PM2.5) dan SO2 merupakan emisi langsung dari berbagai aktivitas pertambangan nikel, dan telah terbukti memberikan dampak yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat di sekitar wilayah operasi tambang. Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan dalam buku ini, rata-rata konsentrasi PM10, PM2.5, dan SO2 di Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota telah melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah, mencerminkan adanya risiko kesehatan yang serius bagi penduduk setempat.
Penelitian ini menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan untuk menilai dampak paparan jangka panjang terhadap PM10, PM2.5, dan SO2 pada kesehatan masyarakat. Salah satu temuan kunci adalah bahwa proyeksi intake polutan menunjukkan bahwa rata-rata responden telah melewati batas rekomendasi nilai RfC (Reference Concentration) setelah 10 tahun paparan, mengindikasikan adanya potensi risiko kesehatan yang tinggi. Selain itu, asupan maksimum PM10 dan SO2 mencapai 0.023212 mg/kg/hari dan 0.061579 mg/kg/hari, yang secara signifikan melampaui batas aman, menegaskan perlunya segera kebijakan pengendalian pencemaran udara di wilayah tersebut.
Lebih lanjut, karakterisasi risiko menunjukkan bahwa terdapat beberapa responden nilai RQ (Risk Quotient) lebih dari 1, yang menandakan adanya risiko kesehatan yang nyata dan tidak bisa diabaikan. Dampak yang paling umum adalah gangguan pernapasan seperti ISPA, asma, dan bahkan potensi terjadinya penyakit paru-paru obstruktif kronis (PPOK). Kondisi ini diperparah dengan temuan bahwa fasilitas kesehatan lokal seperti Puskesmas belum memadai untuk menangani peningkatan kasus-kasus ini, memperlihatkan kesenjangan serius dalam infrastruktur kesehatan di daerah yang terdampak.
Buku ini juga menyoroti pentingnya monitoring dan evaluasi yang konsisten terhadap emisi polutan dari aktivitas pertambangan. Temuan bahwa monitoring seringkali tidak dilaksanakan secara rutin, melainkan hanya sewaktu-waktu, menunjukkan adanya kelemahan dalam penegakan regulasi. Hal ini mengarah pada perlunya reformasi dalam pengawasan lingkungan, terutama dalam pemantauan kualitas udara dan penegakan sanksi bagi pelanggaran.