7 November 2013 4 menit

Penelitian Terbaru: Banyak Anggota RSPO Melanggar Hak Masyarakat

November 7, 2013 Ayat Suheri Karokaro dan Sapariah Saturi

Penelitian terbaru dari Forest Peoples Programme (FPP), Transformasi Untuk Keadilan (TUK) dan Sawit Watch yang dirilis di Medan, Sumatera Utara (Sumut) Kamis (7/11/13) mengungkapkan banyak anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) melanggar hak-hak masyarakat adat dan lokal di kawasan hutan dan lahan gambut di negara-negara tropis dunia, termasuk Indonesia. Dalam kajian berjudul Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan ini, merinci kinerja 16 aktivitas perusahaan sawit, mayoritas anggota RSPO, yang melanggar HAM dan standar lingkungan yang diwajibkan.

Penelitian ini menjabarkan kasus-kasus produsen minyak sawit yang gagal mendapat persetujuan dari masyarakat, lewat proses yang diwajibkan RSPO berdasarkan mandat PBB yang dikenal Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan atau Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Temuan-temuan ini mendukung bukti-bukti perusakan karena pengembangan sawit bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Laporan ini akan disebarkan dalam pertemuan tahunan RSPO 11-14 November di Medan.

Norman Jiwan, Direktur Eksekutif TUK mengatakan, sejak dibentuk delapan tahun lalu, RSPO telah menetapkan standard tetapi banyak anggota tak memenuhi janji-janji. “RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika RSPO memberikan pemulihan, tetapi perlu penegakan lebih ketat. Kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhan,” katanya.

Senada diungkapkan Jefri Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch. Menurut dia, begitu banyak investasi dalam mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dan International Finance Corporation (IFC), tapi hasil minim. “Kami bisa tunjukkan satu atau dua hasil baik di lapangan, tetapi masih ada ribuan konflik lahan dengan perusahaan sawit di Indonesia saja. Masalah ini meluas ke wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika.”

Karlos Lumban Raja, Kepala Departemen Lingkungan dan Inisiatif Kebijakan Sawit Watch, mengatakan ada beberapa perusahaan besar dianggap masih terlibat konflik dengan petani dan pemilik. Antara lain, PT Wilmar, PT London Sumatera (Lonsum), PT Sinar Mas, dan beberapa perusahaan besar lain. Mereka sampai saat ini bergerak di sektor perkebunan sawit serta turunannya.

Perusahaan menggunakan hak ulayat adat, tanah adat, dan warisan kerajaan untuk menguasai ratusan ribu hektar lahan milik masyarakat dijadikan perkebunan sawit. Pemerintah mendiamkan, meski ada aturan dan UU yang mengatur soal itu dilanggar.”

Menurut Karlos, RSPO harus bisa dan mau mengevaluasi dan mengaudit ulang semua sertifikat yang diberikan terhadap perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, termasuk membekukan dan menarik kembali sertifikasi terhadap anggotanya.

Contoh lain, masih terjadinya konflik di kebun-kebun PT Lonsum, konflik degan petani di Desa Pergulaan, dan konflik perebutan lahan di Kabupaten Deli Serdang. Konflik serupa terjadi antara petani dengan PT Wilmar, PT Musi Mas, dan hampir semua anggota RSPO masih banyak menyisakan sengketa lahan, penyerobotan dan pelanggaran aturan kerja. Kebun PTPN III di Bukit Perjuangan, Kota Rantau Parapat, ada dua kasus sengketa lahan dengan petani yang sudah menempati lahan seluas 272 hektar turun temurun.

Hak tetap hak dan harus diselesaikan. Mekanisme konflik sosial memang lebih rumit daripada konflik lingkungan. Ini terus terjadi sampai sekarang.”

Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior di Forest Peoples Programme, mengatakan, beberapa anggota RSPO sudah mengesahkan standard dan prosedur operasional baru guna memperbaiki praktik mereka di atas kertas, bahkan menerima sertifikat untuk beberapa cabang kegiatan usaha. Namun katanya, kenyataan di lapangan menyimpulkan masih tak ada perubahan berarti. “Pejabat senior perusahaan mungkin bersedia menjalankan pendekatan baru, seringkali manajer operasional di lapangan gagal menanggapi. Prosedur memberikan pemulihan bagi masyarakat korban sangat buruk,” ujar dia.

Menurut dia, hukum dan kebijakan yang menolak dan mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat, dan masyarakat lokal, menjadi salah satu pemicu. “RSPO harus berani bersikap, dan memberikan tindakan tegas terhadap anggota yang tidak menjalan ketentuan berlaku. Agar ada keadilan bagi masyarakat adat dan tak ada kesenjangan sosial.”

Colchester menyebutkan, berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia, 60 persen pemegang lahan di Indonesia tidak diakui pemerintah. Penelitian dari akademis dan para ahli, juga menyebutkan 80 persen lahan di Indonesia tidak diakui pemerintah.

FPP, Sawit Watch and Transformasi untuk Keadilan Indonesia menerbitkan kajian investigatif ini berkerjasama dengan 17 organisasi dan pendukung mitra dari internasional, nasional dan akar rumput di negara-negara produsen minyak sawit terbesar: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun dan Republik Demokrasi Kongo.

Referensi/Link:

http://www.mongabay.co.id/2013/11/07/penelitian-terbaru-banyak-anggota-rspo-melanggar-hak-masyarakat/

This post is also available in: English


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top