4 Mei 2020 5 menit
Pancasila di Tengah Pandemi Corona
Banyak orang kehilangan pekerjaannya setelah corona. Untuk itu telah disiapkan, diantaranya Kartu Pra-Kerja. Kalau tidak berubah, total dananya sekitar Rp 20 trilyun, untuk 5,6 juta peserta. Masing-masing akan memperoleh sekitar 3,55 juta, dengan 1 juta berupa pelatihan dan 2,4 juta berupa insentif, bantuan sosial, dan sejenisnya.
Pelatihannya jadi kontroversi, sampai-sampai salah satu staf-sus mengundurkan diri. Cash transfer dianggap lebih tepat di tengah pandemi corona.
Dalam situasi sulit ini bantuan sosial dan insentif banyak manfaatnya. Namun, masalah ekstrim memerlukan solusi ekstrim pula. Seperti beberapa ini ini contohnya. Lingkungan kerja buruk, jam kerja panjang, dan upah murah yang menekan daya beli pasca revolusi industri melahirkan perusahaan ritel yang dimiliki pekerja Rochdale di Inggris pada tahun 1844.
Ini pula yang dilakukan setengah juta pekerja Singapura, ketika krisis minyak dan inflasi tinggi pada tahun 1970-an menghimpit kehidupan mereka. Krisis tersebut membuat mereka memiliki koperasi ritel yang kini menguasai lebih dari 58% pasar ritel disana.
Seperti juga kemiskinan parah yang diderita petani di Wayerbusch, Jerman pada tahun 1847 karena jerat lintah darat di desa mereka. Atas inisiasi Walikota Raiffeisen, lahir koperasi kredit yang dimiliki petani disana.
Demikian halnya, perempuan pengrajin miskin yang dihisap rentenir di Bangladesh pada tahun 1975. Atas kepeloporan professor ekonom Muhammad Yunus dan asisten mahasiswanya. lahir Grameen Bank, bank yang dimiliki oleh tak kurang 9 juta perempuan miskin yang tak punya modal sebelumnya,
Begitu pula kehancuran ekonomi pasca perang saudara di Spanyol tahun 1936-1939 telah melahirkan koperasi pekerja di salah satu kotanya, Mondragon, atas inisiatif Ariezmandietta dan murid-muridnya. Koperasi yang menjalankan usaha bank, asuransi, pabrik, ritel pangan, dan perguruan tinggi ini dimiliki kurang lebih 75.000 pekerjanya.
Dan masih banyak lagi cerita serupa. Kesulitan sosial ekonomi melahirkan visi besar, yang dengan persatuan dan militansi perjuangan terwujud menjadi nyata.
Dan kita berada dalam momentum serupa. Kita punya modalitas besar salah satunya dana trilyunan Kartu Pra-Kerja. Bantuan sosial tentu akan membantu pekerja melewati masa-masa sulit pandemi corona. Namun, apakah tatanan sosial-ekonomi akan berubah lebih baik bagi mereka sesudahnya? Setelah itu jutaan pekerja Indonesia akan punya apa?
Seperti juga rumus di awal tadi, untuk membantu yang tidak berpunya, maka mesti dibuat supaya menjadi berpunya. Untuk berpunya itu maka mesti bersatu.
Visi besar para pemimpin dan pekerja penerima Kartu Pra-Kerja kiranya akan menentukannya. Untuk itu, selain bantuan sosial diperlukan juga ”bantuan struktural” bagi pekerja terdampak corona. Bagaimana bisa?
Yah, bisakah dari total 20 trilyun atau setidaknya dari total 5,6 trilyun dana Kartu Pra-Kerja tersebut ada yang dialokasikan dalam bentuk saham (share) bagi pekerja penerimanya? Semisal dari total 3,55 juta yang akan diterima pekerja dialokasikan sebesar 300 ribu per pekerja saja maka akan terkumpul sebesar 1,68 trilyun. Dan akan ada sejarah baru, perusahaan yang dimiliki oleh 5,6 juta calon pekerja/pekerja Indonesia!.
Jika dikalkulasi berdasar jumlah pekerja korban PHK pasca corona sekitar 2 juta orang, maka dengan share semisal 300 ribu per pekerja tersebut pun akan tersedia 600 milyar. Selebihnya dana kartu pra-kerja dapat dialokasikan sesuai kebutuhan faktualnya.
Lalu perusahaan apa sebaiknya?
Soal ini bisa menggali masukan dari banyak pihak. Bisa jadi perusahaan yang produk atau jasanya sangat dibutuhkan selama pandemi corona dan sesudahnya, sepertihalnya perusahaan logistik, baik logistik medis (APD, masker, handsanitizer, ventilator, obat, dsb) maupun logistik pangan yang dapat dikerjasamakan dengan para petani dan pedagang pasar tradisional.
Bisa jadi perusahaan aplikasi belajar yang dibutuhkan pekerja, perusahaan pemasaran online, atau perusahaan ritel yang produknya dibutuhkan pekerja dan masyarakat pada umumnya.
Dan Ini mesti perusahaan sosial yang business core-nya membantu usaha-usaha ekonomi rakyat (UMKM) baik dari sisi produksi, packaging, pemasaran, inovasi, dan kebutuhan lainnya. Pun perusahaan yang membuat para pemegang kartu pra-kerja dapat menyalurkan seluruh bakat, potensi, dan skillnya, serta dapat ikut bekerja dan berjuang membesarkan perusahaannya.
Bagaimana manajemennya? Yah, pasti banyak di antara pemegang kartu pra-kerja yang punya talenta manajerial juga. Tentu perlu bekerjasama dengan kampus-kampus yang punya banyak ahli di bidang manajemen bisnis, koperasi, ketenagakerjaan, IT, agroindustry, dan berbagai bidang keilmuan lainnya.
Ditambah lagi banyak koperasi yang mestinya diajak bermitra usaha sesuai core bisnis dan kebutuhan yang ada. Dan pasti butuh dukungan dari banyak pegiat komunitas dan perusahaan sosial yang sudah ada.
Apakah perusahaan hanya boleh dimiliki pemegang kartu pra-kerja? Tentu saja tidak. Siapapun yang mempunyai visi dan keterlibatan nyata dalam memajukan ekonomi rakyat Indonesia bisa peran serta. Bisa petani, pengrajin, pedagang, tukang becak, driver ojol, kaum miskin kota, mahasiswa, dan pelaku ekonomi rakyat (UMKM) terdampak corona lainnya.
Sekira sebagian dari bantuan sosial bagi mereka bisa dialokasikan berupa bantuan politik-ekonomi juga, maka tinggal share senilai yang sama dengan pemegang kartu pra-kerja. Mereka sudah menjadi bagian dari pemilik perusahaan yang sama.
Demikian jika bisa maka kartu pra-kerja akan juga menjadi kartu pemilikan perusahaan bagi pekerja terdampak corona. Dengan begitu musibah ini bisa jadi berkah juga bagi mereka ke depannya. Kehilangan pekerjaan, tetapi mendapatkan perusahaan!
Seperti ditulis dimuka masalah ekstrim perlu solusi ekstrim pula. Tentu kemudian butuh perencanaan detail, kerja keras, dan konsistensi perjuangan semuanya.
Yah, mungkin saja ini juga maksud pesan Presiden bahwa kita harus bergotong royong menghadapi pandemi corona, yang kita diminta untuk berinisiatif menafsirkannya. Kalau itu benar, maka kelak kita ingat bahwa saat pandemi corona melanda dunia, Pancasila menunjukkan lagi kesaktiannya.
Yogyakarta, 22 April 2020
Awan Santosa, S.E, M.Sc
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM