24 Januari 2025 4 menit

Janji Hijau, Realita Kelam: Mengungkap Kredit Kotor di Indonesia

Siaran Pers

Jakarta, 23 Januari 2025 — Di balik komitmen besar Indonesia terhadap pembangunan berkelanjutan, realitas di lapangan memperlihatkan gambaran yang jauh dari harapan. Dalam diskusi bertajuk “Membangun Masa Depan Berkelanjutan: Kemajuan Bank dalam Pembiayaan Hijau di Indonesia” yang diinisiasi oleh Responsi Bank dan diselenggarakan di Hotel Ashley, Tanah Abang, TuK INDONESIA memaparkan temuan yang menyoroti ketidakkonsistenan kebijakan hijau dalam praktik perbankan. Kegiatan ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), serta menjadi wadah untuk menyampaikan hasil penilaian kebijakan pembiayaan beberapa bank dengan mempertimbangkan berbagai tema terkait keberlanjutan.

Transformasi menuju pembangunan berkelanjutan yang diharapkan pasca Perjanjian Iklim Paris masih menghadapi tantangan besar. TuK INDONESIA menemukan bahwa kebijakan normatif yang progresif justru berbanding terbalik dengan realitas di lapangan. Masifnya pembiayaan sektor sumber daya alam yang merisikokan hutan, seperti deforestasi, menjadi bukti nyata dari inkonsistensi tersebut. Berdasarkan laporan Bank on Biodiversity Collapse (BoBC) 2024, pasca Perjanjian Iklim Paris 2016-Juni 2024, hampir Rp 1300 triliun mengalir kredit yang merisikokan hutan. Mayoritas dana tersebut mengalir ke industri kelapa sawit dan pulp & paper, yang dikenal memiliki jejak ekologis dan sosial yang signifikan.

Bank-bank besar di Indonesia menjadi pemain utama dalam aliran pembiayaan ini. Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BCA tercatat sebagai kreditor teratas yang memberikan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan besar di sektor tersebut. Perusahaan seperti Sinar Mas yang dikendalikan keluarga Widjaja dan Royal Golden Eagle yang dikendalikan oleh Sukanto Tanoto menjadi penerima manfaat utama dengan kredit masing-masing Rp 525 triliun dan Rp 126 triliun. Besarnya kredit yang diterima berbanding lurus dengan luasnya lahan yang mereka kuasai.  “Kenyataan ini menunjukkan betapa mendesaknya peran perbankan dalam mendorong transformasi menuju ekonomi berkelanjutan. Tanpa komitmen yang tegas dari sektor keuangan, risiko deforestasi dan krisis iklim akan terus meningkat,” ujar Linda Rosalina, Direktur TuK INDONESIA.

Ironisnya, Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI), yang seharusnya menjadi pedoman untuk mendorong pembiayaan berkelanjutan, justru menunjukkan kelemahan mendasar. Penghapusan kategori merah—yang seharusnya menandai aktivitas berisiko tinggi—menjadi tanda kemunduran serius. Hal ini diibaratkan seperti lampu lalu lintas tanpa lampu merah, yang mengakibatkan kebingungan dan potensi kekacauan dalam penilaian risiko pembiayaan. Sektor AFOLU (Agriculture, Forestry, and Other Land Use), misalnya, kini cukup mencantumkan sertifikasi keberlanjutan seperti RSPO untuk diklasifikasikan sebagai hijau. 

Namun, temuan TuK INDONESIA menunjukkan bahwa sertifikasi ini sering kali tidak mencerminkan realitas lapangan. Masih banyak perusahaan bersertifikasi yang terbukti melanggar hukum dan beroperasi secara ilegal. “Bagaimana kita bisa menjamin keberlanjutan jika secara administrasi saja banyak yang tidak memenuhi prasyarat dasar? OJK harus kembali mengedukasi dan menyosialisasikan taksonomi hijau ini agar kekurangan tidak menjadi kemunduran,” ujar Linda.

Persoalan ini tidak hanya berhenti pada angka statistik. Kebijakan hijau yang longgar seperti ini mengabaikan keberpihakan terhadap masyarakat terdampak dan lingkungan. Perusahaan yang menerima kredit dan terbukti melakukan pelanggaran HAM, misalnya, seharusnya dikategorikan sebagai “merah” atau tidak layak mendapatkan pembiayaan. Namun, hingga kini belum ada ketentuan tegas yang mengatur hal ini. Tanpa kategori yang jelas, sulit untuk memastikan bahwa pendanaan tidak mengalir ke tangan pelaku pelanggaran.

TuK INDONESIA juga menyoroti peran Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang tidak cukup hanya menyusun laporan keberlanjutan. Mereka harus menerapkan delapan prinsip keberlanjutan secara konsisten, transparan, dan akuntabel. Kebijakan yang dibuat perlu diuji secara berkala agar dapat berjalan maksimal. Selain itu, ruang pengaduan harus terus dibuka untuk memastikan suara masyarakat terdampak didengar, terutama karena Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi global.

Sebagai bentuk komitmen nyata, TuK INDONESIA tidak hanya berhenti pada kritik. Saat ini, mereka tengah menggugat Bank Mandiri atas pembiayaannya yang mengalir ke perusahaan seperti Astra Agro Lestari dan PT Agro Nusa Abadi, yang memiliki rekam jejak buruk dalam pengelolaan lingkungan. Gugatan ini menjadi simbol perlawanan terhadap praktik pendanaan yang tidak bertanggung jawab. “Kebijakan hijau tanpa implementasi yang nyata hanya akan menjadi janji kosong. Bank dan perusahaan harus bertanggung jawab atas dampak yang mereka timbulkan. Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memimpin dalam pembiayaan berkelanjutan, tetapi ini hanya akan tercapai jika kita bersikap tegas terhadap pelanggaran,” ujar Linda.

Melalui langkah ini, TuK INDONESIA berharap pemerintah, otoritas keuangan, dan pemangku kepentingan lainnya dapat bersinergi untuk menciptakan kebijakan yang tidak hanya ambisius, tetapi juga memiliki dampak nyata di lapangan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Annisa (087884446640 / [email protected]


Hambali Hamdan

IT & Knowledge Manager

Scroll to Top