9 Januari 2023 3 menit

Analisa Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan Pada Aspek Lingkungan

Pada awal tahun 2022, pemerintah mengumumkan mencabut ribuan izin usaha tambang, kehutanan, dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan (Kemensetneg 2022). Pencabutan ini merupakan evaluasi besar-besaran terhadap izin-izin pemanfaatan dan pengelolaan lahan di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan. Hanya saja, pencabutan izin yang dilakukan ini lebih didasari pada efisiensi ekonomi, bukan terkait masalah lingkungan (Mongabay 2022). Pertama, pernyataan Presiden bahwa pencabutan tersebut terdiri atas izin-izin yang tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan (Kemensetneg 2022). Kedua, basis argumentasi KLHK (2022)didalam pencabutan izin konsesi kehutanan lebih mengutamakan optimalisasi produktivitas kawasan hutan untuk penyiapan lapangan kerja dalam mendorong produktivitas pertumbuhan Indonesia, dibandingkan sebagai upaya pemulihan lingkungan dan sosial.

Padahal, upaya pemulihan lingkungan tidak bisa dikesampingkan, sebab faktualnya. ancaman perubahan iklim meningkat secara signifikan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2021 mencatat sebanyak 5.402 kejadian bencana, dan 99,5% didominasi oleh bencana hidrometeorologi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim. Kejadian bencana tersebut meliputi banjir 1.794 kejadian, cuaca ekstrem 1.577 kejadian, longsor 1.321 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 579 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 91 kejadian, dan kekeringan 15 kejadian. Prediksi WALHI (2022) bahwa bencana hidrometeorologi pada 2022 akan meningkat sebesar 7% dibandingkan pada 2021.

Tingginya bencana menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap dampak dari perubahan iklim. Kerentanan tersebut tercermin dari kenaikan Global Climate Risk Index (CRI) Indonesia pada 2018 di peringkat 64 menjadi peringkat 14 dunia pada 2019 (Eckstein et. al 2020, 2021). Akibat dampak dari perubahan iklim, Kementerian Keuangan (2019) memperkirakan pada 2050 Indonesia akan alami kerugian ekonomi sebesar 1,4% dari nilai PDB 2019.

Pengendalian perubahan iklim termasuk dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) memerlukan dana tidak kecil. Dalam dokumen Second Biennial Update Report (2018), agar tercapai target penurunan emisi pada 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional, estimasi pendanaan yang dibutuhkan Indonesia mencapai 247,2 miliar USD. Sektor hutan dan energi menjadi sektor utama dalam target penurunan emisi yang memiliki kebutuhan dana paling besar yaitu 5,56 miliar USD dan 236,2 miliar USD (BUR 2018).

Berkenaan dengan pendanaan iklim, ketidakjelasan konsekuensi khususnya terkait mekanisme disinsentif yang minim membuat implementasi di lapangan memiliki gap besar antara komitmen dan implementasi. Sejumlah uang banyak disalurkan oleh penyandang dana kepada sektor-sektor yang justru telah merisikokan hutan dan memperburuk iklim (TuK INDONESIA 2020, Responsibank 2022).

Dalam konteks pencabutan ribuan izin, mengindikasikan bahwa implementasi kerangka Environmental, Social, dan Governance (ESG) lemah. Sejumlah korporasi yang dicabut izinnya pada Januari 2022, tercatat telah menerima utang dan penjaminan sebesar 26,62 miliar dolar AS sepanjang 2017-2021. Sebesar 9,37 miliar dolar AS atau 35% diantaranya berasal dari BCA, BRI, Bank Mandiri, BNI, dan Bank Sinar Mas (TuK INDONESIA 2022). Dengan demikian, sejumlah pembiayaan yang telah disalurkan tersebut akan menjadi risiko bagi penyandang dana.

Sebagai upaya perbaikan tata kelola Sumberdaya Alam (SDA) dan penguatan sistem perizinan, TuK INDONESIA memandang pencabutan izin merupakan langkah positif pemerintah yang perlu didukung. Namun, TuK INDONESIA menekankan bahwa momentum pencabutan izin ini semestinya mampu menjawab persoalan ketimpangan kepemilikan lahan, penyelesaian konflik tenurial, dan pemulihan lingkungan. Sehingga, indikator di dalam pencabutan izin dapat diperluas pada aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata kelola (LST) dan evaluasi dapat dilakukan secara berkala.

Dalam konteks demikian, TuK INDONESIA memandang perlu menyusun sebuah studi terkait kelayakan pencabutan izin pada aspek LST. Studi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kementerian terkait agar dapat dilakukan eskalasi pencabutan izin yang layak dari aspek LST dan sebagai bahan pertimbangan agar tidak menerbitkan izin baru.

Lembar fakta hasil studi tersaji pada laman berikut: lembar fakta analisa pencabutan izin konsesi kawasan hutan pada aspek lingkungan


TuK INDONESIA

Product Designer, Untitled

Scroll to Top