3 Februari 2025 4 menit
Kerja Sama Sawit Indonesia-Malaysia: Investasi, Eksploitasi Buruh, atau Krisis HAM?
SIARAN PERS
Jakarta, 3 Februari 2025 – Seratus hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto diwarnai dengan berbagai kebijakan yang menekankan ketahanan pangan dan energi sebagai prioritas utama. Salah satu rencana besar yang digaungkan adalah ekspansi 20 juta hektare lahan sawit untuk mendukung kemandirian pangan dan energi. Namun, alih-alih memberikan kesejahteraan bagi rakyat, kebijakan ini justru berisiko memperburuk krisis sosial dan lingkungan. Bukannya menjadi solusi, ekspansi sawit ini malah semakin mempercepat deforestasi, memperparah konflik agraria, serta mengabaikan hak-hak buruh dan masyarakat adat.
Kritik terhadap kebijakan ini semakin tajam setelah pertemuan Presiden Prabowo dengan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, pada 27 Januari 2025, yang menekankan kerja sama ekonomi, termasuk di sektor kelapa sawit. TuK INDONESIA dan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) melihat bahwa meskipun kedua negara menyoroti investasi dalam ekonomi, energi, dan pertahanan, perhatian terhadap dampak lingkungan dan sosial masih sangat minim. Industri kelapa sawit telah lama menjadi simbol ekspansi ekonomi yang merusak alam dan mengabaikan hak-hak masyarakat, dan kerja sama ini berpotensi memperburuk dampaknya.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia perlu menyadari bahwa tanpa adanya pengawasan yang ketat, ekspansi sawit justru akan memperburuk deforestasi dan mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam laporan Banking on Biodiversity Collapse 2024 yang disusun oleh Forests & Finance, terungkap bahwa lebih dari 50 bank besar dunia masih memberikan pendanaan yang berisiko terhadap hutan tropis, terutama di Indonesia dan Malaysia, negara yang menjadi dua produsen terbesar kelapa sawit. Laporan tersebut mencatat bahwa dalam periode 2016-Juni 2024, senilai USD 89,17 miliar/Rp 1.289,59 triliun kredit telah disalurkan untuk proyek-proyek yang berisiko tinggi sebab berhubungan langsung dengan deforestasi, konversi lahan, dan pelanggaran hak masyarakat adat.
Sektor kelapa sawit, meskipun memiliki potensi ekonomi yang besar, juga menjadi kontributor utama terhadap hilangnya hutan tropis, perampasan lahan masyarakat adat, dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks ini, EUDR menjadi pengingat penting bagi kedua negara bahwa produk yang terkait dengan deforestasi tidak akan diterima di pasar Uni Eropa jika tidak memenuhi standar keberlanjutan yang ketat. Laporan Banking on Biodiversity Collapse juga menunjukkan bahwa sekitar 30% dari pendanaan yang mengarah pada kerusakan hutan tropis ini berasal dari lembaga keuangan yang beroperasi di Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Indonesia, yang secara langsung berhubungan dengan ekspansi industri kelapa sawit.
Linda Rosalina, Direktur TuK INDONESIA, menyatakan bahwa kerjasama ekonomi Indonesia-Malaysia di bawah pemerintahan Prabowo harus dapat meningkatkan derajat kepentingan Indonesia. Sebelum pemerintahan Prabowo, Investasi dalam bentuk obligasi dan saham Malaysia di Indonesia khususnya sektor sawit per Juni 2024 sebesar Rp. 49 T atau setara dengan 30% dari total investasi sawit di Indonesia. Investor dari Malaysia yaitu Permodalan Nasional Bhd dan Employees Provident Fund tercatat sebagai investor terbesar dengan nilai masing-masing Rp. 23,24 T dan Rp 15,23 T. Linda menambahkan “Pemerintah Indonesia dan Malaysia tidak bisa terus mengabaikan dampak serius dari ekspansi industri sawit, baik terhadap lingkungan maupun masyarakat. Mereka harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa industri ini tidak hanya memenuhi standar pasar global, seperti EUDR, tetapi juga berfokus pada kesejahteraan petani kecil dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Tanpa adanya pengawasan yang jelas dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, kerja sama ini hanya akan memperburuk krisis yang sedang dihadapi.”
Di lain sisi, potret buruh migran Indonesia di Malaysia yang bekerja di kebun sawit memperlihatkan beragam kerentanan yang mereka hadapi. Banyak dari mereka bekerja dalam kondisi yang tidak layak, dengan upah rendah, jam kerja panjang, serta risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Selain itu, status mereka yang sering kali tidak berdokumen membuat mereka semakin rentan terhadap eksploitasi, pelecehan, dan deportasi paksa.
Rizal Assalam, Koordinator Jaringan TPOLS menambahkan, “ekspansi sawit ini akan turut menambah konflik agraria dan benturan antara buruh dan masyarakat lokal. Saat ini, sekurangnya konflik lahan yang terjadi di Seruyan yang berujung pada kriminalisasi dan penembakan maupun konflik lahan yang tengah diperjuangkan oleh Forum Petani Plasma Buol belum menghasilkan resolusi. Ekspansi sawit itu sendiri tidak pernah betul-betul memberikan kesejahteraan bagi buruh yang diupah rendah, maupun masyarakat yang kehilangan lahannya. Sudah seharusnya pemerintahan saat ini mengurungkan rencana perluasan 20 juta hektar dan mengikuti dorongan kebijakan global seperti EUDR.”
Dalam konteks ini, buruh migran yang bekerja di perkebunan sawit di Malaysia tidak hanya berhadapan dengan eksploitasi tenaga kerja tetapi juga terjebak dalam pusaran ekonomi yang tidak memberi mereka peluang keluar dari kemiskinan struktural. Sementara itu, kebijakan ekspansi sawit yang terus diperjuangkan pemerintah Indonesia berisiko semakin memperburuk kondisi ini—baik bagi buruh migran, masyarakat lokal, maupun ekosistem yang semakin tergerus akibat perampasan lahan.
Kami mendesak agar kedua negara tidak hanya mengedepankan komitmen politik di atas kertas, tetapi benar-benar mengimplementasikan kebijakan yang memastikan keberlanjutan industri sawit dan ketahanan pangan yang adil. Pengawasan yang ketat terhadap deforestasi, penerapan sistem due diligence yang transparan, serta perlindungan terhadap hak-hak sosial dan lingkungan harus menjadi prioritas utama. Jika tidak, kebijakan ketahanan pangan dan energi era Prabowo dan kerja sama Indonesia-Malaysia akan memperburuk ketimpangan sosial, meningkatkan kerusakan lingkungan, dan memperburuk krisis yang sudah ada.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
TuK INDONESIA: Annisa (087884446640/[email protected])
TPOLS: Rizal Assalam (081385737320/[email protected])
This post is also available in: English