21 Juni 2017 8 menit

Masyarakat Sipil Mengawal Pertemuan G20: Menuntut Transparensi Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola Perusahaan

Jalal
Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
 
Keniscayaan Kewajiban Pelaporan ESG
Perusahaan sudah lama mengklaim dirinya bersedia untuk bekerjasama dengan aktor pembangunan lainnya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.  Ada cukup banyak perusahaan progresif yang memang tampak serius mewujudkan hal tersebut, namun tak sedikit yang sesungguhnya hanya menyatakan untuk sekadar lip service.  Lebih buruk lagi, ada juga perusahaan yang menyatakannya untuk kepentingan greenwashing.  Yang terakhir ini akan melakukan tindakan-tindakan kecil yang tak berarti, tak sesuai dengan dampaknya, tetapi akan mengomunikasikan habis-habisan.
Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana memastikan bahwa perusahaan tertentu memang benar-benar melakukan seluruh tindakan yang seharusnya dan sepantasnya mereka lakukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan—atau dalam konteks sekarang lebih tepat dituliskan sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)—ataukah sebaliknya?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting karena kita seharusnya menghindari gebyah uyah atas perusahaan.  Mereka yang memang punya rekam jejak keberlanjutan yang solid seharusnya bisa kita hargai dan jadikan teladan.  Perusahaan yang serius memerbaiki dirinya perlu ditolong untuk mencapai tujuan perbaikannya.  Sementara, mereka yang sekadar menunggangi istilah pembangunan berkelanjutan untuk kepentingannya sendiri yang sempit dan bertentangan dengan keberlanjutan harus juga kita identifikasi dan permalukan (naming and shaming), bahkan perlu disingkirkan agar tak menghalangi trajektori umat manusia ke arah dunia yang kita inginkan. (Saya kerap melabel perusahaan-perusahaan itu sebagai perusahaan hebat, perusahaan tobat, dan perusahaan jahat, dan dalam beberapa kesempatan telah juga menuliskan karakteristik masing-masing.)
Jawaban masyarakat sipil untuk pertanyaan tersebut salah satunya adalah transparensi dalam aspek lingkungan, sosial dan tata kelola (environment, social, and governance, ESG).  Dan, karena periode belajar untuk pelaporan itu telah lebih dari satu setengah dekade, sudah saatnya pelaporan ESG menjadi sebuah kewajiban.  Begitulah yang dipercaya oleh kelompok masyarakat sipil global yang tergabung dalam Civil20 atau C20, yang mengadakan pertemuan puncaknya di Hamburg, Jerman, pada 18-19 Juni 2017.  Saya sepenuhnya mengamini pendirian ini.  Sudah terlampau lama kita membiarkan perusahaan—terutama yang berukuran raksasa—tidak melaporkan apapun, atau melaporkan semaunya dalam bingkai inisiatif voluntari.  Kiranya ini sudah tak pantas dan tak memadai lagi.
Pertemuan tersebut adalah untuk merumuskan apa yang masyarakat sipil dapat rekomendasikan kepada para kepala negara yang akan berkumpul di Hamburg pada minggu kedua Juli 2017.  Dan, menyangkut transparensi ESG itu yang dituntut adalah “Ensure transparency through mandatory Environmental, Social, and Governance (ESG) disclosure by private sector actors.” Tuntutan tersebut merupakan salah satu yang disampaikan di bawah judul besar Investasi yang Bertanggung Jawab dan Peran Sektor Swasta.  Kalau selama ini transparensi dan akuntabilitas kerap dibaca dalam satu tarikan nafas, hal itu karena tanpa transparensi, akuntabilitas mustahil bisa ditegakkan.  Transparensi bisa aktif atau sukarela, namun bisa pula diwajibkan.  Dan, demi penegakan akuntabilitas yang benar, maka jalan pewajiban transparensi inilah yang dipilih.
Tuntutan tersebut diikuti penjelasan yang bernas sebagai berikut: “Disclosure standards that address the social and environmental impact of the private sector are intrinsic to responsible investment. The G20 can play a significant role in initiating better international monitoring and tracking of private sector actions against the SDGs and the Paris Agreement.” Dari situ kita bisa mengetahui bahwa selain bahwa urusan investasi yang bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkannya, tuntutan ini juga terkait dengan bagaimana sektor swasta benar-benar bisa diketahui kontribusinya atas SDGs dan juga Kesepakatan Paris.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Scheyvens, Banks, dan Hughes dalam The Private Sector and the SDGs: The Need to Move Business as Usual (akan terbit di jurnal Sustainable Development), sektor swasta sudah banyak ikut memberikan masukan kepada formulasi SDGs di satu sisi, namun kontribusi nyatanya melalui perilaku dalam berbisnis kerap setengah hati atau bahkan berpotensi menggagalkan apa yang telah diformulasikan itu.  Dalam soal Kesepakatan Paris, idem ditto.  Kita memang menyaksikan banyak perusahaan progresif—misalnya yang ikut dalam gerakan We’re Still In, melawan keputusan Presiden Trump yang secara sepihak keluar dari Kesepakatan Paris—yang telah punya komitmen kuat dalam menangani perubahan iklim.  Tapi, itu bukanlah gambaran majoritas perusahaan.
 
