7 Mei 2021 5 menit
Perkebunan Sawit di Kalimantan Hasilkan Sejumlah Besar Emisi Karbon Dioksida
Perkebunan Sawit di Kalimantan Hasilkan Sejumlah Besar Emisi Karbon Dioksida
Perkebunan Sawit dan pengembangan produksi kelapa sawit di pulau Kalimantan telah mengakibatkan kerusakan hutan dan pelepasan emisi karbon dioksida secara besar-besaran, demikian hasil studi di bawah pimpinan para peneliti dari Universitas Stanford dan Universitas Yale.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Climate Change ini menunjukkan bahwa pengundulan hutan untuk pengembangan kelapa sawit di Kalimantan, Indonesia, menjadi sumber emisi karbon dioksida global yang signifikan.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit diperkirakan akan menyumbang lebih dari 558 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfir di tahun 2020 — jumlah yang lebih besar dari keseluruhan emisi bahan bakar fosil di Kanada belakangan ini.
Indonesia merupakan penghasil utama minyak kelapa sawit, yang secara bersamaan menempati 30 persen penggunaan minyak nabati di seluruh dunia, dan yang juga bisa digunakan untuk biodiesel. Sebagian besar pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikerjakan di pulau Kalimantan, yang luas areanya hampir menyamai luas penggabungan Kalifornia dan Florida di Amerika Serikat.
Di tahun 2010, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sudah melepas lebih dari 140 juta metrik ton karbon dioksida — jumlah yang setara dengan emisi tahuan dari 28 juta unit mobil.
Sebagai rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia juga merupakan salah satu negara terbesar di dunia yang menyumbang gas rumah kaca akibat dari hilangnya hutan-hutan kaya karbon dan lahan gambut. Sejak tahun 1990, pengembangan perkebunan kelapa sawit telah membabat hutan seluas 16.000 kilometer persegi di Kalimantan — kira-kira sama luasnya dengan Hawaii. Hal ini mengakibatkan hilangnya 60 persen dari total hutan di Kalimantan pada waktu itu, catat para penulis studi.
“Meskipun masih berlangsung perdebatan dalam hal penjadwalan jenis dan penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, sektor ini justru berkembang pesat selama 20 tahun terakhir,” kata pemimpin proyek Lisa M. Curran, seorang profesor antropologi ekologi di Stanford dan rekan senior di Institut Lingkungan Stanford Woods. Dengan menggabungkan pengukuran lapangan dengan analisis citra satelit beresolusi tinggi, studi ini mengevaluasi lahan-lahan yang ditargetkan untuk menjadi perkebunan serta mendokumentasikan emisi karbonnya ketika dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Para peneliti studi membuat peta komprehensif pertama dari ekspansi perkebunan kelapa sawit yang berlangsung dari tahun 1990 hingga 2010. Dengan menggunakan teknologi klasifikasi mutakhir, yang dikembangkan oleh rekan penulis studi Gregory Asner dari Departemen Ekologi Global Institut Carnegie, para peneliti menghitung jenis-jenis lahan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, sekaligus emisi karbon dan penyerapan dari perkebunan kelapa sawit.
“Sebuah terobosan besar terjadi saat kami mampu membedakan bukan hanya lahan hutan dan non-hutan, tetapi juga hutan yang ditebangi, beserta mosaik berbagai ladang, pohon karet, kebun buah-buahan dan hutan sekunder dewasa yang digunakan petani kecil untuk mata pencaharian mereka,” kata Kimberly Carlson, seorang mahasiswa doktor Yale dan penulis utama dalam studi ini. “Dengan informasi ini, kami mampu mengembangkan pembukuan karbon yang kuat dalam rangka mengukur emisi karbon dari pengembangan kelapa sawit.”
Tim peneliti mengumpulkan catatan-catatan kontrak sewa lahan kelapa sawit selama wawancara dengan lembaga-lembaga pemerintah lokal dan regional. Catatan-catatan ini mengidentifikasi lokasi yang telah menerima persetujuan dan dialokasikan kepada perusahaan kelapa sawit. Total kontrak sewa yang sudah dialokasikan membentang sekitar 120.000 kilometer persegi, luas yang sedikit lebih kecil dari Yunani. Sebagian besar kontrak sewa lahan dalam studi ini menempati lebih dari 100 kilometer persegi, luas yang sedikit lebih besar dari Manhattan.
Dengan menggunakan kontak sewa ini, yang dikombinasi dengan peta-peta lahannya, tim riset mengestimasi pembukaan lahan di masa depan dan emisi karbon dari perkebunan. Delapan puluh persen kontrak sewa lahan tetap tidak ditanami di tahun 2010. Jika lahan-lahan kontak ini dikembangkan, maka lebih dari sepertiga dataran rendah di Kalimantan akan ditanami kelapa sawit di tahun 2020.
Meskipun ini merupakan jumlah yang sangat besar, informasi yang akurat tentang kontrak sewa lahan ini tidak tersedia bagi masyarakat, bahkan di saat kontrak sewa sudah dihibahkan. Rata-rata warga di Kalimatan kurang peduli pada pengembangan perkebunan lokal kelapa sawit, yang bisa menimbulkan dampak dramatis bagi kehidupan warga serta lingkungan, kata Curran.
“Kontrak sewa lahan perkebunan ini merupakan sebuah ‘eksperimen berskala besar’ yang belum pernah dilakukan sebelumnya terhadap konversi hutan dengan monokultur kelapa eksotis,” kata Curran. “Kita mungkin melihat titik kritis dalam konversi hutan di mana fungsi-fungsi biofisik yang penting telah terganggu, meninggalkan kawasan yang semakin rentan terhadap kekeringan, kebakaran dan banjir.”
Digabung dengan hasil sebelumnya dari studi tingkat kabupaten yang lebih rinci, yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, para peneliti menekankan bahwa produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan – suatu tujuan nasional dari industri minyak sawit Indonesia — akan memerlukan evaluasi ulang terhadap pemberian kontrak sewa lahan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di atas lahan hutan.
Studi bertajuk “Carbon Emissions from Forest Conversion by Kalimantan Oil Palm Plantations” ini didukung oleh NASA Land Cover/Land-Use Change Program, John D. dan Yayasan Catherine T. MacArthur, Institut Santa Fe dan National Science Foundation.
Kredit: Universitas Stanford
Jurnal: Kimberly M. Carlson, Lisa M. Curran, Gregory P. Asner, Alice McDonald Pittman, Simon N. Trigg, J. Marion Adeney. Carbon emissions from forest conversion by Kalimantan oil palm plantations. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1702