14 Januari 2020 2 menit
Bencana Ekologis & Ketidakberdayaan Proteksi Gambut di Sumatera Selatan
Palembang, 14 Januari 2020. Sepanjang 2019 Sumatera Selatan (Sumsel) terus dilanda bencana ekologis. Walhi Sumsel mencatat, awal 2019 dari Januari sampai Juni Sumsel dilanda banjir, kemudian pertengahan tahun Juli sampai Oktober terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan gambut serta krisis air, dan akhir tahun November hingga Desember ditutup dengan kembali banjir dan longsor. Bencana ekologis yang terjadi ini berbanding lurus dengan masifnya investasi dan eksploitasi sumberdaya alam di Sumsel.
Hairul Sobri, Eksekutif Daerah Walhi Sumsel mengatakan bahwa tidak ada jeda waktu istirahat untuk penanganan bencana. Penanda krisis ekologis terlihat jelas dari angka suhu tertinggi di Sumsel yang mencapai 37 derajat, meningkat 0,39 derajat dalam dua tahun terakhir. Naiknya permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah menyebabkan terjadinya peningkatan suhu. “Tragedi kebakaran hutan dan lahan gambut, alih fungsi lahan, pengeringan gambut, juga penggunaan energi fosil menjadi faktor yang mempercepat penurunan permukaan tanah”, ungkap Hairul.
Seluas 1,2 juta hektare atau 15 persen dari daratan Sumatera Selatan berupa lahan gambut. Temuan Walhi Sumsel 2019, terdapat 764 ribu hektare atau 62 persen dari total lahan gambut telah dibebani izin kehutanan dan perkebunan sawit. Izin–izin tersebut terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan gambut yang terus berulang.
Sejak terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut 2015 hingga 2019, belum ada satupun perusahaan yang diberi sanksi pencabutan izin oleh Pemerintah. Padahal putusan pengadilan yang menyatakan perusahaan bersalah telah inkracht. Seperti perusahaan HTI PT Bumi Mekar Hijau, PT Waringin Agro Jaya, PT Rambang Agro Jaya, dan PT Waimusi Agroindah, juga dua perusahaan baru untuk perkebunan sawit seperti PT Hutan Bumi Lestari dan PT Bintang Harapan Palma (BHP). Seluruh areal PT BHP yang mendapatkan izin lokasi 2018 ini merupakan wilayah gambut yang berfungsi baik, bahkan sebagian besar wilayahnya berupa gambut dalam. Ironinya, pasca kebakaran di akhir 2019 perusahaan ini malah membuat kanal-kanal baru yang membuat fungsi gambut rusak. “Ini menunjukkan bahwa Nazir Foead sebagai nahkoda program restorasi gambut tidak kuasa di Sumatera Selatan”, tandas Hairul.
Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menambahkan bahwa perlunya keterlibatan lembaga keuangan didalam penanganan kebakaran hutan dan lahan gambut. “Selama bensin (modal) tersedia, perusahaan–perusahaan akan tetap beroperasi sekalipun sudah dilakukan penegakan hukum. Implementasi regulasi keuangan berkelanjutan dapat memperkuat upaya Kementerian/Lembaga lain dalam mereformasi industri kehutanan dan perkebunan”, ungkap Edi.
Kontak narasumber untuk wawancara:
Hairul Sobri, Eksekutif Direktur Walhi Sumatera Selatan ([email protected]/ 081278342402)
Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia ([email protected] / 087711246094)