Tiga Rekomendasi
Lantaran menghadapi ragam sikap perusahaan itu, C20 merumuskan tiga rekomendasinya.  Yang pertama, “Require mandatory ESG disclosures on impact on human rights (including digital rights such as privacy and freedom of expression), human capital, social and employment aspects, corruption, bribery, and environmental and climate matters by all companies with +500 employees, and require companies listed on G20 stock markets to incorporate non-financial ESG information into their mainstream financial reports.”
Di sini C20 menegaskan rekomendasi dalam topik apa saja pelaporan tersebut harus dilakukan dan kepada siapa itu diberlakukan.  Saya sangat setuju dengan topik-topik pelaporan yang disebutkan, karena aspek-aspek itu sesungguhnya memang material untuk seluruh perusahaan.  Tentu, itu bisa dibuktikan bila uji materialitas memang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan melibatkan para pemangku kepentingan yang menguasai isu-isu tersebut.  Kerap perusahaan membuat pernyataan bahwa isu-isu tertentu tidaklah material karena mereka sesungguhnya tidak melakukan uji materialitas dengan benar, atau bahkan tidak melakukannya sama sekali.
Bagian berikutnya dari rekomendasi itu menyatakan bahwa perusahaan yang punya lebih dari 500 pekerja seharusnya menjadi subjek pelaporan.  Sementara, perusahaan-perusahaan yang sudah melantai di bursa saham sudah seharusnya memasukkan informasi ESG itu ke dalam laporan tahunan yang mereka produksi.  Tentu, ini membutuhkan regulasi di tingkat nasional masing-masing negara G20.  Berefleksi ke Indonesia sendiri, regulasi kita belum mewajibkan pelaporan ESG untuk perusahaan dengan pekerja di atas 500, walau sudah diwajibkan bagi perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia.  Tetapi, melihat bagaimana kebanyakan perusahaan menampilkan informasinya di dalam laporan tahunan, jelas ada masalah penegakan yang harus diselesaikan.
Rekomendasi kedua adalah “Ensure that ESG information is comparable, consistent, and of high-quality to allow it to be assessed and measured. Referencing adequate reporting frameworks such as CDP/CDSB for natural capital disclosure and the GRI G4 Sustainability, Common Good Report, or UNGP Reporting Framework for human rights/social responsibility reporting can facilitate comparable and consistent disclosure.
Saya kira sangat jelas penekanannya pada bagian pertama, yaitu bahwa pelaporan ESG yang diwajibkan itu harus dibuat terbandingkan, konsisten, dan bermutu tinggi, sehingga bisa dinilai (kebenarannya) dan diukur (kinerjanya).  Bagian selanjutnya memberikan ide bahwa sebetulnya sudah ada beberapa kerangka pelaporan yang selama ini bersifat voluntari yang bisa membantu pemerintah negara-negara G20 untuk menegakkan pelaporan yang bersifat demikian.  Beberapa kerangka memiliki popularitas di negara-negara maju, seperti CDP/CDSB itu.  Namun, yang kini sudah dianggap sebagai standar pelaporan de facto adalah yang diproduksi oleh GRI.  Di standar GRI, prinsip-prinsip pelaporannya bahkan lebih komprehensif lagi, sehingga bila dijadikan regulasi maka akan menjadi sangat kokoh.
