8 September 2013 8 menit
Diskusi Terbatas: Wacana Keberlanjutan dan Substansi Persyaratan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam Konteks Industri Kelapa Sawit (Putaran I)
Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan devisa negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara lestari.
Peraturan Menteri Pertanian terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah keputusan peraturan tentang ISPO. Kedua berisi tentang pedoman perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Ketiga adalah dokumen persyaratan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia dan peraturan pendukungnya.
Peraturan tentang ISPO terdiri dari lima pasal tetapi pasal kelima lebih merupakan ketentuan penutup. Pasal 1 Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) seperti tercantum pada Lampiran sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.
Pasal 2 Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, sebagai dasar dalam mendorong usaha perkebunan kelapa sawit memenuhi kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan, melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar.
Pasal 3 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan ini.
Pasal 4 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Kelas I, Kelas II, atau Kelas III sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 belum mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat ISPO, dikenakan sanksi penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV.
Dari pendahuluan di atas, TuK INDONESIA memandang perlu untuk meletakan kembali persoalan industri sawit kontemporer dalam tujuh aspek yang terkait satu sama lain.
Ketujuh aspek tersebut adalah hak asasi manusia, hak atas tanah, hak atas pemulihan (remedies), hak atas pangan, hak atas FPIC/KBDD, resolusi konflik, dan sumber (legalitas) TBS (Tandan Buah Segar) sah.
- Hak Asasi Manusia
Merupakan hal mendasar yang semestinya menjadi esensi dan semangat dalam segala cita-cita dan sasaran pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya dan lingkungan hidup di Indonesia sesuai dengan semangat konstitusi Indonesia.
- Hak Atas Tanah
Merupakan persoalan dan tunggakan masalah mendasar bagi kehidupan dan sumber mayoritas penduduk Indonesia yang masih dominan budaya agraris. Negara diberikan mandat oleh konstitusi untuk memanfaatkan bumi dan air dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bahkan, secara tegas Pasal 28G Konstitusi menyatakan (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi).
- Hak Atas Pemulihan
Kasus pelanggaran hak dan perampasan tanah, penolakan sawit dibalas kekerasan dan penyiksaan, penggusuran paksa, kemitraan yang buruk dan keterlibatan aparat keamanan dan pengamanan swasta adalah sejumlah cerita dimana masyarakat korban belum diberikan dan mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. Sebelum dibatalkan, Pasal 21 dan 47 UU Perkebunan disiapkan untuk memenjarakan rakyat petani dan masyarakat adat yang memperjuangkan hak mereka. Tetapi pada saat dicabut, hak mereka yang sudah terlanjur menjadi korban kriminalisasi tidak pernah dipulihkan dan tetap tidak mendapatkan hak mereka sebagai warga negara. Dalam perspektif HAM, semestinya semua aktifitas yang berdampak buruk dan melanggar hak masyarakat harus diupayakan langkah nyata untuk menghentikan, menyelesaikan persoalan dan tunggakan masalah masa lalu dan memperbaiki praktek yang ada serta mencegah terulangnya kembali praktek-praktek perkebunan kelapa sawit yang melanggar hak dan kehidupan masyarakat. Moratorium merupakan momentum yang baik untuk melaksanakan agenda pemulihan hak masyarakat korban di Indonesia.
- Hak Atas Pangan
Merupakan wacana yang bergulir dalam ragam yang unik, tergantung dimana dan oleh siapa isu tersebut dibahas. Dalam sudut pandang pemerintah, gagasan, konsep dan implementasi hak atas pangan seringkali muncul hanya dalam perspektif ketahanan pangan saja. Di sisi lain, gerakan petani dan masyarakat adat menafsirkan memandang ketahanan pangan saja tidak cukup jika tidak disertai jaminan perlindungan atas kendali sumber dan alat produksi pangan terutama benih dan tanah oleh rakyat. Seharusnya kedua konsep tersebut dapat diletakkan sebagai dua pendekatan dari sisi yang berbeda dan saling mendukung satu sama lain. Idealnya, ketahanan pangan adalah kewajiban negara dan tanggung jawab sektor swasta sekaligus atas dampak proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat yang telah dan terlanjur menyerahkan seluruh tanah mereka untuk perkebunan kelapa sawit baik inti maupun plasma. Gagasan dan konsep ideal kedaulatan pangan, disisi lain, seharusnya diwujudkan oleh pemerintah dan Negara bagi wilayah-wilayah yang belum beralih menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan secara de facto telah dikuasai oleh rakyat secara turun-temurun.