Hanya saja, sebetulnya GRI sekarang sudah memerkenalkan generasi terbaru standar pelaporannya, yaitu GRI SRS (Sustainability Reporting Standards) yang akan sepenuhnya menggantikan G4 mulai tahun depan.  Sehingga, akan lebih baik bila pemerintah negara-negara G20 menggunakan GRI SRS sebagai dasar bagi regulasinya, bukan GRI G4 yang sebentar lagi berakhir masanya.  Indonesia sendiri tertinggal lebih jauh lagi.  Peraturan Bapepam LK tentang laporan tahunan yang terbit beberapa tahun lalu masih merujuk pada GRI G3, yang kemudian digantikan oleh GRI G3.1, lalu G4.  Sudah saatnya Pemerintah Indonesia melihat GRI SRS untuk memerbarui regulasinya, agar bisa sesuai dengan perkembangan paling mutakhir.  Selain, tentu saja, menegakkannya dengan serius.
Terakhir, rekomendasi C20 adalah “Implement the recommendations of the Financial Stability Board Task Force on Climate-Related Financial Disclosure (FSB TCFD) into national legislation and facilitate standardized climate risk reporting amongst G20 member countries.” Menurut saya, tak ada jalan lain kalau memang kita serius hendak menangani perubahan iklim, maka perusahaan-perusahaan memang harus dipaksa untuk melaporkan risiko perubahan iklim yang terkait dengan bisnisnya, baik dari sudut pandang perusahaan sebagai entitas terdampak maupun sebagai entitas yang membawa dampak perubahan iklim.
Yang penting diingat di sini adalah bahwa yang dimaksud dengan risiko itu bukanlah semata-mata ancaman, melainkan juga peluang.  Risiko, dalam entreprise risk management yang modern, memang berarti ketidakpastian.  Dan ketidakpastian itu melekat pada ancaman maupun peluang.  Jadi, tak seharusnya perusahaan berpikir bahwa pengelolaan perubahan iklim dan pelaporannya sepenuhnya bersifat beban yang tempatnya ada pada cost center.  Pengelolaan perubahan iklim, sebagaimana yang telah banyak ditunjukkan pada pakar, memiliki sejumlah besar peluang penghematan, inovasi produk, ceruk pasar baru, arus penerimaan, yang berujung pada peningkatan keuntungan perusahaan.
Secara umum, memang begitulah sifat dari pengelolaan keberlanjutan perusahaan.  Perusahaan-perusahaan yang sudah berada pada posisi progresif sejak awal telah menikmati first-mover advantage.  Dan, banyak di antara perusahaan itu yang memulainya karena mereka melihat bahwa beragam aspek keberlanjutan yang mereka laporkan secara sukarela maupun wajib ternyata menyimpan peluang yang besar.  Studi  bertajuk The Consequences of Mandatory Corporate Sustainability Reporting oleh Ioannou dan Serafeim (2012) di seluruh negara yang memiliki regulasi pelaporan keberlanjutan membuktikan hal tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebetulnya apa yang dituntut oleh C20 itu adalah demi kebaikan perusahaan dan negara sendiri.  Mereka yang (akan) melawannya, menurut hemat saya, hanyalah mereka yang tak mengetahui kenyataan dan basis ilmu pengetahuan dari rekomendasi pewajiban itu.  Atau, merupakan perusahaan jahat yang tak ingin kinerja buruknya terbongkar.
 
Dortmund, 20 Juni 2017


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top