- Hak Atas FPIC/KBDD
Merupakan prinsip dan konsep hak masyarakat adat untuk menyatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ terhadap proyek pembangunan yang akan dan berpotensi berdampak terhadap tanah dan sumber penghidupan mereka melalui sistem dan perwakilan yang mereka tentukan sendiri tanpa paksaan. Dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit khususnya pembebasan lahan, masih banyak terjadi manipulasi informasi dan intimidasi, praktek pemaksaan dan premanisme, pecah belah tokoh adat dan adu domba sesama anggota masyarakat.
Kualitas partisipasi dan pengambilan keputusan penting terkait dengan rencana mitigasi dan pengelolaan dampak perkebunan kelapa sawit tanpa disertai dengan AMDAL yang baik dan benar, kajian dampak lingkungan dan sosial serta kajian keberadaan nilai konservasi tinggi (NKT). Seharusnya ada salinan dan informasi atas semua dokumen-dokumen terkait dengan pelaksanaan dan penerapan peraturan dan undang-undang dalam bentuk dan bahasa yang dipahami dan dimengerti oleh masyarakat terkena dampak. Situasi semacam ini semakin rumit apabila pemerintah dan pelaku usaha perkebunan tidak mendorong proses pendataan dan penataan hak milik formal dan informal secara terbuka dan bertanggung jawab tanpa proses partisipatif yang benar dan faktual objektif seperti pemetaan partisipatif bersama masyarakat.
- Resolusi Konflik
Adalah bagian yang krusial dan mendesak dalam mendorong industri sawit Indonesia yang berkelanjutan, bertanggung jawab, demokratis, dan berkeadilan. Kendala utama resolusi konflik di Indonesia bisa dijabarkan dalam beberapa perspektif yakni korupsi, kolusi dan tata kelola pemerintah buruk, budaya bisnis lemah dan buruk, budaya korupsi dan kolusi, benturan budaya dan pemaksaan sistem budidaya industri pertanian terhadap sistem lokal, dll.
Dari sekian banyak persoalan dalam mendorong prinsip dan resolusi konflik yang berkeadilan, TuK INDONESIA memandang enam pertanyaan pokok yang harus digali dan dijawab secara kritis dalam konteks ISPO di Indonesia. Pertanyaan tersebut diantaranya:
- Apa saja masalah dan tantangan utama dalam mendorong resolusi konflik dalam perkebunan kelapa sawit?
- Apakah peraturan dan kelembagaan yang ada sudah efektif untuk penyelesaian kasus pertanahan dalam perkebunan kelapa sawit?
- Apakah mekanisme dan proses penyelesaian sengketa pertanahan dalam perkebunan kelapa sawit sudah efektif dan memuaskan?
- Apakah ISPO menyediakan mekanisme dan proses, mandat dan sumber daya yang dibutuhkan dalam resolusi konflik perkebunan kelapa sawit?
- Mengapa ISPO diperlukan dalam mendorong resolusi konflik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan?
- Bagaimana ISPO bisa meningkatkan kepercayaan dan tanggung jawab dalam mendorong resolusi konflik perkebunan kelapa sawit?
- Sumber (Legalitas) TBS yang Sah
Merupakan wacana yang telah bergulir sejak lama akibat keluhan petani sawit. Sah atau tidaknya buah sawit yang diproses dan diolah oleh pabrik bisa dilacak mulai dari aspek peraturan perizinan berdasarkan Permentan 26/2007, Permentan 14/2009, dan Permentan apakah buah berasal dari lahan sengketa, kebun yang dipanen ditanam dipinggir sungai, atau berada dalam kawasan hutan, tumpang tindih dengan taman nasional, dan kawasan konservasi.
Tetapi kemudian muncul pertanyaan dari pasar bagaimana melacak sumber buah yang sah dan mematuhi hukum dan kaidah lingkungan hidup? Bagaimana dengan petani sawit pemilik kebun mandiri atau swadaya yang tidak memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB)? Apakah proses dan sistem perkebunan yang ada sekarang ini telah menjamin keadilan dalam menentukan sumber buah tidak melanggar hak petani, masyarakat adat, buruh kebun, perempuan dan anak-anak? Mampukah ISPO menjawab persoalan tersebut? Jika tidak, apa prasyarat dan bagaimana pemerintah menegakkan ISPO?
Perdebatan publik dan wacana yang bergulir saat ini lebih banyak dan cenderung mengarah pada kelebihan dan kekurangan ISPO versus RSPO. TuK INDONESIA, melihat tarik-menarik dan arah perdebatan yang cenderung terpolarisasi oleh keinginan dan posisi, suka dan tidak suka, patut diletakan kembali dalam proporsi yang tepat dan sesuai dengan hak dan kepentingan rakyat Indonesia.
Sehingga tanpa mengabaikan kepentingan dan posisi para pihak terutama penguasa dan pengusaha, bahwa TuK INDONESIA memandang perlu meletakkan kembali persoalan industri sawit kontemporer dalam tujuh aspek yang telah dijelaskan satu persatu di atas. Dan untuk mendapatkan sejumlah aspek penting dan persoalan utama tentang wacana keberlanjutan industri sawit di Indonesia dalam perspektif keadilan sosial dan lingkungan dari tujuh aspek yang sudah disebutkan di atas, maka dibuatlah diskusi terbatas ini.
Diskusi terbatas ini (putaran pertama) dilaksanakan pada tanggal 6 September 2013 di ruangan pertemuan WALHI Eknas, dihadiri oleh YLBHI, ELSAM, Greenpeace, KPA, AMAN dan TuK INDONESIA serta dipandu oleh Untung Widyanto wartawan dari Harian Tempo sebagai moderator.
Dalam diskusi terbatas ini, dari ketujuh aspek atau analisis yang telah diuraikan di atas, ada 4 aspek atau analisis yang sudah dipaparkan oleh YLBHI terkait pemulihan/remedies, kemudian KPA mengenai hak atas tanah, dan ELSAM terkait hak asasi manusia serta AMAN soal FPIC.
Mengenai pemulihan atau remedies, banyak regulasi yang mengatur mekanisme konflik baik perundangan lingkungan hidup dan tata ruang. Pelaksanaan ISPO tidak terlepas dari perizinan yang harus ada partisipasi publik, juga harus ada akses terhadap keadilan oleh masyarakat yang juga harus diberikan, untuk ISPO sendiri belum melihat seperti apa mekanismenya. Mekanisme pemulihan terhadap korban juga dapat dengan menggunakan UU Tata Ruang,
Terkait dengan Hak Asasi Manusia, ternyata masih banyak perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat, sekitar 15-20 konflik yang dilakukan oleh perusahaan. Memang tujuan ISPO adalah bukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, namun untuk menanggapi kontestasi adanya gerakan menggerogoti pasar kelapa sawit.
Sementara dalam perspektif hak atas tanah, bahwa yang terpenting adalah pemenuhan hak masyarakat atas tanah kemudian penyelesaian konflik karena dalam perkebunan persoalan terbesar adalah pemberian izin HGU.
Kebijakan ISPO ini juga tidak memberikan sumbangsih bagi penyelesaian konflik agraria struktural, sehingga sepanjang kebijakan atau peraturan itu tidak sesuai dengan reforma agraria sejati maka hanya akan membuat ketimpangan yang terjadi semakin tajam dan merugikan rakyat khususnya yang terkait dengan hak atas tanah.
Dari sisi FPIC bahwa ISPO ini hanya melihat dari konteks ganti rugi saja, melihat bahwa semua tanah tersebut adalah tanah negara.